Pencarian

Senin, 30 Juni 2014

Daerah Istimewa Surakarta (4e)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
Keterangan Ahli III dari Pemohon dalam Sidang Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013

Disampaikan oleh Prof. Dr. Purwo Santoso (ahli ilmu pemerintahan dan otonomi daerah dari UGM).
Pada Sidang IV tanggal 19 Agustus 2013



Terima kasih, Yang Mulia.

Assalamualaikum wr. wb.

[[Walaikumsalam wr. wb.]]

Para Pemohon meminta kepada saya untuk menyampaikan sejumlah hal yang lebih bersifat pemikiran daripada data sehingga yang kami sajikan, ini ada kaitanya dengan bagaimana melakukan penataan daerah istimewa dalam kerangka atau dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan poin yang ingin saya sampaikan di awal persentasi ini adalah bahwa selama ini ada keenganan atau ada kekhawatiran dengan status istimewa itu kemudian kontradiktif dengan gagasan Negara Kesatuan, dan poin yang saya sampaikan adalah kaitan antara kedua hal itu. Yang pertama-tama dimintakan untuk disampaikan adalah bahwa eksistensi keistimewaan atau Daerah Istimewa sudah diakui dalam konstitusi, dan tadi sudah disampaikan berulang-ulang, sehingga saya tinggal lanjutkan saja.

Poin berikutnya. Next. Nah apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu menjadi terancam ketika keistimewaan itu diakui, saya kira ini ada problem konseptualisasi ilmu pemerintahan atau ketetanegaraan yang saya ingin menyampaikan pendapat saya. Ada kekhawatiran yang luar biasa tentang apa namanya … bahwa keistimewaan itu akan kontradiktif dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu menurut saya adalah karena selama ini telah dominan atau mapannya, tentang tata pemerintahan yang lebih mengacu pada logikanya pemerintah daripada logikanya rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dan adanya Daerah Istimewa itu tidak dengan serta merta menjadikan negara kesatuan itu apa … terancam, kalau yang lebih dikedepankan adalah bersatunya Indonesia, bukan bersatunya tatanan yang dikendalikan dari pusat. Sehingga … sehingga apa namanya … di sini ada … ada doktrin yang saya kira sudah mapan dalam ilmu tata negara gagasan tentang negara kesatuan adalah bahwa yang … yang menjadi pembentuk daerah itu adalah pemerintah pusat. Dan ini menimbulkan problem serius ketika dalam praktiknya ada kekuataan kekuasaan di daerah yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian ketika dikatakan dibentuk itu menjadi tidak masuk akal.

Teori tentang desentralisasi yang sudah mapan, dan saya mulai sering mempersoalkan adalah desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dalam kasus DIY, misalnya psikologi atau alam pikir orang Jogja itu tidak sepakat karena orang DIY merasa yang membuat atau ikut melahirkan Indonesia, sehingga kalau status hukumnya itu sebagai apa … bentukan itu menjadi problematik secara konseptual. Oleh karena itu, keperluan untuk mengakui kekuatan-kekuatan yang sudah ada sebelumnya dan konstribusi daerah-daerah yang ikut membentuk Indonesia, itulah yang kemudian yang menghasilkan konsep yang dalam bahasa orang Jogja itu “ijab kabul”. Dan ijab kabul itulah yang kemudian ditegaskan berulang-ulang sebagai aspirasi atau kerangka penataan. Sekali lagi gagasan daerah istimewa di dalam NKRI itu tidak dengan serta merta menghasilkan ancaman kalau ada kesediaan kita untuk tidak terlalu doctrinaire dan nanti saya akan jelaskan tidak doctrinaire itu juga tidak asal bicara. Tapi ada kejujuran di dalam memahami kesatuan Indonesia yang di luar bingkai pemikiran yang administratif dan yuridis. Bukan berarti hukum dan administrasi tidak pengting, tetapi seolah-olah tidak ada di luar itu, itulah yang problematik.

Yang menjadi prasyarat untuk itu adalah ada kesediaan kita untuk membedakan antara gagasan kebangsaan dan kenegaraan. Ini dua hal ini gabung dan kemudian yang dijabarkan terus menerus adalah aspek kenegaraannya dan aspek kebangsaannya itu hilang. Karena memang juga tidak ada ilmu tata bahasa yang ada adalah ilmu tata negara. Dan kemudian karena yang dibicarakan dalam penataan itu dari segi birokrasi, dari segi organisasi, maka aspek kebangsaan itu hilang dan kemudian nanti sambungannya logo Bhinneka Tunggal Ika yang ada di atas Yang Mulia dan di atas kita semua itu menjadi tidak relevan karena yang ada hanyalah Ikanya, Bhinnekanya itu nanti hilang dalam kajian tata pemerintahan.

Dan oleh karena itu, kemudian ada ketakutan ketika keragaman itu dibuka dan keistimewaan itu diakui, maka kemudian tatanan yang sudah mapan itu kemudian tidak bisa dipahami secara teoritik. Poin saya adalah ketakutannya adalah rusaknya teori bukan rusaknya Indonesia.

Next. Yang sebetulnya terancam dibalik percakapan atau wacana sehari-hari itu adalah dominasi pemaknaan NKRI yang secara doctrinaire dan sudah mampan di dalam kajian tata negara, kajian ilmu pemerintahan yang pada dasarnya itu birokratis atau state centric yang hanya mau melihat Indonesia dari pusat atau dari pucuk pimpinan. Memang itu memudahkan penataan organisasi pemerintahan, memudahkan tertib hukum, tetapi itu dalam banyak hal kontradiktif dengan perjalanan sejarah.

Izinkan saya memberikan elaborasi sejarah pemerintahan Indonesia itu kan sejarah pemerintahan kolonial. Dari seminar-seminar yang saya ikuti, saya dapat pengetahuan bahwa praktik berbahasa satu itu ternyata sumbernya adalah politik bahasa. Politik yang diambil oleh pemerintah kolonial untuk memudahkan pemerintah kolonial menguasai wilayah yang begitu luas dan begitu beragam. Sehingga inisiatifnya adalah dengan membentuk koran, membentuk kamus, dan koran pertama yang ada di Indonesia, yang pakai
bahasa Indonesia itu ada di Manado bukan di Mina ... apa namanya ... bukan di Jambi atau di daerah yang disebut melayu. Karena memang ada keinginan secara sadar dari Belanda untuk memudahkan (suara tidak terdengar jelas) memudahkan dikelola itu ada instrumen, ada rekayasa bahasa. Sehingga kemudian pada akhirnya terciptalah lingua franca, tetapi lingua franca itu adalah politik bahasa, politik penyatuan wilayah kekuasaannya dan baru belakangan itulah kemudian dikristalisasi, diperkuat dengan sumpah pemuda yang salah satunya adalah berbahasa satu, bahasa Indonesia. Tapi poin saya adalah bersatunya Indonesia itu melibatkan rekayasa di luar rekayasa hukum dan rekayasa administratif.

Kalau kita cermati studi-studi yang dilakukan oleh teman-teman yang mempelajari umat Islam. Bersatunya antar ikatan kedaerahan ... lintas daerah yang kemudian memperkokoh Indonesia, itu ditopang oleh peredaran para ulama, sehingga rute atau sirkulasi para ulama itulah yang menyatukan bangsa Indonesia yang satu dengan bangsa Indonesia yang lain. Kalau kita pergi ke Maluku misalnya, di sana sangat jelas tapak-tapak dari ... bukan hanya interaksi dengan bangsa-bangsa Eropa, tetapi juga ulama dari berbagai daerah itu berdatangan di sana dan ... dan itulah salah satu bukti bahwa sebetulnya bersatunya Indonesia itu tidak semata-mata fakta hukum dan fakta administratif, tetapi juga fakta sosiologis. Dan fakta sosiologis inilah yang tidak pernah diteorisasikan dan pada akhirnya kemudian ketika tidak ada basis teoritiknya, kemudian selalu hanya merujuk pada teori hukum dan teori administratif yang pada akhirnya itu kemudian ada kesulitan untuk mengkaitkan antara keragaman dan tampilan atau peran yang berbeda-beda dengan bersatunya Indonesia. Tetapi kita sudah mendapatkan sesanti atau warisan penting, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Intinya adalah yang menjadikan Indonesia bersatu itu adalah kehendak bersama bukan komandan yang tunggal dan terpusat.

Itu poin-poin terpenting yang saya ingin sampaikan sehubungan dengan adanya kegelisahan bahwa penghormatan terhadap keragaman, penghormatan terhadap keistimewaan itu akan mengancam NKRI, itu menurut saya problemnya adalah problem keilmuwan bukan problem praktik bermasyarakat. Karena praktik bermasyarakat justru menunjukkan bahwa bangsa atau kebangsaan itu diolah terus menerus dan keengganan untuk mereteorisasi itu saya kira kesulitan yang kemudian direproduksi menjadi rasa terancam.

Next.Dalam perjalanan Indonesia yang belum terlalu lama, terutama ketika pemerintah ingin menunjukkan kepemimpinannya dengan pembangunan ekonomi, dengan apa namanya … pembangunan yang terencana dan seterusnya memang birokrasi terbukti sangat penting dan sangat efektif sebagai acuan dan ada alasan empiris untuk lebih menekankan dimensi statehood atau pengelolaan negara daripada pengelolaan bangsa, tapi saya ingin tegaskan agenda nation building itu kan sangat dominan pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Dan ketika Presiden Soeharto memerintah Indonesia dan yang lebih dikedepankan adalah aspek ketatanegaraan atau the image statehood, maka kemudian nationhood itu dianggap sudah selesai. Disitulah pangkal dari kesulitan kita merujukkan antara keragaman dengan kesatuan.

Singkat cerita, ketika kita sudah berpuluh-puluh tahun di disiplinkan untuk berfikir hanya dalam logika pengelolaan statehood dan kita sudah teken programted bahwa nationhood itu sudah selesai, disitulah persoalannya. Tetapi lagi-lagi ada fakta yang kontradiktif, mari kita renungkan munculnya tuntutan dari banyak daerah untuk diwadahi secara administratif menjadi entitas pemerintahan yang oleh Bapak-Bapak DPR dikenal dengan gagasan pemekaran. Menurut tafsir saya, pemekaran itu adalah kepatuhan rakyat Indonesia kepada logika yang sangat yuridis administratif bahwa cara untuk diakui entitasnya adalah dibahasakan dalam bahasa administratif, dalam bahasa ketatanegaraan. Dan oleh karena itu ikatan-ikatan kebangsaan yang statusnya atau cakupannya subnasional, kemudian diwadahi dalam ikatan-ikatan administrative, kemudian ada tuntutan pembentukan daerah otonom baru yang jumlahnya berlipat ganda. Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diberlakukan dan di sana dibuka aturan bahwa daerah itu dibuka keran aspirasinya untuk mengusulkan, maka ada luapan tuntutan dan sampai sekarang saya kira Bapak-Bapak di DPR masih berhadapan dengan tuntutan yang sangat besar. Dan itu menurut saya adalah konsekuensi dari bias pemikiran tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang hanya diwadahi secara administratif dan yuridis, dan implikasinya adlaah masyarakat tertib dengan tertib secara berfikir itu, tapi kemudian muaranya justru pemerintah itu kewalahan karena kemudian harus mengikuti kehendak untuk lahirnya daerah otonom baru terus menerus.

Saya tidak membawa datanya, tetapi sekitar 2 kali apa namanya … jumlah daerah otonom itu 2 kalipat dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun di era apa … yang disebut reformasi. Tapi sekali lagi menurut saya (…)

[[Saudara Ahli barangkali bisa dipercepat sedikit.]]

Baik, poin saya adalah bahwa problemnya itu sekali lagi problem keilmuwan, bukan problem kebangsaan. Nah, idealnya dan kejanggalan antara keja … apa … kesulitan mengkaitkan antara pengakuan keistimewahan dengan NKRI itu akan menjadi lebih mudah kalau ada hubungan timbal balik. Jadi, rekayasa ketatanegaraan itu sambung dengan rekayasa kebangsaan. Dan dengan itu menurut saya justru kesatuan Indonesia akan lebih terjamin. Tapi, prasyarat yang lain yang menjadikan tidak adanya keraguan antara keistimewahan dengan Kesatuan Republik Indonesia adalah keperluan kita untuk mengembangkan wawasan politik yang adworld, yang melihat ke dalam. Eropa itu membentuk negara supranasional Uni Arab, European Union itu justru karena ada ancaman dari luar dan terbentuknya NKRI sebetulnya juga merespon apa … penjajahan dan adworld looking itulah yang selama hilang, sehingga sumber dari ketakutan kita sebetulnya adalah cara pandang kita yang adworld looking, bukan, bukan pengakuan pada keragaman, bukan pada pengakuan pada daerah-daerah istimewah [sic!].

Berikutnya, kemampuan Indonesia menghormati keanekaragaman, sekali lagi itu sudah menjadi kearifan yang diarahkan kepada kita dan kita gunakan simbol Bhineka Tunggal Ika itu, tetapi itu tidak mudah diwujudkan karena selama ini seolah-olah yang bertanggungjawab menyatukan Indonesia itu hanya pemerintah pusat dan gagasan tentang apa namanya … kekuasaan yang terpusat itulah yang kemudian menyulitkan.

Nah, oleh karena itu keistimewahan[sic!] itu bisa menjadi kekayaan bagi Negara Republik Indonesia kalau secara jujur kita akui bahwa yang menjadi pemilik Indonesia itu adalah warga negara, bukan pemerintah pusat karena selama ini logika tata hukumnya yang menjadi pemilik itu adalah pemerintah pusat dan adanya MK, adanya hak warga negara untuk mengajukan gugatan, saya kira itu adalah langkah menuju ke sana.

Poin yang berikutnya adalah bahwa yang sebetulnya terbukti dalam sejarah yang menyatukan Indonesia itu sekali lagi bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat yang berkehendak untuk bersatu. Next! Di dalam perjalanan Indonesia … next! Silakan berikutnya! Ketika yang kita kedepankan itu adalah dimensi statehood dan statehood itu membayangkan satu organisasi, satu pimpinan, maka dimensi ika itulah yang menonjol sehingga kemudian keragaman itu tidak menjadi kehirauan dan semakin hari semakin terasa tuntutan bagi pengakuan adanya keragaman itu dan oleh karena itu kebinekaan itulah yang menjadi penting dan sehubungan dengan itu maka kami di Universitas Gajah Mada mengusung agenda untuk mengkaji keragaman dalam kesatuan itu dengan payung riset namanya saya kira sudah sering didengar desentralisasi asimetris jadi perlakuan yang berbeda-beda supaya justru kita bisa saling memperkuat, saling melengkapi.

Poin yang terakhir yang dimintakan untuk disampaikan kepada Yang Mulia adalah bahwa dengan mengakui adanya keistimewaan itu ada kekhawatiran tatanan yang demokratis itu tidak terwujud. Memang kalau … tolong slide berikutnya! Next slide! Ketika kita bicarakan demokrasi pada tataran yang lebih generik, demokrasi saya kira kita tahu itu adalah tatanan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam kasus DIY, yang lebih ditonjolkan adalah dimensi dari … untuk … apa namanya … untuk rakyat, sori, sehingga tahta untuk rakyat dan dedikasi untuk rakyat itulah yang kemudian menghasilkan ada kecintaan yang besar pada para pemimpinnya sehingga kemudian hak untuk memilih itu tidak menjadi urusan yang paling penting mesikipun itu dalam literatur internasional dalam literatur demokrasi liberal itu didudukan sebagai hal yang sangat penting. Tapi poin terakhir yang saya katakan adalah sepanjang ada bukti bahwa pihak yang berkuasa, entah namanya sultan atau namanya apapun julukanya, sepanjang bisa menemukan kesesuaian dengan khalayak ramai yang dikuasai maka itu secara keilmuan, secara konseptual sudah justified disebut sebagai demokrasi, hanya saja demokrasi pada tataran yang lebih substantif dan penjabaran secara detail dalam kelembagaan itu bisa dibicarakan pada level yang lebih operasional.

Itu saja, Yang Mulia, yang bisa saya sampaikan. Mudah-mudahan ini bisa memberikan ketegasan bahwa pengakuan adanya daerah istimewa dan tambahan bagi lahirnya daerah yang berstatus istimewa tidak harus dikhawatirkan sebagai ancaman terhadap NKRI. Dan yang kedua, munculnya tatanan lokal, tatanan yang tidak berskala nasional itu bisa dijustifikasi secara keilmuan sebagai praktek demokrasi, hanya saja memang itu menjadi varian yang sering kali tidak bisa diterima dalam literatur internasional.

Terima kasih,

assalammualaikum wr.wb.

Risalah sidang IV tertanggal 19 Agustus 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar