Pencarian

Sabtu, 03 September 2011

Saat Jogja Menggugat





Pengantar
Saat tulisan ini dibuat, nasib RUU Keistimewaan Yogyakarta semakin tidak jelas. Berbeda dengan daerah Jakarta, Aceh, dan Papua yang lebih mendapat prioritas, Yogyakarta terkesan dibiarkan mengambang. Ibarat sebuah pepatah hidup segan mati tak mau. Beberapa nada dalam tulisan ini akan terdengar sumbang dan bernuansa provokatif. Namun tulisan ini hendaknya jangan dijadikan sebuah polemik tetapi lebih jauh dijadikan sebagai introspeksi bagi semua anak bangsa. Terutama bagi Presiden Indonesia sebagai “Pemegang Kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” (UUD 1945 pasal 4) yang telah bersumpah “akan memenuhi kewajiban ... dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya” (UUD  1945 pasal 9) dalam hal memperlakukan daerah satu dengan daerah yang lain terutama yang memiliki otonomi yang “bersifat khusus atau bersifat istimewa” (UUD 1945 pasal 18B). Tulisan ini juga diunggah dalam rangka menyambut HARI INTEGRASI YOGYAKARTA ke-66 yang jatuh pada 5 September 2011. Mohon maaf atas bagian tertentu atau bahkan keseluruhan artikel yang tidak berkenan di hati pembaca.

Pembuka: Saat Jogja Menggugat
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan satu-satunya daerah yang tersisa yang memiliki otonomi khusus (special autonomous) di Indonesia sejak kelahirannya di tahun 1950. Namun demikian, otonomi khusus yang dimiliki oleh Yogyakarta semakin kabur dan terancam “dilikuidasi” oleh pemerintah pusat seperti daerah istimewa Kutai, Bulongan, dan Berau lima puluh tahun yang lalu. Penghapusan kekhususan suatu daerah di Indonesia, seperti yang sudah dilakukan, hampir selalu mengatas namakan persatuan dan persamaan dengan daerah yang lain. Khusus untuk Yogyakarta saat ini, isu yang selalu dibawa adalah demokratisasi dan hak-hak konstitusional warga negara.

Isu demokratisasi dan hak konstitusional warga negara dalam pemerintahan, khususnya rekruitmen jabatan publik, selalu “dibenturkan” dengan isi utama keistimewaan Yogyakarta yang selama ini dilaksanakan, yaitu pengisian jabatan “Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa”. Jabatan kepala daerah istimewa secara “ex officio” selalu dijabat oleh Sultan Yogyakarta yang bertahta dan jabatan wakil kepala daerah istimewa secara “ex officio” selalu dijabat oleh Pangeran Paku Alam yang bertahta. Mekanisme yang dikenal dengan “Penetapan” inilah yang dicoba “dihapus” oleh Jakarta, dengan menempatkan Sultan dan Paku Alam yang bertahta dalam jabatan yang baru. Sedangkan pengisian jabatan kepala dan wakil kepala istimewa, yang tidak lagi dijabat oleh  Sultan dan Paku Alam yang bertahta, dilakukan dengan jalan pemilihan yang demokratis secara langsung maupun oleh parlemen lokal.

Penetapan dipandang oleh Jakarta tidak demokratis, feodal, dan kolot. Penetapan juga dipandang melanggar hak-hak konstitusional warga negara, sebab melanggengkan hak privilege penguasa feodal. Penetapan dicap “melanggar” konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat (4) mengenai pemilihan yang demokratis dan pasal 27 ayat (1) serta pasal 28D ayat (3) mengenai kesempatan yang sama bagi warga negara dalam pemerintahan. Kalau dilihat sepintas apa yang diklaim oleh Jakarta memang betul. Namun apakah demikian kejadian sesungguhnya? Apakah pandangan dan cap oleh Jakarta sudah setara (equal) dan adil antara Yogyakarta dengan daerah lainnya?

Pasal yang bermasalah: lex specialis atau lex generalis
Dengan hati dan pikiran yang terbuka kita dudukkan dan uraikan pertanyaan di atas dan coba kita bandingkan dengan daerah lainnya yang memiliki sifat khusus dan/atau istimewa yaitu Provinsi DKI Jakarta, Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Provinsi DKI mendapat kesempatan pertama sebab undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan provinsi ini adalah undang-undang yang terakhir kali dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian dapat memberikan gambaran terakhir mengenai aturan yang “direstui” oleh Presiden. Provinsi DKI Jakarta diatur menggunakan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam undang-undang itu ada beberapa pasal yang bermasalah yang menciderai konstitusi. Beberapa pasal tersebut antara lain (tidak semuanya):

Contoh 1
Pasal 7 ayat  (1)
“Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (1)
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

Contoh 2
Pasal 19 ayat (2) dan (6)
“(2) Walikota/bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.”
“(6) Wakil walikota/wakil bupati diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (4)
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Contoh 3
Pasal 24 ayat (1)
“Untuk membantu walikota/bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan kota/kabupaten dibentuk dewan kota/dewan kabupaten.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (3)
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”

Contoh 4
Pasal 1 angka 10, 11, 12
“10. Walikota/bupati adalah kepala pemerintahan kota administrasi/kabupaten administrasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagai perangkat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada Gubernur.”
“11. Kota administrasi/kabupaten administrasi adalah wilayah kerja walikota/bupati yang terdiri atas kecamatan dan kelurahan.”
“12. Dewan kota/dewan kabupaten adalah lembaga musyawarah pada tingkat kota/kabupaten untuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan pelayanan masyarakat.”

Pasal 9 ayat (1)
Otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (2)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”

Itu baru empat contoh “pencideraan konstitusi” (kalau tidak mau disebut dengan “pelanggaran konstitusi”. Dari keempat contoh tersebut yang mirip dengan tuduhan Pemerintah Pusat atas “pelanggaran konstitusi” oleh mekanisme penetapan adalah Walikota dan Bupati dilingkungan Provinsi DKI Jakarta diangkat bukan dipilih. Pertanyaannya adalah mengapa Pusat “merestui pencideraan konstitusi” untuk Provinsi DKI Jakarta namun  “menyalahkan” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: tanyalah pada rumput yang bergoyang!!!

Aceh
Aceh mendapat kesempatan pembahasan yang kedua. Hal ini disebabkan UU yang mengatur pemerintahan Aceh secara kronologis merupakan UU yang usianya lebih tua dibandingkan dengan UU yang mengatur pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Pemerintahan Aceh diatur menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini sebenarnya merupakan ratifikasi parlemen Indonesia atas MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakah Aceh Merdeka. Dalam UU ini pun (walau semua maklum dengan latar belakang disusunnya UU ini) tidak terlepas dari pasal-pasal yang “menciderai konstitusi”. Beberapa pasal tersebut antara lain (tidak semuanya):

Contoh 1
Pasal 1 angka 14
Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 22E ayat (3)
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”

Contoh 2
Pasal 20
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas: a. asas ke-Islaman; ....”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 29 ayat (1)
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Contoh 3
Pasal 128 ayat (2)
“Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.”
Pasal 129
“(1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah. 
(2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku hukum jinayah.
(3) Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Itu baru tiga contoh “pencideraan konstitusi” (kalau tidak mau disebut dengan “pelanggaran konstitusi”. Pertanyaannya adalah mengapa Pusat memilih “merestui pencideraan konstitusi” untuk Aceh namun  “menyalahkan” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: tanyalah pada rumput yang bergoyang!!!

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mendapat kesempatan pembahasan yang ketiga. Hal ini disebabkan UU yang mengatur otonomi khusus  Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat secara kronologis merupakan UU yang tertua usianya dibandingkan dengan UU yang mengatur pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan pemerintahan Aceh. Otonomi khusus  Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas  UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang. Dalam UU ini pun (walau semua maklum dengan latar belakang disusunnya UU ini) tidak terlepas dari pasal-pasal yang “menciderai konstitusi”. Beberapa pasal tersebut antara lain (tidak semuanya):

Contoh 1
Pasal 1 huruf g
“ Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada” dan

Pasal 20 ayat (1)
“MRP mempunyai tugas dan wewenang: memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;” dan 

Pasal 29 ayat (1)
Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (6)
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. ” dan

Pasal 18 ayat (3)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” dan 

Pasal 18 ayat (4)
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Contoh 2
Pasal 12
“Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. orang asli Papua; ...”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan

Contoh 3
Pasal 50 ayat (2)
Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 24 ayat (2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Contoh 4
Pasal 62 ayat (2) dan (3)
“(2) Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.”
“(3) Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) dan (2)
“(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
“(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”

Itu baru empat contoh “pencideraan konstitusi” (kalau tidak mau disebut dengan “pelanggaran konstitusi”. Dari keempat contoh tersebut yang mirip dengan tuduhan Pemerintah Pusat atas “pelanggaran konstitusi” oleh mekanisme penetapan adalah Gubernur (dan Wakil Gubernur) Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat merupakan privilege bagai orang asli Papua. Pertanyaannya adalah mengapa Pusat memilih “merestui pencideraan konstitusi” untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat namun  “menyalahkan” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: tanyalah pada rumput yang bergoyang!!!

Penutup: Saat Jogja (kembali) Menggugat!
Pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 seperti ditulis di atas merupakan sebuah aturan khusus bagi suatu daerah. Aturan khusus tersebut sebenarnya merupakan suatu pengecualian dari aturan umum. Aturan umumnya ada pada pasal 18 UUD 1945. Sedangkan bentuk-bentuk pengecualian dalam pemerintahan daerah tersebut sudah mendapat payung hukum pada pasal 18B UUD 1945. Jika daerah lain boleh menggunakan payung hukum itu, dan menabrak konstitusi, namun mengapa ada keengganan Pusat untuk “meloloskan” permintaan Yogyakarta yang menginginkan kedua penguasa kerajaan menjadi pucuk pimpinan di Yogyakarta? 
Tidakkah contoh-contoh itu lebih dari cukup?
Adakah faktor politis dari Presiden incumbent?
Adakah sisa-sisa anti swapraja yang masih hidup di Kementerian Dalam Negeri?
Adakah agenda ekonomi khusus?
Adakah kaitannya dengan sikap penguasa kerajaan Yogyakarta yang lebih memihak rakyat daripada pemilik kapital yang akan menginvenstasikan modalnya dalam berbagai bentuk di Yogyakarta sehingga “mengganggu” kepentingan para penguasa dan pengusaha di Pusat?
Atau ... haruskah Yogyakarta berdiri menenteng senjata seperti Aceh dan Papua?
Atau (yang lebih ekstrim lagi) ... haruskah kedua penguasa kerajaan yang saat ini bertahta MENCABUT kembali dekrit kerajaan tanggal 5 september 1945 mengenai penyatuan Negara-negara Yogyakarta dalam Negara Indonesia?

Kembali ke pertanyaan yang paling awal mengapa Pusat memilih “merestui pencideraan konstitusi” untuk Provinsi DKI Jakarta, Aceh, serta Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat namun  “menyalahkan dan menentang” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: TANYALAH PADA RUMPUT YANG BERGOYANG!!!



Menyambut ulang tahun ke-66 
Integrasi Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kepangeranan Paku Alaman 
ke dalam Negara Indonesia 
(5 September 1945- 5 September 2011)





Minggu, 28 Agustus 2011

Van Het Gezag Van Den Sultan

 sebuah bagian dari seri merumuskan [kembali] keistimewaan.



Pembuka
Pembahasan Rancangan Undang-undang yang mengatur pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut RUUK) termasuk pembahasan yang memakan waktu paling lama. Tercatat dalam arsip RUUK pertama yang dipublikasikan bertarikh tahun 2011, yang dibuat oleh Pemprov DIY. Jika merujuk tahun tersebut, maka sudah sepuluh tahun pembahasan belum tuntas. Salah satu materi yang mengalami tarik ulur yang begitu panjang adalah mengenai mekanisme pengisian Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa. Kalau diperdalam dan dipersempit lagi maka sebenarnya yang menjadi pokok perdebatan adalah kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam.

Dari masa ke masa, baik sebelum ada RI maupun sesudah RI kedudukan kedua penguasa monarki tersebut mengalami pergeseran dan pasang surut. Karena keterbatasan sumber kesejarahan, maka artikel ini hanya membatasi pada kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta. Dengan asumsi kedudukan dan kekuasaan Pangeran Paku Alam identik dengan kedudukan kekuasaan Sultan Yogyakarta.

Gambaran kedudukan dan kekuasaan Sultan sebelum kemerdekaan Indonesia
Pada masa Sultan Hamengkubuwono I secara praktis Sultan mengendalikan pemerintahan dibantu oleh Pepatih Dalem Danurejo I. Dengan demikian Sultan berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Saat Sultan Hamengkubuwono II, pemerintah penjajahan ingin menegakkan aturan yang dibuat semasa Susuhunan Pakubuwono II yang menegaskan bahwa Sultan hanyalah Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan. Konflik berdarah mewarnai episode ini dengan tewasnya Pepatih Dalem Danurejo II di dalam kawasan Istana dan pemakzulan Sultan dengan kekuatan bersenjata pada 1812.

Konflik tetap berlanjut pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V di dalam tubuh Dewan Perwalian Sultan antara Pepatih Dalem Danurejo IV dengan Pangeran Diponegoro yang berakhir dengan Perang Jawa selama lima tahun. Selepas Perang Jawa pada 1830, Pemerintah Penjajahan hanya menempatkan Sultan sebagai simbol belaka. Kepala Pemerintahan dipegang oleh Pepatih Dalem yang pada prakteknya diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah Penjajahan. Kondisi ini berlaku sampai dengan pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII.

Sultan Hamengkubuwono IX membawa angin perubahan bagi struktur pemerintahan Kesultanan Yogyakarta. Sultan menginginkan adanya parlemen dan kedudukan serta kekuasaan Sultan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sedangkan kedudukan Pepatih Dalem hanyalah pembantu Sultan belaka, bukan kepala pemerintahan. Walau semua itu kandas namun Sultan memperoleh kekuasaan yang “lebih” dari Sultan-sultan pendahulu pasca perang Yogyakarta 1812. Setelah Jepang datang pada 1942, Sultan mendapat kesempatan untuk merestorasi kedudukan dan kekuasaan Sultan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Usaha ini mencapai puncaknya pada pertengahan 1945 dengan pengunduran diri Pepatih Dalem Danurejo VIII.

Kedudukan dan kekuasaan Sultan setelah kemerdekaan Indonesia
Dengan kekuasaan “absolut” sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Sultan memilih bergabung dengan Indonesia dan wilayah Kesultanan menjadi salah satu wilayah riil pertama dari Indonesia. Dari presiden Indonesia Sultan “memperoleh” kekuasaan sebagai kepala daerah, yang berfungsi sebagai wakil pemerintah Indonesia di wilayah Kesultanan, suatu jabatan yang sebelumnya merupakan kedudukan eksklusif yang dipegang oleh orang pusat, sebuah “pengganti” kedudukan dan kekuasaan kepala negara. Sedangkan kedudukan dan kekuasaan kepala pemerintahan tetap beliau pegang sampai 1946 saat harus berbagi dengan badan perwakilan rakyat.

Dalam Maklumat Kerajaan nomor 18 yang dikeluarkan pada Mei 1946, diatur bahwa kekuasan pemerintahan tidak lagi dipegang oleh Sultan semata. Kekuasaan eksekutif dijalankan secara kolegial oleh sebuah badan yang dinamakan Dewan Pemerintah Daerah. Dalam badan yang beranggotakan tujuh orang ini, Sultan berkedudukan sebagai ketua merangkap anggota. Suara Sultan sebagai anggota sama seperti dengan anggota lainnya. Dan keputusan badan ini diambil secara kolegial. Praktis Sultan tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan.

Pada tahun 1948 Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU nomor 22 Tahun 1948 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah. Dalam UU tersebut isi maklumat kerajaan dua tahun sebelumnya diadopsi sebagian sebagai bentuk keistimewaan suatu daerah. Kedudukan Sultan sebagai kepala daerah dan ketua merangkap anggota Dewan Pemerintahan Daerah dipertahankan. Bentuk keistimewaan yang lain adalah adanya jabatan Wakil kepala daerah bagi Yogyakarta. Wakil kepala daerah ini dijabat oleh Pangeran Paku Alam yang secara ex officio juga menjabat sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah.

Menurut UU tahun 1948 ini, kedudukan Sultan lebih ditekankan sebagai Kepala Daerah, yang berfungsi sebagai wakil pemerintah pusat, yang bertugas menjadi pengawas Dewan Pemerintah Daerah dan Parlemen lokal dalam menjalankan pemerintahan daerah. Kedudukan dan kekuasaan ini pula yang secara implisit digunakan oleh UU Negara bagian RI Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal dengan UU Nomor 3 Tahun 1950. Kedudukan dan kekuasaan ini tetap dipegang oleh Sultan sampai tahun 1959 atau 1965.

Pada 1965 salah satu keistimewaan Yogyakarta yang berupa jabatan wakil kepala daerah “dianulir” dengan pembentukan jabatan wakil kepala daerah bagi seluruh daerah di Indonesia. Pada tahun ini pula Kepala Daerah menerima kekuasaan eksekutif. Kekuasaan ini diperkuat pada tahun 1974. Kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta menjadi kepala pemerintahan daerah sekaligus kepala wilayah yang berfungsi sebagai wakil pemerintah. Perubahan inilah yang kemudian menjadi asal usul kaburnya kedudukan dan kekuasaan Sultan [dan Pangeran Paku Alam] dan akhirnya menjadi permasalahan yang akut sepeninggal Pangeran Paku Alam  VIII di tahun 1998.

Model kedudukan dan kekuasaan Sultan
Ada banyak model kedudukan dan kekuasaan Sultan di dalam pemerintahan daerah. Model kedudukan dan kekuasaan Raja/Ratu pada United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland , Raja/Ratu pada Koninkrijk der Nederlanden , Raja pada Ratcha Anachak Thai , Yang Dipertuan Agung pada kerajaan Malaysia, maupun Tenno pada Nihon-koku. Pada kebanyakan model tersebut Raja/Ratu hanya berfungsi sebagi simbol, lebih-lebih pada kekaisaran Jepang yang hanya menempatkan Tenno sebagai simbol negara tanpa kekuasaan apapun.

Selain model kedudukan dan kekuasaan Raja/Ratu dari luar negeri, model kedudukan dan kekuasaan Sultan juga dapat diambil kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta dari masa ke masa. Model kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono I pada 1755-1792, kedudukan dan kekuasaan Sultan-sultan Yogyakarta 1830-1940, kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1942-1945, kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1945-1946, kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1946-1948,  kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1948-1959, maupun kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1974-1988.

Permasalahan kedudukan dan kekuasaan
Permasalahan pertama yang dapat ditulis adalah mengenai bentuk pemerintahan di mana Indonesia adalah sebuah republik sedangkan Sultan Yogyakarta merupakan “wakil” dari institusi bekas monarki Kesultanan Yogyakarta. Bentuk pemerintahan republik yang mengadopsi rezim demokratis, kebanyakan, mensyaratkan pengisian jabatan publik dengan jalur pemilihan dari dan oleh warga negara dan tidak memandang adanya “privilege” bagi warga negara tertentu. Sementara itu kedudukan Sultan Yogyakarta merupakan hak eksklusif bagi warga negara tertentu saja yang memenuhi syarat paugeran jawa.

Permasalahan kedua adalah bentuk negara Indonesia yang merupakan negara Kesatuan, di mana di dalam sebuah “staat” tidak ada lagi “staat”. Sementara bentuk negara federasi akan mengakomodasi bentuk pemerintahan bawahan yang sama sekali berbeda dengan pemerintahan induk. Contoh yang terdekat adalah Malaysia. Kerajaan Malaysia, sebagai sebuah federasi, terdiri atas kesultanan-kesultanan yang bercorak monarki dan negara bagian yang bercorak republik. Dari sudut padang ini kedudukan Sultan Yogyakarta akan lebih mudah ditentukan jika Indonesia berbentuk federasi (Ini bukan bentuk gerakan pro federasi sebagaimana kondisi awal Indonesia antara 1946-1950).

Pengaturan kedudukan Sultan Yogyakarta inilah yang tersulit: mengakomodasi kesetaraan warga negara dalam pengisian jabatan publik, kedudukan khusus Sultan yang merupakan sebuah privilege warga negara tertentu, penyeragaman bentuk pemerintahan, dan pengakomodasian bentuk kekhususan. Namun, dengan melihat contoh provinsi lain di Indonesia (Aceh, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat), seharusnya tidak ada kesulitan dan “ketakutan” dalam mengakomodasi kedudukan Sultan.

Konsep JIP dan Kementerian Dalam Negeri tahun 2008
Dari berbagai model kedudukan dan kekuasaan Sultan dalam berbagai RUU Keistimewaan Yogyakarta, nampaknya model RUU Keistimewaan Yogyakarta versi Kemendagri-JIP UGM lah yang masih relevan dibicarakan sebab draf inilah yang menjadi draf resmi yang dibahas. Meniru sistem monarki parlementer, Kementerian Dalam Negeri melalui rancangan JIP UGM mendudukkan Sultan dalam jabatan yang sama sekali baru. Sultan [dan Paku Alam] diposisikan sebagai simbol kultural yang sama sekali terpisah dari sistem pemerintahan baik urusan desentralisasi otonomi daerah lebih lebih urusan dekonsentrasi. Sultan diberi “kompensasi” memberi “wejangan” tiap lima tahun sekali dan kedudukan protokoler setingkat menteri. Dualisme kepemimpinan direduksi dengan calon gubernur harus mendapat “restu” dari Sultan. Sedang dalam sehari-hari Sultan tidak berperan apa-apa seperti Raja dalam “Opera van Java” (baca kethoprak).

Kedudukan dan kekuasaan ini tentu saja mendapat reaksi keras dari beberapa elemen di Yogyakarta terutama keluarga Istana. Mulai dari peranan institusi baru yang diduduki Sultan sampai titelatur jabatan “Pengageng Keistimewaan” yang kemudian diganti menjadi “Parardhya Keistimewaan”. Suatu kedudukan dan titelatur yang unik, yang pada masa Kesultanan Yogyakarta masih menjadi “negara” hanya berkedudukan setingkat menteri, diperuntukkan untuk Sultan.

Konsep Kementerian Dalam Negeri tahun 2010
Mulut-mu harimau-mu. Sebuah kalimat iklan yang ada di media massa nampaknya berlaku bagi Presiden Indonesia. Hanya karena “terkilir lidahnya” saat mengucap “Monarki Yogyakarta” pasca bencana erupsi Merapi 2010 semuanya menjadi runyam. Bagaimana tidak? Reaksi warga Yogyakarta yang mendukung “penetapan” meningkat sangat banyak jumlahnya. Bahkan jika dibandingkan dengan aksi tahun 1998 yang mendukung Sultan Hamengkubuwono X diangkat menjadi Gubernur Yogyakarta. Yogyakarta yang tadinya dirundung duka karena bencana sontak bangkit. Baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa maupun Kabupaten/Kota sebagai representasi resmi rakyat semua se-iya se-kata mendukung “Penetapan”.

Kementerian Dalam Negeri pun segera mengajukan RUU daur ulang dari RUU sebelumnya. Dalam RUU Kemendagri versi 2010, Sultan ditempatkan sebagai Gubernur Utama. Kedudukan dan kekuasaan dan fungsinya masih sama dengan “Paradhya”. Hanya bedanya pada titelatur dan kebolehan Gubernur Utama merangkap jabatan menjadi Gubernur [Pemerintahan] setelah melalui proses pemilihan di Dewan Perwakilan. Dalam sebuah rapat dengar pendapat komisi II DPR RI Sultan mengemukakan bebagai dasar “Pentapan” dan keberatan atas beberapa hal dalam RUU versi 2010 itu. Karena minimnya akses informasi yang sampai kepada penulis maka perkembangan pembahasan RUU selanjutnya belum ada data.

Konsep Alternatif: sebuah usulan dari jogja-istimewa.blogspot.com
Sebagaimana dalam artikel terdahulu mengenai usul rancangan UU Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, konsep alternatif ini hanya bersifat usul/wacana. Boleh diterima dan tidak mengapa dikesampingkan. Usulan ini sebenarnya mengacu pada konsep UU Nomor 22 Tahun 1948 mengenai Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Sultan berkedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa yang diangkat oleh presiden, bukan dipilih! Sultan didampingi oleh Paku Alam sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa berfungsi sebagai Wakil Pemerintah, yang tidak dapat ditumbangkan oleh parlemen lokal. Kedudukan dan fungsi inilah yang menjadi unsur utama sebagai “kompensasi” bergabungnya Yogyakarta.

Selain itu Sultan bersama-sama Paku Alam juga berfungsi sebagai pemegang “kekuasan eksekutif” pemerintahan Daerah Istimewa. Ini dilakukan untuk efisiensi jumlah pejabat dan juga sebagai ruh utama keistimewaan Yogyakarta. Apabila hal ini dapat terlaksana maka tidak ada lagi permasalahan yang akan mengganjal.

Namun jika ini dirasa masih “kurang demokratis” karena tidak ada pemilihan maka ada alternatif kedua dengan dua varian untuk memenuhi “cita rasa demokratis” tersebut. Varian pertama kekuasaan eksekutif dipegang oleh triumvirat: Sultan, Paku Alam, dan Pepatih Yogyakarta. Pepatih Yogyakarta dipilih oleh Parlemen lokal dari kalangan anggota Parlemen lokal itu sendiri (mirip dengan perdana menteri Inggris yang merupakan anggota House of Commons). Triumvirat eksekutif itu berkedudukan di bawah institusi Wakil Pemerintah. Posisi ini digunakan jika sewaktu-waktu ada konflik antara Pepatih Yogyakarta dengan Sultan dan/atau Paku Alam. Sultan dan/atau Paku Alam dapat meminta parlemen lokal untuk mengganti Pepatih Yogyakarta sehingga akan ada triumvirat yang baru.

Varian kedua kekuasaan eksekutif dipegang secara kolegial oleh sebuah Badan Eksekutif Pemerintahan. Varian ini merupakan “fotocopy 100%” dari UU Nomor 22 Tahun 1948 mengenai Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan juga UU Nomor 3 Tahun 1950. Badan ini beranggotakan tujuh orang: seorang Sultan yang menjadi ketua, seorang Paku Alam, dan lima orang anggota parlemen lokal yang dipilih oleh parlemen itu sendiri menurut perimbangan komposisi kursi. Sama seperti varian pertama, Badan Eksekutif Pemerintahan berkedudukan di bawah institusi Wakil Pemerintah. Posisi ini digunakan jika sewaktu-waktu ada konflik antara salah satu atau lebih anggota dengan Sultan dan/atau Paku Alam. Sultan dan/atau Paku Alam dapat meminta parlemen lokal untuk mengganti anggota tersebut sehingga akan ada Badan Eksekutif Pemerintahan yang baru.

Dua varian tersebut di atas adalah “perkawinan silang” antara demokrasi dan monarki. Pemilihan dilakukan, hak privilege juga diakomodasi. Namun demikian perkawinan itu membawa konsekuensi dibidang efisiensi jalannya pemerintahan dan besarnya pundi-pundi keuangan yang digunakan untuk menggaji para pejabat.

Penutup
Bentuk dan susunan serta fungsi dan kedudukan dan kekuasaan dalam hal pemerintahan, jenis institusi/jabatan, mekanisme pengisian yang berbeda dari yang lain merupakan sebuah keniscayaan bagi daerah yang menyandang predikat “Istimewa” atau berotonomi khusus. Sebab jika semuanya sama dengan daerah lain apa guna ada keistimewaan selain hanya pada nomenklatur belaka. Untuk mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip sebagian pasal dalam perjanjian terakhir yang dilakukan oleh Kesultanan Yogyakarta dengan Hindia Belanda sebagai Wakil dari Pemerintah Kerajaan Belanda mengenai kedudukan dan kekuasaan serta fungsi Sultan.

De Sultan zal daadwekelijk en persoonlijk medewerken aan de bestuursvoering over het Sultanaat ...
(Artikel 18, Overeenkomst tusschen het Gouvernement van Nederlandsch-Indie en het Sultanaat Jogjakarta van 18 Maart 1940)

Senin, 27 Juni 2011

Tentang Jogja-Istimewa!

# karena halaman profil hanya mampu menampung sedikit isi, maka selengkapnya mengenai Jogja Istimewa! dapat dibaca di artikel ini. trims.



Gulo Klopo (1932 design), Ancient flag of Jogjakarta




Blog Jogja Istimewa! ini terinspirasi oleh kegigihan saudara-saudara kita yang berada di Yogyakarta dalam memperjuangkan keistimewaan daerahnya. Sampai saat tulisan ini ditulis (Juni 2011), saya masih mengacungkan jempol untuk saudara-saudara kita tersebut. Mengapa tidak? Warga Yogyakarta dalam memperjuangkan keinginannya dilakukan dengan jalan yang lebih damai, tidak seperti daerah lain yang dilakukan dengan mengangkat senjata. Kita semua sudah tahu daerah-daerah mana saja yang mengacungkan senapan mereka dalam memperjuangkan identitas mereka. Kita tidak perlu menyebut nama mereka, sebab bagaimanapun tindakan mereka, mereka juga saudara kita dalam bingkai Negara kesatuan.

Blog Jogja Istimewa! pertama-tama memang ditulis untuk ikut menjelaskan bagaimana sebuah  daerah yang bernama Yogyakarta menginginkan suatu identitas khusus yang disebut dengan keistimewaan. Oleh karena itu tulisan dalam blog ini sebagian besar bernada  mendukung mereka yang pro penetapan. Namun demikian penulis blog ini juga berupaya untuk sedapat-dapatnya menggambarkan posisi Yogyakarta yang sebenarnya.

Sumber tulisan ini sebagiannya berasal dari sumber primer dokumen negara. Sebagian lagi berasal dari sumber sekunder dan opini dari penulis blog ini. Sumber-sumber tersebut khususnya gambar  telah diusahakan untuk dicantumkan. Namun mengingat satu dan lain hal mungkin ada yang tidak sengaja terlewatkan. Oleh karena itu penulis mohon maaf sebesar-besarnya.

Ke depan, sesudah Undang-undang yang mengatur mengenai keistimewaan Yogyakarta telah disahkan, blog ini kemungkinan akan diisi dengan tulian-tulisan yang ada hubungannya dengan Yogyakarta dan juga tulisan-tulisan yang lain.

Berhubungan dengan pandangan yang dianut oleh penulis, maka dengan segala kerendahan hati kami sampaikan hal-hal berikut. Penulis mengakui, memahami, serta menghormati adanya pendapat, persepsi, sudut pandang, atau hal lain yang berbeda baik sedikit maupun banyak, bahkan yang berseberangan dengan artikel atau hal yang lain di dalam blog ini. Oleh karenanya penulis berharap artikel atau hal lain di dalam blog ini tidak menjadi kontroversi dan polemik tetapi menjadi bahan renungan bagi semuanya.

Mengingat kesibukan penulis blog yang tidak dapat dihindarkan karena harus bolak-balik ke tempat tugas yang berada di luar kota dan banyaknya beban kerja maka tidak setiap bulannya dapat menghasilkan satu artikel. Selain itu tata penulisan yang masih kurang teratur dan belum mengikuti kaidah kelaziman penulisan. Untuk itu semua penulis mohon maaf.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam mengelola blog Jogja Istimewa!. Terlalu panjang untuk disebutkan disini. Akhirnya penulis mengucapakan selamat menggunakan blog Jogja Istimewa! ini.

Vorstenlanden op 20 juni 2011

Jogja-Istimewa!

Minggu, 19 Juni 2011

Sayonara Yogyakarta!

Pengantar

Saat tulisan ini dibuat, nasib RUU Keistimewaan Yogyakarta semakin tidak jelas. Berbeda dengan daerah Aceh dan Papua yang lebih mendapat prioritas, Yogyakarta terkesan dibiarkan mengambang. Ibarat sebuah pepatah hidup segan mati tak mau. Dalam menentukan nasib keistimewaan pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Kementerian Dalam Negeri, memiliki peranan yang sangat besar. Bagaimana tidak? Presiden memiliki suatu kewenangan yang luar biasa dalam menetapkan suatu Undang-undang. Jika RUU Keistimewaan Yogyakarta kembali [dibuat] “dead-lock” maka Presiden dapat saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Pengaturan yang sepihak ini tentu mendapat legalitas sebab konstitusi mengaturnya. Apabila Perpu Keistimewaan Yogyakarta diterbitkan, sudah barang tentu publik mengetahui apa isinya. Keistimewaan yang selama ini dimiliki Yogyakarta dapat pula terhapus. Kejadian ini tidaklah mengherankan, sebab di tahun 1946 Pemerintah juga sudah menghapus Daerah Istimewa Surakarta dan pada 1959 Pemerintah menghapus Daerah Istimewa Kutai, Daerah Istimewa Bulongan, dan Daerah Istimewa Berau. Sebelum semua itu terjadi ada baiknya kita kembali membuka lembar sejarah memutar roda waktu ke belakang menelusuri riwayat singkat Keistimewaan Yogyakarta.

Menyusur Lorong Waktu: sayonara yogyakarta

Tahun 2011   
Pada saat tulisan ini dibuat, Nasib RUU Keistimewaan semakin kabur ditengah hiruk pikuk keadaan politik Indonesia. Janji DPR dan Pemerintah untuk segera menyelesaikan RUU sejak bulan Januari hanya tinggal janji belaka.

Tahun 2010   
Dipenghujung tahun, sebagian besar rakyat Yogyakarta bergerak melakukan aksi ekstra parlemen untuk mendukung Sultan dan Paku Alam. DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten-Kota di wilayah Yogyakarta menggelar bergantian menggelar sidang mengaminkan suara rakyat Yogyakarta. Aksi  parlemen lokal dan ekstra parlemen dipicu oleh statemen Presiden Yudhoyono mengenai monarki Yogyakarta. Statemen Presiden tersebut menimbulkan amarah sebagian warga Yogyakarta pada saat lahar Merapi, yang dimuntahkan pada Oktober-November 2010, belum menjadi dingin dan aroma duka masih menyelimuti Yogyakarta. Walau Presiden telah melakukan klarifikasi namun partai sang Presiden menjadi bulan-bulanan cemoohan warga. Aksi rakyat Yogyakarta pada penghujung 2010 ini dapat dicatat sebagai aksi yang terbesar dibandingkan aksi tahun 2008, 2003, dan 1998.

Tahun 2009   
Presiden Yudhoyono mendapat suara tertinggi dalam pemilihan presiden 2009. Rakyat Yogyakarta berharap lebih agar RUU Keistimewaan segera diselesaikan.

Tahun 2008   
Pemerintah Pusat memperpanjang masa jabatan kedua Gubernur dan Wakil Gubernur hingga tahun 2011 sambil menunggu diselesaikannya RUU Keistimewaan Yogyakarta. Perpanjangan ini dipilih oleh Presiden karena pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta mengalami dead lock. Sementara itu di Yogyakarta terjadi aksi ekstra parlemen yang lebih kecil dibandingkan dengan aksi di tahun 2003 dan 1998. Parlemen lokal juga terbelah dalam mengambil sikap mengenai RUU Keistimewaan khususnya mengenai mekanisme pengisian jabatan Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa.  Sebelumnya pada awal dan pertengahan tahun memberi order kepada JIP UGM untuk membuat RUU Keistimewaan Yogyakarta. RUU versi JIP-UGM/Pemerintah mendapat reaksi dari berbagai kalangan sehingga harus dibenahi.

Tahun 2005   
Pemerintah menerbitkan PP mengenai pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang juga berlaku bagi Yogyakarta. Akibat dari pemberlakuan PP ini Keistimewaan Yogyakarta yang berupa penetapan Kepala dan Wakil Daerah Istimewa dari keluarga kerajaan menjadi lebih terancam.

Tahun 2004   
Pemerintah menerbitkan UU Pemerintahan Daerah 2004. Pengaturan mengenai Yogyakarta semakin membingungkan. Dalam UU tersebut dikatakan Negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat istimewa. Dikatakan pula bahwa Keistimewaan Yogyakarta sama seperti UU terdahulu. Namun pada UU yang sama pula ditentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Yogyakarta harus tunduk pada penyelenggaraan pemerintahan menurut UU Pemerintahan Daerah 2004 yang berarti juga harus tunduk pada rezim Pemilu Kepala Daerah.

Tahun 2003   
Pemerintah kembali mengangkat Sultan Hamengku Buwono X dan Pangeran Paku Alam IX menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. Pengangkatan ini didahului dengan aksi ekstra parlemen yang lebih kecil dibandingkan dengan aksi di tahun 1998.

Tahun 2002   
Prof Affan Gafar dan tim-nya menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Dalam RUU ini Gubernur dan Wakil Gubernur dijabat oleh Sultan dan Paku Alam yang bertahta. Kekuasaan legislatif mutlak milik parlemen lokal. Gubernur hanya memiliki suatu hak veto.

Tahun 2001   
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Tahun 1999   
Pemerintah menerbitkan UU Pemerintahan Daerah 1999. Dalam UU ini Keistimewaan Yogyakarta dinyatakan tetap seperti UU Pemerintahan Daerah sebelumnya dengan ketentuan bahwa pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan UU Pemda 1999.

Tahun 1998   
Sultan Hamengku Buwono X diangkat menjadi Gubernur Yogyakarta menggantikan kedudukan Pejabat Gubernur Sri Paduka Pangeran Paku Alam VIII yang mangkat. Pengangkatan ini tidak mulus namun harus didahului dengan aksi ekstra parlemen yang dikenal dengan Sidang Rakyat Yogyakarta. Sebelumnya Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Pangeran Paku Alam VIII melakukan aksi mendukung gerakan reformasi pada 20 Mei 1998. Aksi ini nyaris saja menjadi akhir riwayat Yogyakarta jika saja pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto tidak mengundurkan diri.

Tahun 1988   
Sultan Hamengku Buwono IX mangkat. Pemerintah tidak menetapkan penerusnya menjadi Gubernur Yogyakarta namun lebih memilih mengangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa menjadi Pejabat Gubernur.

Tahun 1980-an   
Parlemen lokal mengeluarkan sebuah resolusi untuk tetap mempertahankan keistimewaan Yogyakarta.

Tahun 1978   
Sultan Hamengku Buwono IX mundur dari pencalonan Wakil Presiden Indonesia setelah selesai memangku jabatan Wakil Presiden Indonesia antara 1973-1978 dan lebih berkonsentrasi memimpin Yogyakarta.

Tahun 1974   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1974. Keistimewaan Yogyakarta diatur dalam aturan peralihan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjabat saat UU Pemerintahan Daerah 1974 disahkan adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU Pemerintahan Daerah 1974 dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.

Tahun 1973   
Sultan Hamengku Buwono IX diangkat oleh MPR menjadi Wakil Presiden Indonesia periode 1973-1978. Walau demikian Sultan Hamengku Buwono IX tetap menajbat sebagai Kepala Daerah Istimewa. Hanya saja tugas kesehariannya diserahkan kepada Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Tahun 1965   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1965. UU ini menurunkan status Yogyakarta dari Daerah Istimewa setingkat Provinsi menjadi Provinsi biasa. Keistimewaannya hanya menyangkut Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Jogyakarta yang menjabat saat UU Pemerintahan Daerah 1965 disahkan, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan. Dalam UU ini disebutkan bahwa ke depan Daerah Istimewa akan dihapus.

Tahun 1959   
Pemerintah mengeluarkan PP untuk menyesuaikan pelaksanaan UU Pemerintah Daerah tahun 1957 dengan UUD 1945 dan Demokrasi terpimpin.

Tahun 1957   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1957 sebagai pengganti UU Pemerintahan Daerah RI-Yogyakarta dan UU Pemerintahan Daerah NIT. Dalam UU ini ditentukan bahwa Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu.

Tahun 1950   
Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk berdasarkan UU Negara Bagian RI-Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1950. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan dibentuk dari gabungan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kepangeranan Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta berkedudukan sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Keistimewaan Yogyakarta diatur menurut UU Pemerintahan Daerah 1948.

Tahun 1948   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1948. Keistimewaan Daerah Istimewa berupa Kepala Daerah Istimewa yang diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Selain itu Daerah Istimewa yang merupakan gabungan kerajaan dapat diangkat wakil kepala daerah istimewa dengan persyaratan yang sama persis dengan persyaratan kepala daerah istimewa. Selain dari itu tidak ada lagi keistimewaannya.

Tahun 1947   
Kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta dihapus oleh Pemerintah Pusat.

Tahun 1946   
Sambil menunggu RUU mengenai pemerintahan Yogyakarta selesai, Sultan Hamengku Buwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII mengeluarkan peraturan daerah mengenai pemerintahan di Yogyakarta. Dalam peraturan ini Sultan dan Paku Alam tidak bertanggung jawab kepada parlemen lokal.

Tahun 1945   
Pada bulan oktober Sultan Hamengku Buwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII menyerahkan kekuasaan legislatif kepada badan pekerja KNI Yogyakarta. Pada September Sultan Hamengku Buwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII menyatakan ketegasannya bergabung dengan Indonesia disertai sejumlah persyaratan. Pertengahan Agustus Presiden Indonesia meminang Yogyakarta untuk bergabung dengan Indonesia dan memberi jaminan berupa kedudukan Kepala Daerah.








SAYONARA YOGYAKARTA .......








Minggu, 24 April 2011

Draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta 
versi sebuah tim yang diketuai (Alm) Prof Dr Affan Gaffar MA tahun 2002.

Draf RUU Keistimewaan Yogyakarta ini disusun pada tahun 2002 dan dipublikasikan secara berseri mulai 16 Juli 2002 melalui surat kabar lokal di Yogyakarta. Setelah melakukan penelusuran dan pencarian sekian lama, hanya diketemukan dua buah bagian yaitu tanggal 16 dan 17 Juli 2002. Sepertinya RUU tersebut tidak hanya berhenti pada edisi itu saja, mengingat substansi keistimewaan yang diperdebatkan (mekanisme pengisian Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa) belum masuk. Saya tidak dapat menjanjikan yang berlebihan mengingat waktu dan jarak untuk pulang-pergi ke Yogya guna menelusuri arsip dimaksud. Hanya saja jika sewaktu-waktu ada bagian dari arsip tesebut sampai ke tangan saya, secepatnya akan diunggah melalui halaman ini. Untuk itulah saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena belum dapat menampilkan secara lengkap. Semoga pemuatan RUU Keistimewaan Yogyakarta versi tahun 2002 dapat menambah hal yang dapat menjadi pertimbangan para pemangku kebijakan dalam menyusun RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Berikut Draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta versi sebuah tim yang diketuai (Alm) Prof Dr Affan Gaffar MA tahun 2002 selengkapnya (ditulis menurut apa yang ada pada surat kabar lokal tersebut-dengan perubahan lay out dan jenis huruf seperlunya):

 

Pengantar Redaksi:
DRAFT Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Propinsi DIY selesai dirumuskan oleh Tim Penyusun. Selanjutnya Ketua Tim Penyusun Prof Dr Affan Gaffar MA menyerahkan draft tersebut kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di gedung Pracimosono Kepatihan, Senin (15/7/2002). Untuk menyosialisasikan rancangan tesrebut, mulai hari ini diturunkan draft RUU Keistimewaan Propinsi DIY. Sosialisasi ini dimaksudkan agar masyarakat luas dapat turut serta mencermati dan memberikan masukan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang  :
a. bahwa   sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan atau khusus yang diatur dengan Undang-undang;
b. bahwa di dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, rakyat dan pemimpin Yogyakarta telah memperlihatkan kesetiaan, kesediaan, dan kerelaan yang kuat dan menjadikan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Ibu Kota Negara yang baru merdeka sehingga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dipertahankan di dalam menghadapi kaum penjajah yang hendak menanamkan kembali kekuasaannya di Bumi Pertiwi;
c. bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dipandang perlu menegaskan kembali keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;
d. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum mampu menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;
e. bahwa keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara de facto dan secara de jure telah diakui oleh Pemerintah dan rakyat/DPR Republik Indonesia akan tetapi belum dirumuskan secara konkret dalam sebuah undang-undang;
f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e, penegasan kembali keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu ditetapkan dengan Undang-undang.

Mengingat :      
  1. Pasal  1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1),   Pasal 18 B ayat (1) dan   pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
  4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2000;
  5. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah Nomor 31Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 1959;
  6. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  7. Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
  8. Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.



Memutuskan:
Menetapkan Undang-Undang tentang Keistimewaan Propinsi DIY

BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden Republik Indonesia serta para Menteri.
b. Propinsi adalah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki keistimewaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya adalah wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
c. Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
d. Wakil Gubernur adalah Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
e. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Gubernur beserta perangkat pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
f. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Badan Legislatif Daerah yang dipilih melalui Pemilihan umum.
g. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pelaksanaan Undang-undang dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
h. Kabupaten adalah Daerah Otonom dalam Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Bupati.
i. Kota adalah Daerah Otonom dalam Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Walikota.
j. Kecamatan adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Kota yang dipimpin oleh Camat.
k. Desa adalah satuan pemerintahan yang paling rendah di bawah Kecamatan yang berhak menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
l. Badan Perwakilan Desa adalah lembaga yang berfungsi merumuskan kebijakan pemerintahan dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di Desa.
m. Kelurahan adalah satuan pemerintahan yang paling rendah di daerah perkotaan dan berada di bawah Kecamatan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
n.    Lambang daerah adalah Lambang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB II
KEDUDUKAN DAN SUSUNAN

Pasal 2
  1. Otonomi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dititikberatkan pada lingkup Propinsi.
  2. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain sebagai Daerah Otonom juga merupakan wilayah administratif.
  3. Otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
  4. Otonomi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bersifat istimewa.

Pasal 3
  1. Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi dalam Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom.
  2. Wilayah Kabupaten dan Kota dibagi dalam Kecamatan.
  3. Wilayah Kecamatan dibagi dalam Desa dan atau Kelurahan.

 
Kedaulatan Rakyat edisi Selasa Pon 16 Juli 2002 halaman 8




Pasal 4
Struktur organisasi pemerintahan Daerah Kabupaten, Kota, Kecamatan, Desa, dan Kelurahan adalah sesuai dengan Undang-undang.
Pasal 5
  1. Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten dan Kota ditetapkan dengan Undang-undang atas usul Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  2. Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kecamatan, Desa, dan Kelurahan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB III
KERATON YOGYAKARTA DAN PURA PAKUALAMAN

Pasal 6
  1. Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman adalah lembaga yang berfungsi menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat, budaya, dan pemersatu masyarakat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  2. Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman bukan merupakan lembaga pemerintahan dalam Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  3. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memelihara dan menjaga kerjasama yang baik serta menghormati keberadaan Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman.

Pasal 7
  1. Penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada prinsip penghormatan terhadap tradisi, nilai, dan budaya, yang sudah lama dipertahankan dan berkembang di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  2. Kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah yang tidak sesuai dengan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dilaksanakan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB IV
KEWENANGAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Pasal 8
  1. Kewenangan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal, peradilan, agama, serta bidang lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Kewenangan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepda Gubernur selaku wakil Pemerintah.

Pasal 9
  1. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah istimewa selain memiliki kewenangan yang ditetapkan dalam undang-undang, juga memiliki kewenangan istimewa di bidang pertanahan, kepariwisataan, pendidikan, dan kebudayaan.
  2. Pengaturan lebih lanjut kewenangan sebagimana tersebut dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 10
  1. Tanah-tanah yang dahulunya merupakan tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman diserahkan dan dikelola Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  2. Tanah-tanah yang menjadi hak milik Keraton Yogyakarta (Sultan Grond) dan Pura Pakualaman (Pakualaman Grond) dikelola oleh Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman.
  3. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bersama-sama dengan Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman melakukan pengaturan keduajenis tanah tersebut.

Pasal 11
  1. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melimpahkan kewenangan yang luas kepada Kabupaten dan Kota dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
  2. Kewenangan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain diatur pada Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KEUANGAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Pasal 12
  1. Sumber penerimaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi: (a). pendapatan asli Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; (b). dana perimbangan; (c). penerimaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah istimewa; (d). pinjaman daerah; dan (e). lain-lain penerimaan yang sah.
  2. Sumber pendapatan asli Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: (a). pajak daerah; (b). retribusi daerah; (c). hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan (d). lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
  3. Dana perimbangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah dana perimbangan bagian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten, dan Kota atau nama lain yang terdiri atas: (a). bagi hasil pajak dan sumberdaya alam yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu bagian penerimaan pajak bumi dan bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen), pajak penghasilan orang pribadi sebesar 80% (delapan puluh persen), penerimaan seumber daya alam sektor kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen), pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen), perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen), pertambangan minyak bumi sebesar 15% (lima belas persen), pertambangan gas alam sebesar 30% (tiga puluh persen); (b). Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (c). Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas bagi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  4. Penerimaan sebagai daerah istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berupa tambahan penerimaan bagi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 80% (delapan puluh persen), Pajak Penjualan sebesar 80% (delapan puluh persen), dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebesar 80% (delapan puluh persen).
  5. Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud ayat (4) antara Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten, Kota diatur secara adil dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13
  1. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menerima bantuan dari luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.
  2. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
  3. Pinjaman sumber dalam negeri untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi.
  4. Pinjaman sumber luar negeri untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku.
  5. Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud pasal ini selanjutnya diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 14
  1. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat melakukan penyertaan modal pada badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya berdomisili dan beroperasi di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang besarnya ditetapkan dengan Pemerintah.
  2. Tata cara penyertaan modal Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
  3. Sebagian pendapatan Pemerintah yang berasal dari pembagian keuntungan badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya beroperasi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan untuk peningkatan kemakmuran rakyat di Daerah yang bersangkutan.

Kedaulatan Rakyat edisi Rabu Wage 17 Juli 2002 halaman 10

 




# Bagian ke 3 dan bagian berikutnya belum diketemukan
Mohon maaf yang sebesar-besarnya.


Sabtu, 26 Maret 2011

Draf RUU Keistimewaan Yogyakarta versi Pemerintah 2010

# Seri Rancangan UU Keistimewaan Yogyakarta

Draf RUU Keistimewaan Yogyakarta versi Pemerintah 2010






 

RANCANGAN
UNDANG -UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ……. TAHUN ……..

TENTANG

KEISTIMEWAAN PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; 
b. bahwa  Kesultanan  Ngayogyakarta  Hadiningrat dan  Kadipaten Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 belum mengatur secara lengkap mengenai keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;

Mengingat:
  1. Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B,  dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 827);
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA




MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.


BAB  I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Keistimewaan adalah kedudukan hukum yang dimiliki oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.
  3. Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
  4. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut Kesultanan, adalah warisan budaya bangsa yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono.
  5. Kadipaten Pakualaman, selanjutnya disebut Pakualaman, adalah warisan budaya bangsa yang dipimpin oleh Sri Paku Alam.
  6. Kebudayaan adalah nilai-nilai, norma, adat istiadat, benda, seni dan tradisi luhur yang mengakar dalam Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
  7. Pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.
  8. Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai satu-kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
  9. Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut Pemerintah Daerah Provinsi, adalah Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  10. Gubernur Provinsi Daerah Istimewa, selanjutnya disebut Gubernur, adalah unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berkedudukan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah.
  11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  12. Peraturan Gubernur Utama adalah peraturan yang dibentuk oleh Gubernur Utama untuk menyelenggarakan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang ini dan diundangkan dalam Lembaran Daerah.
  13. Keputusan Gubernur Utama, adalah keputusan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama untuk menyelenggarakan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang ini.
  14. Peraturan Daerah Istimewa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut Perdais, adalah Peraturan Daerah yang dibentuk oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bersama-sama dengan Gubernur dengan persetujuan Gubernur Utama untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan Istimewa.
  15. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut Perda Provinsi, adalah Peraturan Daerah Provinsi yang dibentuk DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan persetujuan bersama Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan urusan provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.


BAB II
BATAS DAN PEMBAGIAN WILAYAH

Bagian Kesatu
Batas Wilayah

Pasal 2
  1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki batas-batas: (a). sebelah utara dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah; (b). sebelah timur dengan Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah; (c). sebelah selatan dengan Samudera Hindia; dan (d). sebelah barat dengan Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
  2. Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Bagian Kedua
Pembagian Wilayah

Pasal 3
Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas: (a). Kota Yogyakarta; (b). Kabupaten Sleman; (c). Kabupaten Bantul; (d). Kabupaten Kulonprogo; dan (e). Kabupaten Gunung Kidul.


BAB III
ASAS DAN TUJUAN

Bagian Kesatu
Asas

Pasal 4
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta disusun berdasarkan asas pengakuan atas hak asal-usul, demokrasi, kerakyatan, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal.

Bagian Keempat
Tujuan

Pasal 5
  1. Pengaturan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bertujuan untuk: (a). mewujudkan pemerintahan yang demokratis; (b). mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat; (c). mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (d). menciptakan pemerintahan yang baik; dan (e). melembagakan peran dan tanggung jawab Kesultanan dan Pakualaman dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
  2. Pemerintahan yang demokratis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diwujudkan melalui: (a). pengisian Gubernur secara demokratis; (b). pengisian anggota DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Pemilihan Umum; (c). pembagian kekuasaan antara DPRD, Gubernur dan Wakil Gubernur, dan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama; (d). mekanisme penyeimbang antara Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; dan (e). membuka ruang partisipasi dan kontrol warga masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan memanfaatkan media kebudayaan.
  3. Kesejahteraan dan ketentraman masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan publik dan pengembangan kemampuan masyarakat.
  4. Tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
  5. Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diwujudkan melalui: (a). pengayoman dan pembimbingan masyarakat oleh Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; dan (b). pemeliharaan dan pendayagunaan nilai-nilai musyawarah, gotong royong, solidaritas, tenggang rasa, toleransi dan nir-kekerasan oleh Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan seluruh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
  6. Tata pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, diwujudkan melalui pelaksanaan prinsip-prinsip efektivitas, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kesetaraan, dan penegakan hukum.
  7. Pelembagaan peran dan tanggung jawab Kesultanan dan Pakualaman dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, diwujudkan melalui pemeliharaan, pendayagunaan, pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, serta tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB IV
KEWENANGAN

Pasal 6
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di Provinsi.


Pasal 7
  1. Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan-urusan pemerintahan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan urusan-urusan istimewa yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
  2. Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: (a). penetapan fungsi, tugas dan wewenang Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama; (b). penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi; (c). kebudayaan; dan (d). pertanahan dan penataan ruang.
  3. Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat.
  4. Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais.

BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8
  1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa.
  2. Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagian Kedua
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama

Pasal 9
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertahta karena kedudukannya ditetapkan sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.
  2. Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Presiden.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam. 

Pasal 10
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama berwenang:
a. Memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang, dan penganggaran;
b. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur;
c. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.
Pasal 11
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama berhak:
a. menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa;
b. mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan menyangkut keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;
c. mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais;
d. memiliki hak protokoler; dan
e. kedudukan keuangan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 12
  1. Apabila Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur Utama berhalangan tetap, pengisian Gubernur Utama dilakukan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono yang baru   naik tahta.
  2. Apabila  Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Utama berhalangan tetap, pengisian Wakil Gubernur Utama dilakukan setelah Sri Paku Alam   yang baru naik tahta.

Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah Provinsi

Pasal 13
  1. Pemerintah Daerah Provinsi dipimpin oleh Gubernur.
  2. Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemerintah Daerah dipimpin oleh Gubernur dibantu Wakil Gubernur.

Pasal 14
Dalam hal Gubernur Utama tidak menjabat sebagai Gubernur, Gubernur  wajib:
a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan pemerintahan yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah; 
c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran;
d. memberikan laporan penyelenggaraan kewenangan istimewa kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama setiap tahun; dan
e. memberikan tembusan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan laporan keuangan pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. 
Bagian Keempat
DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


Pasal 15
  1. DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kedudukan, susunan, tugas, serta wewenang sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai tugas dan wewenang bersama-sama dengan Gubernur untuk membentuk Perdais.
  3. Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16
Dalam melaksanakan keistimewaan, DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta wajib:
a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); 
c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran.


BAB VI
TATA CARA PENGISIAN JABATAN  GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR

Bagian Kesatu
Sumber Calon

Pasal 17
  1. Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dapat berasal dari: (a). Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertahta; (b). kerabat kasultanan dan kerabat Pakualaman; (c). masyarakat umum.
  2. Dalam hal calon Gubernur diikuti oleh Sri Sultan Hamengku Buwono, maka Sri Sultan Hamengku Buwono berpasangan dengan Sri Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
  3. Pasangan calon Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2), otomatis didaftar sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur melalui mekanisme perseorangan khusus.
  4. Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono ikut mencalonkan diri sebagai Gubernur, kerabat kasultanan dan kerabat Pakualaman tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
  5. Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono tidak sebagai calon, pemilihan hanya dilakukan untuk memilih Gubernur.
  6. Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur, Sri Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur.

Bagian Kedua
Mekanisme Pencalonan  Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam

Pasal 18
  1. Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi menanyakan kesediaan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
  2. Kesediaan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam surat pernyataan kesediaan.
  3. Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus diserahkan kepada Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi selambat-lambatnya sebelum masa pendaftaran berakhir.

Bagian Ketiga
Mekanisme Pencalonan Kerabat Kasultanan dan  
Kerabat Pakualaman serta Masyarakat Umum
   
Pasal 19
  1. Calon yang berasal dari kerabat Kasultanan dan kerabat Pakualaman dan masyarakat umum diajukan melalui mekanisme pengajuan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
  2. Persyaratan calon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku persyaratan umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 
  3. Mekanisme pencalonan calon dari partai politik atau gabungan partai politik berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
  4. Bakal calon Gubernur yang dinyatakan telah memenuhi persyaratan, wajib mendapat persetujuan dari Gubernur Utama apabila Gubernur Utama tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur.
  5. Tata cara pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat
Pemilihan dan Pengesahan Calon Gubernur

Pasal 20
  1. Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi menyerahkan daftar calon Gubernur kepada DPRD Provinsi.
  2. DPRD Provinsi melakukan pemilihan terhadap calon Gubernur yang diusulkan oleh Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi.
  3. Calon Gubernur dinyatakan sebagai pemenang apabila memperoleh suara 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu).
  4. Dalam hal tidak ada calon Gubernur yang memperoleh suara 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) dilakukan pemilihan putaran kedua terhadap 2 (dua) pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak.
  5. DPRD mengajukan calon terpilih kepada Presiden untuk disahkan sebagai Gubernur.
  6. Dalam hal hanya Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertahta menjadi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD Provinsi melakukan musyawarah untuk mufakat dalam menetapkan dan mengusulkan kepada Presiden guna disahkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
  7. Ketentuan tentang tata cara pemilihan Gubernur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.  

Pasal 21
  1. Dalam hal Gubernur dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono berhalangan tetap atau diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur, Presiden menetapkan Wakil Gubernur sebagai penjabat  Gubernur.
  2. Dalam hal Gubernur dijabat selain Sri Sultan Hamengku Buwono berhalangan tetap atau diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur, Presiden menunjuk  penjabat  Gubernur dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
  3. Penjabat Gubernur sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) memegang jabatan paling lama 6 (enam) bulan untuk mempersiapkan  pemilihan Gubernur baru.

Pasal 22
  1. Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden Republik Indonesia;
  2. Apabila Presiden Republik Indonesia berhalangan, dapat diwakilkan kepada Wakil Presiden Republik Indonesia;
  3. Masa jabatan Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan;
  4. Pembatasan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan 2 (dua) periode masa jabatan tidak berlaku bagi Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam apabila menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

Pasal 23
  1. Ketentuan tentang hak, kewajiban, larangan, dan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berlaku pula dalam Undang-Undang ini.
  2. Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berlaku pula dalam Undang-Undang ini.

BAB VII    
PELAKSANAAN URUSAN ISTIMEWA

Bagian Kesatu
Kelembagaan

Pasal 24
  1. Kewenangan penetapan kelembagaan pemerintahan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, diselenggarakan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli.
  2. Pengaturan lebih lanjut tentang penetapan kelembagaan pemerintahan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perdais setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah.

Bagian Kedua
Kebudayaan

Pasal 25
  1. Kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c, diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdais.

Bagian Ketiga
Pertanahan dan Penataan Ruang

Pasal 26
  1. Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan  pertanahan dan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum.
  2. Sebagai Badan Hukum, Kasultanan mempunyai hak milik atas Sultanaat Grond.
  3. Sebagai Badan Hukum, Pakualaman mempunyai hak milik atas Pakualamanaat Grond.
  4. Sebagai Badan Hukum, Kasultanan dan Pakualaman merupakan subyek hukum yang berwenang mengelola dan memanfaatkan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond dengan sebesar-besarnya ditujukan untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
  5. Ketentuan lebih lanjut tentang Badan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  6. Tata guna, pemanfaatan, dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond serta penataan ruang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diatur lebih lanjut dengan Perdais.

BAB VIII
PERATURAN GUBERNUR UTAMA, PERDAIS, PERDA PROVINSI, DAN 
PERATURAN GUBERNUR

Pasal 27
  1. Gubernur Utama berwenang membentuk peraturan dan keputusan Gubernur Utama.
  2. Peraturan dan Keputusan Gubernur Utama sebelum diberlakukan, mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri.
  3. Peraturan dan Keputusan Gubernur Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diundangkan dalam Lembaran Daerah.

Pasal 28
  1. Rancangan Perdais dapat diusulkan oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau Gubernur berdasarkan Arah Umum Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama.
  2. Apabila dalam suatu masa sidang, DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur menyampaikan rancangan Perdais mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perdais yang disampaikan oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan rancangan Perdais yang disampaikan Gubernur dipergunakan sebagai bahan persandingan.
  3. Dalam menyiapkan dan membahas rancangan Perdais, DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur wajib mendayagunakan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat dan memperhatikan masukan dari Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
  4. Rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur disampaikan kepada Gubernur Utama dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan.
  5. Dalam hal Gubernur Utama tidak menyetujui atas rancangan Perdais sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan Perdais tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur, Gubernur Utama mengembalikan kepada DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk disempurnakan.
  6. Dalam hal rancangan Perdais disetujui oleh Gubernur Utama, rancangan Perdais sebelum diberlakukan, mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri, untuk selanjutnya diundangkan dalam Lembaran Daerah.

Pasal 29
  1. Perda Provinsi dibentuk dan ditetapkan dengan persetujuan bersama DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Perdais dibentuk oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur dengan persetujuan Gubernur Utama untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

Pasal 30
  1. Pelaksanaan Perda Provinsi atau Perdais diatur dengan Peraturan Gubernur dan/atau keputusan Gubernur.
  2. Peraturan Gubernur dan/atau keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, nilai-nilai luhur, budaya, Perda, Perdais dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.  

Pasal 31
  1. Perda Provinsi, Perdais, dan Peraturan Gubernur diundangkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Perda Provinsi, Perdais, dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disebarluaskan oleh Pemerintah Daerah Provinsi.

BAB IX
PENDANAAN

Pasal 32
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan daerah berlaku bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pasal 33
  1. Pendanaan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
  2. Dana dalam rangka pelaksanaan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  3. Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan anggaran yang diperuntukkan dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang pengalokasiannya melalui kementerian/lembaga terkait.
  4. Gubernur pada setiap akhir tahun anggaran wajib melaporkan seluruh pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban keuangan yang terkait dengan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait dengan memberikan tembusan kepada Gubernur utama.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 34
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX yang menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat ini, ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
  2. Dalam kedudukannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX mempunyai tugas untuk mempersiapkan pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 35
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX masing-masing dalam kedudukannya sebagai Sri Sultan dan Sri Paku Alam memiliki tugas: (a). melakukan pembakuan tata cara penggantian Sri Sultan dan Sri Paku Alam dalam lingkungan Kasultanan dan Pakualaman yang merupakan pedoman bagi proses pergantian kepemimpinan dalam lingkungan Kasultanan dan Pakualaman; (b). mengumumkan kepada publik hasil pembakuan sebagaimana dimaksud pada huruf a;  (c). melakukan konsolidasi dan klasifikasi Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond;  (d). mendaftarkan hasil klasifikasi dan konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;  (e). melakukan inventarisasi dan konsolidasi seluruh kekayaan Kesultanan dan Pakualaman selain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang merupakan warisan budaya bangsa; dan (f). bersama-sama merumuskan tata hubungan antara Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai satu-kesatuan.
  2. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX dalam kedudukannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 mempunyai tugas: (a). mempersiapkan perangkat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melaksanakan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang ini; (b). Menyiapkan arah umum kebijakan penataan kelembagaan Pemerintah Provinsi DIY sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini. (c). menyiapkan syarat-syarat yang diperlukan sebagai pedoman Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam menerima atau menolak perseorangan bakal calon atau bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur; (d). menyiapkan kerangka umum kebijakan di bidang kebudayaan; (e). menyiapkan kerangka umum kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond, serta penataan ruang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; (f). membentuk Perda Provinsi bersama-sama dengan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang tata cara pembentukan Perdais; (g). menyiapkan mekanisme konsultasi antara Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, serta antara DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sebagai dasar bagi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur terpilih dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam melaksanakan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama; dan  (h). mempersiapkan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pelaksanaan Keistimewaan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 36
Pembiayaan yang diperlukan dalam masa peralihan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 37
Pengelolaan dan/atau pemanfataan Sultanaat Grond atau Pakualamanaat Grond yang dilakukan oleh masyarakat atau pihak ketiga tetap berlaku sepanjang pengelolaan dan/atau pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

Pasal 38
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, susunan organisasi Pemerintah Provinsi, Perangkat Daerah Provinsi dan Jabatan dalam Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta peraturan perundang-undangan yang ada tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, seluruh materi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ……..

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


PATRIALIS AKBAR






LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN .....NOMOR ......













Kamis, 16/12/2010 21:33 WIB
Isi Lengkap Draft RUU Keistimewaan DI Yogyakarta 
Gagah Wijoseno - detikNews
Akses 21/12/2010 19:09 WIB
Dengan perubahan tata letak seperlunya