Pencarian

Senin, 13 September 2010

Komentar atas Dekrit Integrasi Paku Alaman

Teks[#]:

AMANAT
SRI PADUKA KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM[1][2]



Kami[3] Paku Alam VIII[4] Kepala Negeri Paku Alaman[5], Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[6] menyatakan:


1. Bahwa Negeri Paku Alaman[7] yang bersifat kerajaan[8] adalah daerah istimewa[9] dari Negara Republik Indonesia[10].

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah[11] memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman[12], dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami[13] dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya[14].

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.




Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.



Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945


PAKU ALAM VIII


=================================================================

KOMENTAR

[#] Amanat Paku Alam terdapat/dimuat dalam Berita Republik Idonesia Tahun II No. 6 halaman 37 kolom 2

[1] Amanat secara harfiah dapat diartikan sebagai kepercayaan atau mandat. Kedudukan dekrit "Amanat" ini begitu khusus. Sampai saat ini yang saya ketahui hanya ada dua amanat yang dikeluarkan Pangeran Paku Alam, yaitu Amanat 5 September 1945 mengenai integrasi Negara Kepangeranan Paku Alaman dan Amanat [bersama] 30 Oktober 1945 mengenai pemberian kekuasaan legislatif dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta. Sebab untuk dekrit-dekrit yang lain Sultan menggunakan kata "Maklumat". Lebih jauh amanat ini dapat diartikan sebagai sebuah proklamasi bagi Negara Kepangeranan Paku Alaman untuk lepas dari pemerintahan [demisioner] Jepang yang memperoleh kuasa dari Pasukan Sekutu (allied forces) untuk menjaga "status quo" sampai kedatangan Pasukan Sekutu untuk menguasai daerah-daerah yang diduduki oleh Jepang. Selain itu Amanat ini dapat diartikan sebagai jawaban atas Piagam [Dekrit] Presiden Indonesia yang telah dikeluarkan pada 19 Agustus 1945.

[2] Sri Paduka ... Paku Alam, merupakan gelar Pangeran Paku Alam dalam paduan bahasa Indonesia dan Jawa. Gelar ini juga menunjukkan kapasitas/jabatan orang yang mengeluarkan Dekrit. Atas dasar inilah Amanat 5 September 1945 dapat diartikan sebagai sebuah Dekrit Kerajaan.

[3] Pada waktu itu kata "kami" sering dipergunakan untuk menggantikan kata "saya". Dapat pula diartikan sebagai bentuk kata jamak penghormatan (pluralis majesticus).

[4] Menunjukkan pihak yang mengeluarkan dekrit.  Nama ini adalah nama kehormatan jabatan dari Pangeran Paku Alaman. 

[5] Sebutan jabatan orang yang mengeluarkan dekrit. Lebih jauh lagi dapat diartikan dengan jabatan dan seluruh kewenangan yang dimiliki/melekat oleh jabatan itu.

[6] Kata Negeri dalam dekrit ini kelihatannya merupakan tejemahan dari kata "Nagari" dalam bahasa Jawa yang memiliki makna Negara. Jadi dapat diterjemahkan sebagai Negara Paku Alaman.

[7] Negeri Yogyakarta pada dekrit ini hanya menunjukkan bahwa Negara Paku Alaman terletak di daerah Yogyakarta. Walaupun kecil dan berbentuk kepangeranan, Negara Paku Alaman bukan merupakan negara bawahan dari Negara Kesultanan Yogyakarta. Ini dapat dilihat bahwa penyebutan Negara Yogyakarta hanya satu kali saja.

[8] Bersifat kerajaan menunjukkan dan menegaskan bahwa Negara Paku Alaman berbentuk monarki. Dapat dibandingkan dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik". Bentuk monarki ini diungkapkan secara jelas dalam dekrit ini karena berkaitan dengan otonomi khusus yang "diminta" Negara Paku Alaman sebagai "konsesi" bergabungnya Paku Alaman dalam Negara Indonesia. Lihat poin [9] di bawah.

[9] Daerah istimewa pada saat itu bermakna daerah otonomi khusus dalam bahasa saat ini. Dalam dekrit ini bentuk otonomi khusus bagi Negara Paku Alaman begitu ditekankan. Otonomi khusus "diminta" oleh Negara Paku Alaman sebagai sebuah konsesi atas (a). bergabungnya Negara Paku Alaman sebagai bagian Negara Indonesia; (b). berubahnya status Paku Alaman dari "Negara" (state/staat) menjadi "Daerah" (Territory/region/department). Isi otonomi khusus yang diminta Paku Alaman telah dijelaskan dalam poin [8] mengenai bentuk monarki dan akan dijelaskan lebih lanjut dalam poin-poin [11], [12], [14], [15], dan [16] di bawah.

[10] Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

[11] Di tempat ini Pangeran Paku Alaman membahasakan diri beliau sebagai Kepala Daerah "bukan lagi" sebagai Kepala Negara. Ini adalah konsekuensi pertama yang harus diterima oleh Pangeran Paku Alaman karena bergabung dengan Negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, yang tidak mengenal adanya "staat di dalam Staat".

[12] Walau sebagai hanya sebagai "Kepala Daerah", Pangeran Paku Alaman masih memegang seluruh kekuasaan dan kewenangan yang beliau miliki sebagai Kepala Negara. Kekuasaan "Kepala Negara" dimaksud hanya sebagai kepala negara bawahan. Kekuasaan ini meliputi hal-hal yang telah diakui dan diatur oleh "Negara Induk" seperti yang diatur oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa maupun oleh Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda. Dengan demikian kekuasaan Pangeran  meliputi eksekutif dan legislatif. Namun demikian kekuasaan Pengeran tidak mencakup mengenai masalah luar negeri yang diurus oleh Negara Induk.

[13] Pada poin ini Pangeran menyatakan bahwa semua kekuasaan, baik sipil maupun militer, yang ada pada waktu itu berada di tangan Pengeran. Dengan kata lain semua kekuasaan yang sah berada di tangan Pangeran. Ini juga menegaskan bahwa di Paku Alaman tidak ada lagi jabatan Pepatih Paku Alaman (semacam Prime Minister).

[14] Kekuasaan lain yang dimaksud adalah kekuasaan yang masih terdapat pada (a). Wakil Pemerintah Negara Induk; dan (b). badan/instansi negara induk di kepangeranan. Kekuasaan ini juga diambil alih oleh Pangeran.

[15] Hubungan antara Negara Paku Alaman dan Negara Indonesia berupa hubungan langsung. Ini ditekankan oleh Pangeran, sebab pada masa pemerintahan Kerajaan Hindia Belanda dan pemerintahan Militer Jepang, hubungan antara Negara Paku Alaman dengan Negara Induk harus melalui Wakil Pemerintah Negara Induk (Gubernur pada masa Hindia Belanda dan Kooti Zimukyokutyokan pada masa Jepang). Dengan demikian dapat diartikan lebih lanjut Pangeran juga menjadi aparat/wakil pemerintah pusat di Paku Alaman.

[16] Di sini  dikemukakan bahwa Pangeran bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden Indonesia mengenai kekuasaan yang dibebankan padanya, tidak melalui pejabat apapun.

[17] Dekrit ini juga merupakan sebuah instruksi.

[18] Penduduk dalam amanat ini dapat diartikan warga negara Paku Alaman. Sebab, pada waktu itu, terdapat tiga kewarganegaraan yaitu (a) warga negara Paku Alaman; (b) warga negara Induk, pada masa Hindia Belanda dikenal dengan kawulo Gupermen; dan (c) warga negara asing. Kekuasaan Pangeran pada saat itu hanya mengikat warga negara Paku Alaman saja.

[19] Mematuhi dan melaksanakan instruksi.

[20] Tempat dan tanggal dikeluarkannya pernyataan. Yang menarik adalah digunakannya dua buah penanggalan yaitu penanggalan Jawa dan penanggalan barat.

[21] Pejabat yang membuat pernyataan.

Komentar atas Dekrit Integrasi Yogyakarta

Teks[#]:

AMANAT
SRI PADUKA INGKANG SINUWUN KANGJENG SULTAN[1][2]



Kami[3] Hamengku Buwono IX[4], Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[5] menyatakan:


1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[6] yang bersifat kerajaan[7] adalah daerah istimewa[8] dari Negara Republik Indonesia[9].

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah[10] memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[11], dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami[12] dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya[13].

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung[14] dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia[15].



Kami memerintahkan[16] supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[17] mengindahkan Amanat Kami ini[18].



Ngayogyakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945[19]




HAMENGKU BUWONO IX[20]


=================================================================

KOMENTAR

[#] Amanat Sultan terdapat/dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 4-5 halaman 23 kolom 3.

[1] Amanat secara harfiah dapat diartikan sebagai kepercayaan atau mandat. Kedudukan dekrit "Amanat" ini begitu khusus. Sampai saat ini yang saya ketahui hanya ada dua amanat yang dikeluarkan Sultan Yogyakarta, yaitu Amanat 5 September 1945 mengenai integrasi Negara Kesultanan Yogyakarta dan Amanat [bersama] 30 Oktober 1945 mengenai pemberian kekuasaan legislatif dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta. Sebab untuk dekrit-dekrit yang lain Sultan menggunakan kata "Maklumat". Lebih jauh amanat ini dapat diartikan sebagai sebuah proklamasi bagi Negara Kesultanan Yogyakarta untuk lepas dari pemerintahan [demisioner] Jepang yang memperoleh kuasa dari Pasukan Sekutu (allied forces) untuk menjaga "status quo" sampai kedatangan Pasukan Sekutu untuk menguasai daerah-daerah yang diduduki oleh Jepang. Selain itu Amanat ini dapat diartikan sebagai jawaban atas Piagam [Dekrit] Presiden Indonesia yang telah dikeluarkan pada 19 Agustus 1945.

[2] Sri Paduka Kangjeng Sultan, merupakan gelar singkat Sultan Yogyakarta dalam paduan bahasa Indonesia dan Jawa. Gelar ini juga menunjukkan kapasitas/jabatan orang yang mengeluarkan Dekrit. Atas dasar inilah Amanat 5 September 1945 dapat diartikan sebagai sebuah Dekrit Kerajaan.

[3] Pada waktu itu kata "kami" sering dipergunakan untuk menggantikan kata "saya". Dapat pula diartikan sebagai bentuk kata jamak penghormatan (pluralis majesticus).

[4] Menunjukkan pihak yang mengeluarkan dekrit.  Nama ini adalah nama kehormatan jabatan dari Sultan Yogyakarta yang nama lahirnya adalah Dorojatun

[5] Sebutan jabatan orang yang mengeluarkan dekrit. Lebih jauh lagi dapat diartikan dengan jabatan dan seluruh kewenangan yang dimiliki/melekat oleh jabatan itu.

[6] Kata Negeri dalam dekrit ini kelihatannya merupakan tejemahan dari kata "Nagari" dalam bahasa Jawa yang memiliki makna Negara. Jadi dapat diterjemahkan sebagai Negara Yogyakarta Adiningrat.

[7] Bersifat kerajaan menunjukkan dan menegaskan bahwa Negara Yogyakarta berbentuk monarki. Dapat dibandingkan dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik". Bentuk monarki ini diungkapkan secara jelas dalam dekrit ini karena berkaitan dengan otonomi khusus yang "diminta" Negara Yogyakarta sebagai "konsesi" bergabungnya Yogyakarta dalam Negara Indonesia. Lihat poin [8] di bawah.

[8] Daerah istimewa pada saat itu bermakna daerah otonomi khusus dalam bahasa saat ini. Dalam dekrit ini bentuk otonomi khusus bagi Negara Yogyakarta begitu ditekankan. Otonomi khusus "diminta" oleh Negara Yogyakarta sebagai sebuah konsesi atas (a). bergabungnya Negara Yogyakarta sebagai bagian Negara Indonesia; (b). berubahnya status Yogyakarta dari "Negara" (state/staat) menjadi "Daerah" (Territory/region/department). Isi otonomi khusus yang diminta Yogyakarta telah dijelaskan dalam poin [7] mengenai bentuk monarki dan akan dijelaskan lebih lanjut dalam poin-poin [10], [11], [12], [13], [14], dan [15] di bawah.

[9] Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

[10] Di tempat ini Sultan Yogyakarta membahasakan diri beliau sebagai Kepala Daerah "bukan lagi" sebagai Kepala Negara. Ini adalah konsekuensi pertama yang harus diterima oleh Sultan Yogyakarta karena bergabung dengan Negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, yang tidak mengenal adanya "staat di dalam Staat".

[11] Walau sebagai hanya sebagai "Kepala Daerah", Sultan Yogyakarta masih memegang seluruh kekuasaan dan kewenangan yang beliau miliki sebagai Kepala Negara. Kekuasaan "Kepala Negara" dimaksud hanya sebagai kepala negara bawahan. Kekuasaan ini meliputi hal-hal yang telah diakui dan diatur oleh "Negara Induk" seperti yang diatur oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa maupun oleh Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda (Perjanjian politik 18 Maret 1940 [Staatsblad 1941, No. 47]). Dengan demikian kekuasaan Sultan  meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun demikian kekuasaan Sultan tidak mencakup mengenai masalah luar negeri yang diurus oleh Negara Induk.

[12] Pada poin ini Sultan menyatakan bahwa semua kekuasaan, baik sipil maupun militer, yang ada pada waktu itu berada di tangan Sultan. Dengan kata lain semua kekuasaan yang sah berada di tangan sultan. Ini juga menegaskan bahwa di Yogyakarta tidak ada lagi jabatan Pepatih Dalem (semacam Prime Minister).

[13] Kekuasaan lain yang dimaksud adalah kekuasaan yang masih terdapat pada (a). Wakil Pemerintah Negara Induk; dan (b). badan/instansi negara induk di kesultanan. Kekuasaan ini juga diambil alih oleh Sultan.

[14] Hubungan antara Negara Yogyakarta dan Negara Indonesia berupa hubungan langsung. Ini ditekankan oleh Sultan, sebab pada masa pemerintahan Kerajaan Hindia Belanda dan pemerintahan Militer Jepang, hubungan antara Negara Yogyakarta dengan Negara Induk harus melalui Wakil Pemerintah Negara Induk (Gubernur pada masa Hindia Belanda dan Kooti Zimukyokutyokan pada masa Jepang). Dengan demikian dapat diartikan lebih lanjut Sultan juga menjadi aparat/wakil pemerintah pusat di Yogyakarta.

[15] Di sini  dikemukakan bahwa Sultan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden Indonesia mengenai kekuasaan yang dibebankan padanya, tidak melalui pejabat apapun.

[16] Dekrit ini juga merupakan sebuah instruksi.

[17] Penduduk dalam amanat ini dapat diartikan warga negara Yogyakarta. Sebab, pada waktu itu, terdapat tiga kewarganegaraan yaitu (a) warga negara Yogyakarta, dikenal dengan Kawulo Dalem; (b) warga negara Induk, pada masa Hindia Belanda dikenal dengan kawulo Gupermen; dan (c) warga negara asing. Kekuasaan Sultan pada saat itu hanya mengikat warga negara Yogyakarta saja.

[18] Mematuhi dan melaksanakan instruksi.

[19] Tempat dan tanggal dikeluarkannya pernyataan. Yang menarik adalah digunakannya dua buah penanggalan yaitu penanggalan Jawa dan penanggalan barat.

[20] Pejabat yang membuat pernyataan.

Komentar atas Dekrit Kedudukan Penguasa Paku Alaman

Teks(#): 
Piagam(1) Kedudukan Sri Paduka Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII(2)

Kami, Presiden Republik Indonesia,(3) menetapkan:(4)

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kaping VIII(5), pada kedudukannya(6),

Dengan kepercayaan bahwa(7) Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Paku Alaman(8)(9) sebagai bagian daripada Republik Indonesia.(10)


Jakarta, 19 Agustus 1945(11)

Presiden Republik Indonesia(12)

Ir. Sukarno

=================================================================

Komentar:


(#) Teks adalah teks asli dengan penyempurnaan EYD

(1) Piagam disini dapat diartikan suatu pernyataan resmi maupun perjanjian. Lebih jauh, piagam pada jaman dulu memiliki kekuatan yang hukum mengikat bagi pihak yang memberi dan pihak yang diberi.

(2) Kedudukan disini dapat diartikan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Pangeran Paku Alam pada saat itu (Pangeran PA VIII). Lebih jauh dapat diartikan pula dengan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Pangeran Paku Alam secara umum (tidak terikat pada Pangeran yang diberi piagam, namun juga pangeran-pangeran yang menggantikannya).

(3) Rumusan anak kalimat ini menunjukkan pemberi piagam dan jabatan yang disandangnya.

(4) Kata ini menjadi tanda suatu diktum yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

(5) Kangjeng Gusti ... VIII, merupakan nama gelar Pangeran Paku Alam. Nama gelar ini disebutkan secara utuh. Lebih jauh dapat diartikan sebagai pengakuan dan penghormatan kepada Pangeran Paku Alam yang menjadi penguasa (kepala negara dan pemerintahan) Negara Paku Alaman. Hal ini menunjukkan pula pengakuan dari Presiden Indonesia terhadap eksistensi Paku Alaman sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum dalam tingkatan negara.

(6) Kedudukan yang dimaksud dapat diartikan sebagai kedudukan Pangeran Paku Alam pada masa itu yaitu sebagai kepala negara dan pemerintahan. Lebih jauh kedudukan ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan kepada pangeran-pangeran yang menggantikannya.

(7) Pengakuan dan penetapan Pangeran Paku Alam tetap memegang jabatan, kekuasaan dan kewenangannya seperti sediakala tentunya tidak gratis melainkan dengan suatu syarat yang akan disebutkan.

(8) Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Pangeran Paku Alam sebagai kompensasi atas pengakuan yang diberikan oleh Presiden Indonesia.

(9) Daerah Paku Alaman bukan Negara Paku Alaman, penyebutan ini merupakan salah satu syarat yang "terberat" yang diberikan oleh Presiden Indonesia. Lebih jauh dapat diartikan sebagai isyarat penurunan status Paku Alaman dari "dependency state" menjadi "department/territory".

(10) Ini adalah konsekuensi yang harus diberikan oleh Negara Indonesia bagi negara bawahan yang ikut bergabung. Berdasar pasal 1 ayat 1 UUD yang baru disahkan sehari sebelumnya Indonesia adalah negara kesatuan dimana di dalamnya tidak ada negara bawahan (dependency state) namun hanya daerah (department/territory). Di kemudian hari penurunan status negara menjadi daerah membawa sebuah permasalahan yang rumut, sulit, dan berlarut-larut.

(11) Tanggal 19 Agustus 1945 merupakan tanggal dikeluarkannya pernyataan presiden.

(12) Presiden Indonesia adalah jabatan yang membuat komitmen/pernyataan. Saat itu kekuasaan Presiden Indonesia adalah absolut. Berdasarkan Pasal IV aturan peralihan Presiden juga memegang kekuasaan DPR dan MPR. Dengan demikian dapat diartikan lebih jauh bahwa pernyataan (piagam) ini dapat dipandang berkedudukan sebagai  Peraturan Pemerintah (kekuasaan Presiden) atau Undang-Undang (kekuasaan DPR) bahkan sebagai Amandemen pasal 18 UUD yang baru saja disahkan (kekuasaan MPR).

Komentar atas Dekrit Kedudukan Penguasa Yogyakarta

Teks(#): 
Piagam(1) Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX(2)

Kami, Presiden Republik Indonesia,(3) menetapkan:(4)

Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat(5), pada kedudukannya(6),

Dengan kepercayaan bahwa(7) Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta(8)(9) sebagai bagian daripada Republik Indonesia (10).


Jakarta, 19 Agustus 1945(11)

Presiden Republik Indonesia(12)

Ir. Sukarno

=================================================================
Komentar:

(#) Teks yang digunakan adalah teks asli dengan penyesuaian EYD.

(1) Piagam disini dapat diartikan suatu pernyataan resmi maupun perjanjian. Lebih jauh, piagam pada jaman dulu memiliki kekuatan yang hukum mengikat bagi pihak yang memberi dan pihak yang diberi.

(2) Kedudukan disini dapat diartikan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Sultan Yogyakarta pada saat itu (Sultan HB IX). Lebih jauh dapat diartikan pula dengan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Sultan Yogyakarta secara umum (tidak terikat pada Sultan yang diberi piagam, namun juga sultan-sultan yang menggantikannya).

(3) Rumusan anak kalimat ini menunjukkan pemberi piagam dan jabatan yang disandangnya.

(4) Kata ini menjadi tanda suatu diktum yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

(5) Ingkang Sinuwun ... Hadingrat, merupakan nama gelar Sultan Yogyakarta. Nama gelar ini disebutkan secara utuh. Lebih jauh dapat diartikan sebagai pengakuan dan penghormatan kepada Sultan Yogyakarta yang menjadi penguasa (kepala negara dan pemerintahan) Negara Yogyakarta. Hal ini menunjukkan pula pengakuan dari Presiden Indonesia terhadap eksistensi Yogyakarta sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum dalam tingkatan negara.

(6) Kedudukan yang dimaksud dapat diartikan sebagai kedudukan Sultan Yogyakarta pada masa itu yaitu sebagai kepala negara dan pemerintahan. Lebih jauh kedudukan ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan kepada sultan-sultan yang menggantikannya.

(7) Pengakuan dan penetapan Sultan Yogyakarta tetap memegang jabatan, kekuasaan dan kewenangannya seperti sediakala tentunya tidak gratis melainkan dengan suatu syarat yang akan disebutkan.

(8) Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Sultan Yogyakarta sebagai kompensasi atas pengakuan yang diberikan oleh Presiden Indonesia.

(9) Daerah Yogyakarta bukan Negara Yogyakarta, penyebutan ini merupakan salah satu syarat yang "terberat" yang diberikan oleh Presiden Indonesia. Lebih jauh dapat diartikan sebagai isyarat penurunan status Yogyakarta dari "dependency state" menjadi "department/territory".

(10) Ini adalah konsekuensi yang harus diberikan oleh Negara Indonesia bagi negara bawahan yang ikut bergabung. Berdasar pasal 1 ayat 1 UUD yang baru disahkan sehari sebelumnya Indonesia adalah negara kesatuan dimana di dalamnya tidak ada negara bawahan (dependency state) namun hanya daerah (department/territory). Di kemudian hari penurunan status negara menjadi daerah membawa sebuah permasalahan yang rumut, sulit, dan berlarut-larut.

(11) Tanggal 19 Agustus 1945 merupakan tanggal dikeluarkannya pernyataan presiden.

(12) Presiden Indonesia adalah jabatan yang membuat komitmen/pernyataan. Saat itu kekuasaan Presiden Indonesia adalah absolut. Berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan Presiden juga memegang kekuasaan DPR dan MPR. Dengan demikian dapat diartikan lebih jauh bahwa pernyataan (piagam) ini dapat dipandang berkedudukan sebagai  Peraturan Pemerintah (kekuasaan Presiden) atau Undang-Undang (kekuasaan DPR) bahkan sebagai Amandemen pasal 18 UUD yang baru saja disahkan (kekuasaan MPR).