Pencarian

Senin, 30 Juni 2014

Daerah Istimewa Surakarta (4e)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
Keterangan Ahli III dari Pemohon dalam Sidang Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013

Disampaikan oleh Prof. Dr. Purwo Santoso (ahli ilmu pemerintahan dan otonomi daerah dari UGM).
Pada Sidang IV tanggal 19 Agustus 2013



Terima kasih, Yang Mulia.

Assalamualaikum wr. wb.

[[Walaikumsalam wr. wb.]]

Para Pemohon meminta kepada saya untuk menyampaikan sejumlah hal yang lebih bersifat pemikiran daripada data sehingga yang kami sajikan, ini ada kaitanya dengan bagaimana melakukan penataan daerah istimewa dalam kerangka atau dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan poin yang ingin saya sampaikan di awal persentasi ini adalah bahwa selama ini ada keenganan atau ada kekhawatiran dengan status istimewa itu kemudian kontradiktif dengan gagasan Negara Kesatuan, dan poin yang saya sampaikan adalah kaitan antara kedua hal itu. Yang pertama-tama dimintakan untuk disampaikan adalah bahwa eksistensi keistimewaan atau Daerah Istimewa sudah diakui dalam konstitusi, dan tadi sudah disampaikan berulang-ulang, sehingga saya tinggal lanjutkan saja.

Poin berikutnya. Next. Nah apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu menjadi terancam ketika keistimewaan itu diakui, saya kira ini ada problem konseptualisasi ilmu pemerintahan atau ketetanegaraan yang saya ingin menyampaikan pendapat saya. Ada kekhawatiran yang luar biasa tentang apa namanya … bahwa keistimewaan itu akan kontradiktif dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu menurut saya adalah karena selama ini telah dominan atau mapannya, tentang tata pemerintahan yang lebih mengacu pada logikanya pemerintah daripada logikanya rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dan adanya Daerah Istimewa itu tidak dengan serta merta menjadikan negara kesatuan itu apa … terancam, kalau yang lebih dikedepankan adalah bersatunya Indonesia, bukan bersatunya tatanan yang dikendalikan dari pusat. Sehingga … sehingga apa namanya … di sini ada … ada doktrin yang saya kira sudah mapan dalam ilmu tata negara gagasan tentang negara kesatuan adalah bahwa yang … yang menjadi pembentuk daerah itu adalah pemerintah pusat. Dan ini menimbulkan problem serius ketika dalam praktiknya ada kekuataan kekuasaan di daerah yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian ketika dikatakan dibentuk itu menjadi tidak masuk akal.

Teori tentang desentralisasi yang sudah mapan, dan saya mulai sering mempersoalkan adalah desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dalam kasus DIY, misalnya psikologi atau alam pikir orang Jogja itu tidak sepakat karena orang DIY merasa yang membuat atau ikut melahirkan Indonesia, sehingga kalau status hukumnya itu sebagai apa … bentukan itu menjadi problematik secara konseptual. Oleh karena itu, keperluan untuk mengakui kekuatan-kekuatan yang sudah ada sebelumnya dan konstribusi daerah-daerah yang ikut membentuk Indonesia, itulah yang kemudian yang menghasilkan konsep yang dalam bahasa orang Jogja itu “ijab kabul”. Dan ijab kabul itulah yang kemudian ditegaskan berulang-ulang sebagai aspirasi atau kerangka penataan. Sekali lagi gagasan daerah istimewa di dalam NKRI itu tidak dengan serta merta menghasilkan ancaman kalau ada kesediaan kita untuk tidak terlalu doctrinaire dan nanti saya akan jelaskan tidak doctrinaire itu juga tidak asal bicara. Tapi ada kejujuran di dalam memahami kesatuan Indonesia yang di luar bingkai pemikiran yang administratif dan yuridis. Bukan berarti hukum dan administrasi tidak pengting, tetapi seolah-olah tidak ada di luar itu, itulah yang problematik.

Yang menjadi prasyarat untuk itu adalah ada kesediaan kita untuk membedakan antara gagasan kebangsaan dan kenegaraan. Ini dua hal ini gabung dan kemudian yang dijabarkan terus menerus adalah aspek kenegaraannya dan aspek kebangsaannya itu hilang. Karena memang juga tidak ada ilmu tata bahasa yang ada adalah ilmu tata negara. Dan kemudian karena yang dibicarakan dalam penataan itu dari segi birokrasi, dari segi organisasi, maka aspek kebangsaan itu hilang dan kemudian nanti sambungannya logo Bhinneka Tunggal Ika yang ada di atas Yang Mulia dan di atas kita semua itu menjadi tidak relevan karena yang ada hanyalah Ikanya, Bhinnekanya itu nanti hilang dalam kajian tata pemerintahan.

Dan oleh karena itu, kemudian ada ketakutan ketika keragaman itu dibuka dan keistimewaan itu diakui, maka kemudian tatanan yang sudah mapan itu kemudian tidak bisa dipahami secara teoritik. Poin saya adalah ketakutannya adalah rusaknya teori bukan rusaknya Indonesia.

Next. Yang sebetulnya terancam dibalik percakapan atau wacana sehari-hari itu adalah dominasi pemaknaan NKRI yang secara doctrinaire dan sudah mampan di dalam kajian tata negara, kajian ilmu pemerintahan yang pada dasarnya itu birokratis atau state centric yang hanya mau melihat Indonesia dari pusat atau dari pucuk pimpinan. Memang itu memudahkan penataan organisasi pemerintahan, memudahkan tertib hukum, tetapi itu dalam banyak hal kontradiktif dengan perjalanan sejarah.

Izinkan saya memberikan elaborasi sejarah pemerintahan Indonesia itu kan sejarah pemerintahan kolonial. Dari seminar-seminar yang saya ikuti, saya dapat pengetahuan bahwa praktik berbahasa satu itu ternyata sumbernya adalah politik bahasa. Politik yang diambil oleh pemerintah kolonial untuk memudahkan pemerintah kolonial menguasai wilayah yang begitu luas dan begitu beragam. Sehingga inisiatifnya adalah dengan membentuk koran, membentuk kamus, dan koran pertama yang ada di Indonesia, yang pakai
bahasa Indonesia itu ada di Manado bukan di Mina ... apa namanya ... bukan di Jambi atau di daerah yang disebut melayu. Karena memang ada keinginan secara sadar dari Belanda untuk memudahkan (suara tidak terdengar jelas) memudahkan dikelola itu ada instrumen, ada rekayasa bahasa. Sehingga kemudian pada akhirnya terciptalah lingua franca, tetapi lingua franca itu adalah politik bahasa, politik penyatuan wilayah kekuasaannya dan baru belakangan itulah kemudian dikristalisasi, diperkuat dengan sumpah pemuda yang salah satunya adalah berbahasa satu, bahasa Indonesia. Tapi poin saya adalah bersatunya Indonesia itu melibatkan rekayasa di luar rekayasa hukum dan rekayasa administratif.

Kalau kita cermati studi-studi yang dilakukan oleh teman-teman yang mempelajari umat Islam. Bersatunya antar ikatan kedaerahan ... lintas daerah yang kemudian memperkokoh Indonesia, itu ditopang oleh peredaran para ulama, sehingga rute atau sirkulasi para ulama itulah yang menyatukan bangsa Indonesia yang satu dengan bangsa Indonesia yang lain. Kalau kita pergi ke Maluku misalnya, di sana sangat jelas tapak-tapak dari ... bukan hanya interaksi dengan bangsa-bangsa Eropa, tetapi juga ulama dari berbagai daerah itu berdatangan di sana dan ... dan itulah salah satu bukti bahwa sebetulnya bersatunya Indonesia itu tidak semata-mata fakta hukum dan fakta administratif, tetapi juga fakta sosiologis. Dan fakta sosiologis inilah yang tidak pernah diteorisasikan dan pada akhirnya kemudian ketika tidak ada basis teoritiknya, kemudian selalu hanya merujuk pada teori hukum dan teori administratif yang pada akhirnya itu kemudian ada kesulitan untuk mengkaitkan antara keragaman dan tampilan atau peran yang berbeda-beda dengan bersatunya Indonesia. Tetapi kita sudah mendapatkan sesanti atau warisan penting, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Intinya adalah yang menjadikan Indonesia bersatu itu adalah kehendak bersama bukan komandan yang tunggal dan terpusat.

Itu poin-poin terpenting yang saya ingin sampaikan sehubungan dengan adanya kegelisahan bahwa penghormatan terhadap keragaman, penghormatan terhadap keistimewaan itu akan mengancam NKRI, itu menurut saya problemnya adalah problem keilmuwan bukan problem praktik bermasyarakat. Karena praktik bermasyarakat justru menunjukkan bahwa bangsa atau kebangsaan itu diolah terus menerus dan keengganan untuk mereteorisasi itu saya kira kesulitan yang kemudian direproduksi menjadi rasa terancam.

Next.Dalam perjalanan Indonesia yang belum terlalu lama, terutama ketika pemerintah ingin menunjukkan kepemimpinannya dengan pembangunan ekonomi, dengan apa namanya … pembangunan yang terencana dan seterusnya memang birokrasi terbukti sangat penting dan sangat efektif sebagai acuan dan ada alasan empiris untuk lebih menekankan dimensi statehood atau pengelolaan negara daripada pengelolaan bangsa, tapi saya ingin tegaskan agenda nation building itu kan sangat dominan pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Dan ketika Presiden Soeharto memerintah Indonesia dan yang lebih dikedepankan adalah aspek ketatanegaraan atau the image statehood, maka kemudian nationhood itu dianggap sudah selesai. Disitulah pangkal dari kesulitan kita merujukkan antara keragaman dengan kesatuan.

Singkat cerita, ketika kita sudah berpuluh-puluh tahun di disiplinkan untuk berfikir hanya dalam logika pengelolaan statehood dan kita sudah teken programted bahwa nationhood itu sudah selesai, disitulah persoalannya. Tetapi lagi-lagi ada fakta yang kontradiktif, mari kita renungkan munculnya tuntutan dari banyak daerah untuk diwadahi secara administratif menjadi entitas pemerintahan yang oleh Bapak-Bapak DPR dikenal dengan gagasan pemekaran. Menurut tafsir saya, pemekaran itu adalah kepatuhan rakyat Indonesia kepada logika yang sangat yuridis administratif bahwa cara untuk diakui entitasnya adalah dibahasakan dalam bahasa administratif, dalam bahasa ketatanegaraan. Dan oleh karena itu ikatan-ikatan kebangsaan yang statusnya atau cakupannya subnasional, kemudian diwadahi dalam ikatan-ikatan administrative, kemudian ada tuntutan pembentukan daerah otonom baru yang jumlahnya berlipat ganda. Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diberlakukan dan di sana dibuka aturan bahwa daerah itu dibuka keran aspirasinya untuk mengusulkan, maka ada luapan tuntutan dan sampai sekarang saya kira Bapak-Bapak di DPR masih berhadapan dengan tuntutan yang sangat besar. Dan itu menurut saya adalah konsekuensi dari bias pemikiran tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang hanya diwadahi secara administratif dan yuridis, dan implikasinya adlaah masyarakat tertib dengan tertib secara berfikir itu, tapi kemudian muaranya justru pemerintah itu kewalahan karena kemudian harus mengikuti kehendak untuk lahirnya daerah otonom baru terus menerus.

Saya tidak membawa datanya, tetapi sekitar 2 kali apa namanya … jumlah daerah otonom itu 2 kalipat dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun di era apa … yang disebut reformasi. Tapi sekali lagi menurut saya (…)

[[Saudara Ahli barangkali bisa dipercepat sedikit.]]

Baik, poin saya adalah bahwa problemnya itu sekali lagi problem keilmuwan, bukan problem kebangsaan. Nah, idealnya dan kejanggalan antara keja … apa … kesulitan mengkaitkan antara pengakuan keistimewahan dengan NKRI itu akan menjadi lebih mudah kalau ada hubungan timbal balik. Jadi, rekayasa ketatanegaraan itu sambung dengan rekayasa kebangsaan. Dan dengan itu menurut saya justru kesatuan Indonesia akan lebih terjamin. Tapi, prasyarat yang lain yang menjadikan tidak adanya keraguan antara keistimewahan dengan Kesatuan Republik Indonesia adalah keperluan kita untuk mengembangkan wawasan politik yang adworld, yang melihat ke dalam. Eropa itu membentuk negara supranasional Uni Arab, European Union itu justru karena ada ancaman dari luar dan terbentuknya NKRI sebetulnya juga merespon apa … penjajahan dan adworld looking itulah yang selama hilang, sehingga sumber dari ketakutan kita sebetulnya adalah cara pandang kita yang adworld looking, bukan, bukan pengakuan pada keragaman, bukan pada pengakuan pada daerah-daerah istimewah [sic!].

Berikutnya, kemampuan Indonesia menghormati keanekaragaman, sekali lagi itu sudah menjadi kearifan yang diarahkan kepada kita dan kita gunakan simbol Bhineka Tunggal Ika itu, tetapi itu tidak mudah diwujudkan karena selama ini seolah-olah yang bertanggungjawab menyatukan Indonesia itu hanya pemerintah pusat dan gagasan tentang apa namanya … kekuasaan yang terpusat itulah yang kemudian menyulitkan.

Nah, oleh karena itu keistimewahan[sic!] itu bisa menjadi kekayaan bagi Negara Republik Indonesia kalau secara jujur kita akui bahwa yang menjadi pemilik Indonesia itu adalah warga negara, bukan pemerintah pusat karena selama ini logika tata hukumnya yang menjadi pemilik itu adalah pemerintah pusat dan adanya MK, adanya hak warga negara untuk mengajukan gugatan, saya kira itu adalah langkah menuju ke sana.

Poin yang berikutnya adalah bahwa yang sebetulnya terbukti dalam sejarah yang menyatukan Indonesia itu sekali lagi bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat yang berkehendak untuk bersatu. Next! Di dalam perjalanan Indonesia … next! Silakan berikutnya! Ketika yang kita kedepankan itu adalah dimensi statehood dan statehood itu membayangkan satu organisasi, satu pimpinan, maka dimensi ika itulah yang menonjol sehingga kemudian keragaman itu tidak menjadi kehirauan dan semakin hari semakin terasa tuntutan bagi pengakuan adanya keragaman itu dan oleh karena itu kebinekaan itulah yang menjadi penting dan sehubungan dengan itu maka kami di Universitas Gajah Mada mengusung agenda untuk mengkaji keragaman dalam kesatuan itu dengan payung riset namanya saya kira sudah sering didengar desentralisasi asimetris jadi perlakuan yang berbeda-beda supaya justru kita bisa saling memperkuat, saling melengkapi.

Poin yang terakhir yang dimintakan untuk disampaikan kepada Yang Mulia adalah bahwa dengan mengakui adanya keistimewaan itu ada kekhawatiran tatanan yang demokratis itu tidak terwujud. Memang kalau … tolong slide berikutnya! Next slide! Ketika kita bicarakan demokrasi pada tataran yang lebih generik, demokrasi saya kira kita tahu itu adalah tatanan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam kasus DIY, yang lebih ditonjolkan adalah dimensi dari … untuk … apa namanya … untuk rakyat, sori, sehingga tahta untuk rakyat dan dedikasi untuk rakyat itulah yang kemudian menghasilkan ada kecintaan yang besar pada para pemimpinnya sehingga kemudian hak untuk memilih itu tidak menjadi urusan yang paling penting mesikipun itu dalam literatur internasional dalam literatur demokrasi liberal itu didudukan sebagai hal yang sangat penting. Tapi poin terakhir yang saya katakan adalah sepanjang ada bukti bahwa pihak yang berkuasa, entah namanya sultan atau namanya apapun julukanya, sepanjang bisa menemukan kesesuaian dengan khalayak ramai yang dikuasai maka itu secara keilmuan, secara konseptual sudah justified disebut sebagai demokrasi, hanya saja demokrasi pada tataran yang lebih substantif dan penjabaran secara detail dalam kelembagaan itu bisa dibicarakan pada level yang lebih operasional.

Itu saja, Yang Mulia, yang bisa saya sampaikan. Mudah-mudahan ini bisa memberikan ketegasan bahwa pengakuan adanya daerah istimewa dan tambahan bagi lahirnya daerah yang berstatus istimewa tidak harus dikhawatirkan sebagai ancaman terhadap NKRI. Dan yang kedua, munculnya tatanan lokal, tatanan yang tidak berskala nasional itu bisa dijustifikasi secara keilmuan sebagai praktek demokrasi, hanya saja memang itu menjadi varian yang sering kali tidak bisa diterima dalam literatur internasional.

Terima kasih,

assalammualaikum wr.wb.

Risalah sidang IV tertanggal 19 Agustus 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.

Daerah Istimewa Surakarta (4d)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
Keterangan Ahli II dari Pemohon dalam Sidang Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013

Disampaikan oleh Dr. Purnawan Basundoro (ahli sejarah dari Univ Airlangga Surabaya)
Pada Sidang IV tanggal 19 Agustus 2013



Terima kasih, Yang Mulia.
Assalamualaikum wr. wb.

[Waalaikumsalam wr. wb.]

Izinkanlah kami menayangkan power point yang sudah kami serahkan kepada petugas.

Di sini, saya sebagai Ahli Sejarah hanya akan menjelaskan kronologi perjalanan daerah Surakarta sejak masa kolonial sampai dibentuknya atau sampai digabungnya daerah Surakarta kepada Provinsi Jawa Tengah.

Next! Pada masa kolonial, Belanda menyebut wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dengan sebutan vorstenlanden (daerah yang dikuasai oleh raja). Daerah itu merupakan penerus dari Kerajaan Mataram pada periode sebelumnya. Dan daerah tersebut bersifat otonom yang berhak memerintah daerahnya sendiri atau dalam … apa … dalam bahasa Belanda zelfbesturende landschappen. Dan kebijakan-kebijakan yang pada waktu itu dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang berlaku di tempat lain atau di wilayah kekuasaan Belanda pada waktu itu tidak pernah diterapkan di vorstenlanden. Mengingat, pada masa itu vorstenlanden adalah sebuah wilayah yang memiliki kekuasaan yang bersifat otonom. Salah satu contohnya adalah kebijakan tentang sistem tanam paksa. Kebijakan itu tidak pernah diterapkan di daerah vorstenlanden, salah satunya adalah Surakarta. Di Surakarta pada waktu hanya berlaku kebijakan kontrak antara perusahaan-perusahaan perkebunan dengan pemerintahan vorstenlanden pada waktu itu.

Next! Pada masa Jepang, penjajah Jepang mengubah secara radikal struktur pemerintahan di Indonesia, yaitu dengan mengubah dan menghapuskan sistem pemerintahan gubernur dan kabupaten. Kemudian, yang berlaku pada waktu itu adalah keresidenan yang … apa … berlaku mulai tanggal 27 tahun 2602 atau tahun 1942. Jadi, tanggal 27 April ya tahun 2602 tahun syoowa, yang kemudian disahkan pada tanggal 5 Agustus tahun 2602 tahun syoowa. Namun demikian, daerah vorstenlanden itu tidak tercakup dalam perubahan tersebut karena posisinya tetap dianggap sebagai daerah istimewa dan diberi nama kooti atau wilayah kerajaan yang dipimpin oleh … apa … oleh koo atau raja.

Next! Raja-raja di daerah vorstenlanden berubah namanya, masing masing menjadi Solokoo. Jadi, bukan Surakartakoo, Yogyakoo, Mangkunegarakoo, dan Pakualamankoo. Pemerintah bala tentara Jepang pada waktu itu mengangkat pejabat khusus yang bertugas di Solokoo … di Solokooti, yaitu Kooti Zemuk Youku Cwokyan [sic!] yang bekerja pada Kantor Urusan Kasunanan Surakarta yang … apa … merupakan wakil dari pemerintah jajahan Jepang di wilayah Surakarta.

Next! Status Surakarta pada Sidang PPKI, dalam Sidang PPKI tanggal 18 dan 19 Agustus tahun 1945, anggota PPKI pada waktu itu bersepakat bahwa daerah istimewa akan dipertahankan seperti sediakala, seperti tadi dijelaskan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Dan beberapa keputusan sidang PPKI tanggal 18 dan 19 Agustus Tahun 1945 antara lain. Yang pertama, untuk sementara waktu daerah negara Indonesia dibagi dalam 8 provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Worneo[sic!], Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, dan provinsi dibagi dalam keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen, gubernur dan residen dan dibantu oleh komite nasional daerah, ini untuk gubernur dan keresidenan.

Yang kedua, untuk sementara waktu kedudukan kooti dan sebagainya diteruskan seperti sekarang, dalam konteks waktu itu. Ketiga, untuk sementara waktu kedudukan kota atau (Ahli menggunakan bahasa daerah) diteruskan seperti sekarang, dalam konteks waktu itu. Terkait dengan dipertahankannya Surakarta sebagai (suara tidak terdengar jelas), pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Republik Indonesia Soekarno menetapkan piagam kedudukan Pakubuwono XII dan Mangkunegoro ke VIII. Mengikuti dengan ditetapkannya piagam kedudukan itu, pada tanggal 1 September 1945 Pakubuwono XII dan Mangkunegoro VIII kemudian menyampaikan maklumat yang disebut maklumat 1 September 1945 yaitu 5 hari sebelum maklumat yang dibacakan oleh Sultan Yogyakarta, yang isinya wilayah kesunanan Surakarta dan Mangkunegaranan adalah bersifat istimewa dan menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dua, segala urusan di dalam daerah kesunanan dan mangkunegaranan menjadi tanggung jawab penuh dari kedua pemerintahan di kedua daerah tersebut dengan mengingat berbagai peraturan pemerintah Republik Indonesia. Tiga, hubungan antara kesunanan dan Mangkunegaranan dengan Pemerintah Republik Indonesia bersifat langsung.

Next.Pembentukkan KNI dan KNID. KNI atu Komite Nasional Indonesia merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sebelum berdiri MPR dan DPR dan berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X KNI diberi kekuasaan legislatif dan pada tanggal 29 Agustus 1945 KNI Surakarta dibentuk.

Next. Namun kemudian pada tanggal 19 Oktober 1945, pemerintah pusat mengangkat komisaris tinggi untuk daerah istimewa Surakarta dan Yogyakarta, dan jabatan komisaris tinggi yang pertama untuk Surakarta dan Yogyakarta pada waktu itu adalah RP. Soeroso. Dalam kesempatan ini meralat tadi yang disampaikan oleh Prof. Yusril yang mengatakan (suara tidak terdengar jelas) yang menurut data yang saya peroleh adalah Raden Pandji Soeroso sebagai Komisaris tinggi yang pertama untuk Surakarta. Pengangkatan Raden Pandji Soeroso sebagai komisaris tinggi di daerah Surakarta kemungkinan menciptakan dualisme pemerintahan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang waktu itu dipegang oleh keraton. Karena di satu sisi, pemerintah pusat melalui komisaris tinggi juga ingin memerintah Surakarta dan di satu sisi sebenarnya pemerintahan Surakarta waktu itu yang dipegang oleh keraton masih berjalan.

Pada tanggal 27 November 1945 dibentuk panitia tata negara Daerah Istimewa Surakarta. Panitia tata negara tentang daerah Surakarta pada waktu itu salah satunya adalah membahas konsep daerah istimewa. Seperti apa sebenarnya daerah istimewa? Dan itu dibahas pada waktu itu dan menurut pembahasan panitia tata negara, kata istimewa itu mengandung arti (Ahli menggunakan bahasa asing) atau dalam bahasa Indonesia kecuali, ini mengecualikan dengan daerah yang lain. Namun pada waktu itu di Surakarta muncul gerakan-gerakan sosial yang menamakan diri sebagai … atau kemudian dinamakan sebagai gerakan anti suap baja [sic!] yang gerakan ini menguat dengan terjadi culik-menculik di Surakarta. Jadi Perdana Menteri Sultan Syahrir salah satunya adalah korban penculikan bahkan Sinuwun Sunan Pakubuwono XII itu juga menjadi korban penculikan dan lain sebagainya, dan Surakarta pada waktu itu menjadi daerah yang amat mencekam, tegang, dan nyaris tak terkendali sehingga banyak orang pada waktu itu menjuluki Surakarta sebagai wild west yaitu situasi chaos yang sangat luar biasa.

Next. Tuntutan dari kelompok anti suap raja secara garis besar antara lain yang pertama daerah istimewa atau Surapradja Surakarta agar dihapus secara total. Kedua Pakubuwono XII agar meletakan tahta dan digantikan pejabat lain. Ketiga berbagai peraturan daerah istimewa atau surapradja[sic!] agar diubah dan disesuaikan dengan kondisi pada masa itu.  Pihak keraton yang pada waktu itu diwakili oleh wakil patih Uryaningrat[sic!] dan Pakubuwono XII bersikukuh bahwa kekuasaan keraton tidak bisa diserahkan dengan begitu saja karena pemerintah pusat telah mempercayakan kekuasaan keraton kepada pihak keraton itu sendiri dengan piagam ukuwan[sic!]. Sehingga bila mereka meminta kekuasaan itu mestinya kepada pemerintah republik Indonesia tidak kepada keraton. Situasi Kota Solo semakin tidak terkendali pada waktu itu yang kemudian menginsiprasi tentara waktu itu divisi IV atau divisi panembahan senopati yang di bawah pimpinan kolonel Sutarto untuk membentuk dewan pemerintah rakyat dan tentara dan menurut Iskak Cokrohadisuryo yang pada waktu itu kemudian menjadi residen yang pertama pembentukan dewan pemerintahan rakyat dari dan tentara yang berkuasa penuh atas wilayah Surakarta merupakan langkah konkret untuk menghapuskan eksistensi keraton kasunanan dan mangkunegaran dan pada tanggal 6 Juni 1946 pemerintah pusat mengeluarkan pernyataan bahwa negara dalam keadaan bahaya yang mengacu pada situasi Kota Surakarta pada waktu itu yang sangat kacau dan pernyataan itu kemudian diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946. Mengacu pada pelaksanaan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1946 di Surakarta kemudian dibentuk dewan pertahanan daerah yang dewan pertahanan daerah mestinya dipimpin oleh presiden berdasarkan undang-undang itu. Namun di Surakarta dewan pertahanan daerah ternyata diketuai oleh Kolonel Sutarto wakilnya adalah Sudirman bukan jenderal Sudirman tapi Sudirman residen Surabaya dengan anggota mayor suryo biasa dipanggil Bah Diro dari Barisan Banteng, kemudian Sumodiharjo dari Partai Pur Indonesia[sic!], Sifosudarmo[sic!] dari Masyumi, Suyono dari PPKNID Surakarta, Juadi dari PPKNID Surakarta dan sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946 presiden republik Indonesia kemudian mengeluarkan Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 28 Juni tahun 1946 yang maklumat tersebut menyatakan bahwa presiden mengambil kekuasaan pemerintahan di Surakarta sepenuh-penuhnya untuk sementara waktu sampai keadaan normal kembali. Menyusul Maklumat Presiden Nomor 1 tersebut pemerintah republik Indonesia kemudian mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 tentang Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 1946.

Salah satu poin penting dari penetapan pemerintah itu adalah dibentuknya Keresidenan Surakarta yang dikepalai oleh seorang residen. Dalam kutipan penetapan pemerintah itu misalnya disebutkan sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah kasunanan dan mangkunegara ditetapkan dengan undang-undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Keresidenan dikepalai oleh seorang residen yang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang residen di Jawa dan Madura di luar daerah Surakarta dan Yogyakarta. Dengan keluarnya Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD tahun 1946 praktis pemerintah daerah Surakarta yang bersifat istimewa sudah tidak memiliki kekuasaan lagi dan pada bulan Juli tahun 1946 Ishak Cokrohadisuryo dan Mayor Sudiro dilantik menjadi presiden … dilantik oleh presiden dan wakil presiden menjadi residen dan wakil residen Surakarta dan RP Suroso sebagai komisaris tinggi diberhentikan. Presiden sekali lagi di dalam pidato sambutannya menandaskan bahwa pembentukan Keresidenan Surakarta hanya bersifat sementara atau forlopi. Dan pada tahun 1948 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang itu juga masih dicantumkan istilah pemerintah daerah istimewa.

Tentang pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Pembentukan Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 terjadi pada masa Republik Indonesia Serikat. Dalam Republik Indonesia Serikat, Jawa Tengah adalah satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri dan Surakarta bukan bagian dari Jawa Tengah pada waktu itu. Dalam undang undang tersebut diawali dengan penghapusan pemerintahan daerah Keresidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta, serta membubarkan DPRD Keresiden-Keresiden tersebut, dan selanjutnya daerah-daerah bekas Karesiden Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan menjadi Provinsi Jawa Tengah. Pada waktu itu sebenarnya, ketika Jawa Tengah itu berdiri sebagai negara yang berdiri sendiri, Surakarta … pada waktu Mr. Assaat yang menetapkan undang-undang itu adalah Akting Presiden Republik Indonesia yang kekuasaanya sebenarnya tidak meliputi Jawa Tengah. Karena pada waktu itu Jawa Tengah menjadi bagian RIS, dan memang pada bulan Maret Tahun 1950, Jawa Tengah menyatakan kembali menjadi bagian dari Republik Indonesia, namun pada waktu itu pembentukannya secara resmi baru terjadi pada tanggal 17 Agustus Tahun 1950.

Next. Lanjut.

Ya, saya kira demikian keterangan dari kami, semoga berguna dalam masalah ini.

Terima kasih, Yang Mulia.

 Risalah sidang IV tertanggal 19 Agustus 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.

Daerah Istimewa Surakarta (4c)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
keterangan ahli I dari pemohon dalam sidang perkara nomor 63/PUU-XI/2013

Disampaikan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (ahli tata negara)
Pada Sidang IV tanggal 19 Agustus 2013


Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan.
Hadirin, hadirat yang saya hormati.
Assalamualaikum wr. wb.

[[Waalaikumsalam wr. wb.]]

Izinkanlah saya kepada Yang Mulia untuk memberikan keterangan Ahli yang diperlukan dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah di hadapan sidang Yang Mulia ini sebagai berikut.

Pertama, saya sepenuhnya sependapat dengan Para Pemohon bahwa norma angka 1 dan norma Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 sejauh kata dan Surakarta adalah bertentangan dengan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, juga bertentangan dengan norma Pasal 18D ayat (1) Undang- Undang Dasar Tahun 1945 yang mengakui keberadaan satu daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, serta juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang Asas Keadilan dan Kepastian Hukum.

Kedua, keberadaan Surakarta sebagai daerah istimewa telah diputuskan oleh sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus tahun 1945. Sidang PPKI ketika itu dipimpin oleh ketuanya Ir. Soekarno, yang sehari sebelumnya telah diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia.

Patut disadari bahwa pada tanggal 19 Agustus tahun 1945 itu Presiden RI memegang kekuasaan absolut berdasarkan Pasal 4 aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA, maka segala kekuasaan lembaga-lembaga itu dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

Ketiga, dengan memegang kekuasaan selain presiden, tapi juga menjalankan kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung itulah presiden kemudian mengeluarkan sebuah ketetapan yang tidak diberi nomor tapi diberi tanggal, yakni tanggal 19 Agustus tahun 1945 yang menyatakan bahwa inkang[sic!] sinuhun kanjeng susunan Pakubuwono tetap pada kedudukannya sebagai Sunan atau Raja Surakarta dengan segala kewenangan di daerah kekuasaannya.

Apakah arti tetap pada kedudukannya? Arti itu dapat ditelusuri di dalam risalah rapat-rapat PPUPKI maupun dalam rapat-rapat PPKI tentang keberadaan daerah-daerah istimewa atau yang dalam bahasa belan … dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah kooti dan bahasa Belanda disebut dengan istilah (Ahli menggunakan bahasa daerah).

Dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus disepakati bahwa Pulau Jawa akan dibagi ke dalam tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di samping tiga provinsi itu, seperti dikatakan Prof. Soepomo dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus, “Saya mufakat jadi kooti atau daerah istimewa, daerahnya di luar provinsi yang tiga itu,” artinya di luar Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Daerah kooti langsung berada di bawah pusat. Soekarno dalam penutup rapat PPKI 18 Agustus itu mengatakan, “Barangkali semuanya sudah mufakat, maka semua anggota PPKI mengatakan mufakat.” Maka kata Soekarno, “Untuk sementara waktu, urusan kooti diatur seperti adanya sekarang.”

Mengingat kedudukan kooti atau daerah istimewa itu langsung berada di bawah pemerintah pusat, maka dilihat dari suasana kebatinan rapat-rapat PPKI tanggal 18 Agustus Tahun 1945 itu keberadaan kooti atau daerah istimewa itu kedudukannya adalah setara dengan sebuah provinsi, Presiden RI selain mengukuhkan kedudukan para penguasa kooti dalam hal ini raja, sultan atau sunan, tetapi juga mengangkat seorang Wakil Pemerintah RI sebagai liasion officer untuk daerah tersebut. Untuk Surakarta telah diangkat Dr. Rajiman Wedyodiningrat sebagai Wakil Pemerintah RI untuk daerah istimewa Surakarta sebagaimana presiden juga telah mengangkat Tengku Amir Hamzah sebagai Wakil Pemerintah RI untuk Kesultanan Langkat di Sumatera Timur.

Lima[sic!], keberadaan Daerah Istimewa Surakarta selain termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional di daerah sebagaimana telah dikemukakan oleh Para Pemohon, juga diakui dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang peraturan, tentang Dewan Pertahanan Daerah dalam daerah istimewa yang antara lain menyatakan dalam Pasal 4A. Yang dimaksud dengan Dewan Pertahanan Daerah dalam daerah istimewa di Jawa adalah.
a. Satu Dewan Pertahanan Daerah untuk daerah kasunanan dan mangkunegaran.
b. Satu Dewan Pertahanan Daerah buat daerah kesultanan dan pakualaman.

Enam[sic!], berdasarkan keterangan-keterangan tadi maka pembentukan Daerah Istimewa Surakarta Hari Ningrat[sic!] adalah sah dan konstitusional, baik oleh keputusan sidang PPKI maupun oleh penetapan presiden RI tanggal 19 Agustus Tahun 1945, serta penegasan dari beberapa undang-undang yang ada antara Tahun 1945 sampai dengan Tahun 1946.

Tujuh[sic!], bahwa pada sekitar bulan Juni dan Juli 1946 terjadi berbagai pergolakan politik di Surakarta dan sekitarnya yang berujung pada penculikkan Perdana Menteri Suntan Syahrir dan beberapa menteri pada tanggal 27 Juni Tahun 1946. Kelompok kiri pada masa itu melancarkan gerakan revolusi atau gerakan anti swapraja yang menelan korban berbagai bupati dan pegawai pamong praja di Surakarta, peristiwa itu bersamaan dengan terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menuntut penghapusan kekuasaan para Sultan dan Raja Melayu sehingga menewaskan Tengku Amir Hamzah Wakil Pemerintah RI untuk Kesultanan Langkat.

Banyak hal yang dilupakan dari sudut sejarah ketatanegaraan kita bahwa akibat revolusi swapraja dan penculikkan Perdana Menteri Sutan Syahrir itu sistem pemerintahan kita kembali ke sistem presidensial pada tanggal 29 Juni Tahun 1946 melalui Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946, jam 01.00 WIB disiarkan oleh RRI Yogyakarta, dan saya mempunyai dokumen di tulis tangan oleh almarhum Prof. Osman Raliby yang mendengar pengumuman pemerintah itu melalui radio yogyakarta dan ditangkap di Kota Raja pada zaman itu. Itu ada buku yang ditulis oleh almarhum guru saya Prof. Osman Raliby judulnya Documenta Historica barangkali bisa menjadi bahan kajian sejarah ketatanegaraan kita.

Nah, jadi kita berubah kembali ke sistem presidensial pada tanggal 29 Juli 1946 melalui Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 setelah sebelumnya sistem kita telah berubah ke sistem parlementer pada tanggal 16 Oktober Tahun 1945 setelah Perdana Menteri Sutan Syahrir dibebaskan sistem pemerintah kita kembali lagi ke sistem parlementer. Dalam konteks inilah kita harus memahami lahirnya penetapan Presiden Nomor 16/S.D ... saya sudah cek S.D itu Sifat Darurat Tahun 1946 yang menyatakan Daerah Istimewa Surakarta untuk sementara dipandang sebagai “Keresidenan”, sementara pemerintah di daerah Yogyakarta dan Surakarta langsung di bawah pimpinan pemerintah pusat. Dengan demikian Penetapan Pemerintah Nomor 16/S.D Tahun 1946 sama sekali tidak menghapuskan Surakarta sebagai daerah istimewa yang kedudukannya setingkat dengan provinsi. Maklumat presiden Nomor 1 Tahun 1946 didahului dengan pernyataan keadaan darurat atau (suara tidak terdengar jelas) di seluruh Negara Republik Indonesia. Dalam situasi darurat seperti itu maka maklumat mengatakan pengambilalihan kekuasaan pemerintahan parlementer dari Perdana Menteri Sutan Syahrir adalah untuk sementara waktu sampai kembalinya keadaan seperti biasa yang memungkinkan kabinet, dan lain-lain badan resmi bekerja sebagaimana mestinya.

Dengan demikian ketika keadaan sudah pulih maka penetapan pemerintah Nomor 16/S.D Tahun 1946 yang mengatakan untuk sementara waktu daerah Surakarta dipandang sebagai “Keresidenan” juga sebenarnya berakhir, jadi selesai. Maka kembali lagi keadaan itu dikembalikan kepada Kanjen[sic!] Sinuhun sebagai pemimpin atau kepala daerah istimewa Surakarta sebagaimana Soekarno-Hatta kembali menyerahkan kekuasaan pemerintahan presidensial kepada pemerintahan parlementer yang dipimpin oleh perdana menteri Sutan Syahrir.

Delapan[sic!], oleh karena itu norma angka 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 yang menyebutkan, “Menghapuskan pemerintahan Surakarta.” Senafas dengan daerah Keresidenan yang lain yakni Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, adalah satu kesalahan konstitusional dalam memahami kedudukan Surakarta sebagai daerah istimewa, jika dikaitkan dengan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946. Keresidenan Surakarta yang dibentuk untuk sementara berdasarkan Penetapan Nomor 16/SD Tahun 1946 tersebut tidaklah identik atau sama dengan Surakarta sebagai daerah istimewa.

Oleh karena itu bisa saja pemerintah mengeluarkan penetapan, sekarang tentu tidak mungkin yang sudah juga tidak mungkin pada tahun 1950 kecuali dengan undang-undang untuk menghapuskan Keresidenan Surakarta. Daerah itu tetap daerah istimewa sebagaimana telah terbentuk pada tanggal 19 Agustus Tahun 1945 tanpa mungkin dapat menggabungkannya dengan Provinsi Jawa Tengah dengan menganggapnya sebagai sebuah Keresidenan yang dari sudut penempatannya bersifat sementara berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16/SD Tahun 1946.

Sembilan[sic!], kesalahan konstitusional dan historis dalam merumuskan angka satu dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1946[sic!]. Dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasca amandemen pada saat ini. Jelaslah bertentangan dengan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) bertentangan dengan pengakuan terhadap sebuah keberadaan daerah yang bersifat istimewa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Sepuluh[sic!], karena itu saya menyarankan kepada Majelis Yang Mulia, sudilah kiranya mengabulkan petitum Pemohon untuk menyatakan bahwa norma angka satu dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah, sejauh mengenai kata dan Surakarta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sekaligus menyatakan bahwa keputusan PPKI tanggal 18 Agustus Tahun 1945 dan Penetapan Presiden RI yang memegang kekuasaan MPR, DPR, dan DPA pada waktu itu tanggal 19 Agustus Tahun 1945 tentang pengakuan Surakarta sebagai daerah istimewa tetap berlaku karena sah dari sudut pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masa itu. Pembentukan daerah istimewa Surakarta itu adalah sah dan konstitusional dilihat dari sudut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan juga dilihat dari sudut pandang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.

Sebelas[sic!]. Selanjutnya, tugas presiden dan DPR bukanlah membuat undang-undang tentang pembentukan daerah istimewa Surakarta. Melainkan  membuat undang-undang yang mengatur tentang keistimewaan Surakarta sebagai daerah istimewa yang berkedudukan sama dengan sebuah provinsi. Sebab pembentukan daerah istimewa Surakarta telah selesai dilakukan oleh PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus Tahun 1945 dan Presiden RI yang pada saat itu memegang kekuasaan MPR, DPR, dan DPA juga telah mengeluarkan penetapan tentang daerah istimewa Surakarta itu. Bahkan sisi lain, Para Yang Mulia, sebenarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 itu juga tidak perlu ada. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 itu judulnya pembentukan provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah sudah dibentuk oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus dan diumumkan dan ditunjuk gubernurnya sekaligus. Sebagaimana juga pembentukan Provinsi Sumatera, Provinsi Kalimantan, provinsi lain-lain juga telah ditunjuk gubernur Tengku Muhammad Hasan dan Gubernur Ir. Pangeran Muhammad Nur untuk Kalimantan dan seterusnya.

Jadi undang-undang itu pun sebenarnya dari segi teknik pembentuk undang-undangnya juga sebenarnya keliru. Kalau mereka ingin menetapkan wilayah Provinsi Jawa Tengah mungkin. Tapi kalau undang-undang pembentukan Provinsi Jawa Tengah itu jelah secara historis bertentangan dengan realitas sejarah ketatanegaraan karena pada waktu undang-undang itu lahir tahun 1950, Provinsi Jawa Tengah sudah terbentuk sejak tanggal 18 Agustus 1945. Saya memang sudah mengecek, ternyata memang pada bulan Juli Tahun 1950 ketika Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 itu disahkan, negara Jawa Tengah yang pada waktu itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat. Ternyata sudah menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia di Jogjakarta. Jadi, sebenarnya bisa saja mereka kemudian membentuk sebuah provinsi. Tetapi seperti saya katakan tadi, mengingat bahwa Surakarta telah terbentuk sebagai suatu daerah istimewa, walaupun untuk sementara waktu pernah dipandang “sebagai sebuah keresidenan.” Keresidenannya itu bisa dihapuskan, tapi tidak menghapuskan status Surakarta sebagai sebuah daerah istimewa.

Sebab itulah dalam berbagai kesempatan, saya mengatakan bahwa perjuangan beberapa tokoh, termasuk Pemohon Prinsipal yang hadir pada kesempatan ini Gus Timum, dan Kp. Wirabhumi, juga warga masyarakat Surakarta bukanlah untuk membentuk Daerah Istimewa Surakarta dengan cara pemekaran wilayah, melainkan untuk mengembalikan status daerah istimewa tersebut yang telah terbentuk dengan keputusan PPKI dan penetapan presiden yang sah dan konstitusional. Namun, selama ini seolah tenggelam oleh perkembangan sejarah.

Demikianlah keterangan saya, semoga ada manfaatnya. Dan atas perhatian Para Hakim Yang Mulia, maka saya sampaikan ucapan terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb.

Risalah sidang IV tertanggal 19 Agustus 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.

Daerah Istimewa Surakarta (4b)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
keterangan dewan perwakilan rakyat dalam sidang perkara nomor 63/PUU-XI/2013

Disampaikan oleh Dr. H. Adang Daradjatun (Anggota A-60)
Pada Sidang IV tanggal 19 Agustus 2013


Assalamualaikum wr. wb.
Salam sejahtera untuk kita semua dan
selamat siang.

Yang Kami Muliakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI,
Bapak dan Ibu yang kami hormati.

Bersama ini kami sampaikan keterangan DPR atas permohonan pengujian materil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1955 dalam Perkara Nomor 63/PUUXI/ 2013.

DPR menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah, selanjutnya disebut Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013 sebagai berikut.

A.
    Ketentuan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah yang dimohonkan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian atas Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu bagian yang memutuskan angka 1 berbunyi, “Menghapuskan pemerintahan daerah Keresidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta. Serta membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Keresidenan-Keresidenan tersebut”, Pasal 1 ayat 1 berbunyi, “Daerah yang meliputi daerah Keresidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan menjadi Provinsi Jawa Tengah.”

B.
    Hak Konstitusional yang dianggap para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah, para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah sebagai berikut.
  1. Menurut Para Pemohon dengan dimasukkannya Surakarta sebagai bagian dari wilayah Jawa Tengah telah mengakibatkan status hukum Surakarta sebagai daerah istimewa menjadi tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum serta sekaligus telah diperlakukan tidak sama dengan daerah Istimewa Yogyakarta.
  2. Menurut para Pemohon, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jateng bukanlah merupakan undang-undang yang mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat istimewa seperti daerah Yogyakarta karena pada dasarnya undangundang ini bukanlah Undang-Undang yang khusus mengatur keistimewaan pemerintahaan daerah sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, namun lebih kepada penggabungan daerah-daerah khusus istimewa guna membentuk suatu provinsi baru sehingga kekhususan/keistimewaan yang ada pada suatu daerah menjadi samar atau hilang.
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 secara prosedural adalah peraturan yang cacat hukum karena undang-undang tersebut dibentuk berdasarkan konstitusi RIS. Berdasarkan dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959, konstitusi yang berlaku kembali ke Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga masalah mengenai daerah istimewa yang diatur Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen juncto Pasal 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kembali berlaku. Berdasarkan uraian di atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tidak memiliki kekuatan berlaku lagi.
  4. Para Pemohon beranggapan bahwa bagian memutuskan angka 1 dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Keterangan DPR-RI terhadap permohonan para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo DPR dalam penyampaian pandangannya sebagai berikut:

1.    Kedudukan hukum Pemohon.
Mengenai kedudukan hukum para Pemohon, DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memenuhi persyaratan legal standing sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/ 2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.

2.    Pengujian pembentukan Provinsi Jawa Tengah.
Terhadap permohonan pengujian undang-undang pembentukan provinsi Jawa Tengah yang diajukan para Pemohon DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
  1. Bahwa dalam catatan sejarah pembentukan provinsi Jawa Tengah disebutkan bahwa sejak zaman Hinda-Belanda hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri dari lima wilayah (gewesten), yaitu Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Pada saat itu Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan yang berdiri sendiri dan terdiri dari dua wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi hak otonomi dan dibentuk dewan daerah. Selain itu, juga dibentuk kotapraja (gemeente) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
  2. Kemudian sejak tahun 1930, provinsi Jawa Tengah ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki dewan provinsi atau (Provinciale Raad), provinsi Jawa Tengah terdiri atas beberapa keresidenan yang meliputi beberapa kabupaten dan dibagi lagi dalam beberapa kewedanaan. Provinsi Jawa Tengah terdiri atas lima keresidenan, yaitu Pekalongan, Jepara, Rembang, Semarang, Banyumas, dan Kedu. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946, pemerintah Indonesia membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran yang dijadikan Keresidenan. Pada tahun 1950, melalui undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya.
  3. Bahwa dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah secara tegas menyebutkan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan konstitusi tersebut, status pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa diatur dengan undang-undang.
  4. Bahwa dalam catatan sejarah, pembentukan undang-undang pemerintahan daerah mulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak ditemui satupun undang-undang yang menyebutkan secara eksplisit bahwa Surakarta merupakan daerah istimewa, namun secara de facto pernah disebutkan dalam piagam penetapan presiden tanggal 19 Agustus 1945 mengenai daerah istimewa Surakarta yang kemudian pada 16 Juli 1946 pemerintah pusat mengeluarkan penetapan pemerintah Nomor 16 SD 1946 yang berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta yang pada intinya keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali Kota Solo di bawah satu administrasi, selanjutnya dibentuk Keresidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk Swapraja Surakarta membawahi Kotamadya Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. Terbentuknya Keresidenan Surakarta yang diikuti berdirinya Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta secara otomatis menghapus kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara.
  5. Bahwa konstitusi secara jelas dan tegas telah menyebutkan tujuan dibentuknya satu sistem pemerintahan Indonesia adalah semata-mata untuk menciptakan suatu tata kehidupan yang tertib dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya pembentukan undang-undang, khususnya pembentukan tentang pembentukan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah semata-mata untuk menciptakan iklim kehidupan yang mengarah terwujudnya kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
  6. Bahwa DPR menghargai, mengakui, serta menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang dimiliki oleh daerah, wilayah yang dinilai memiliki nilai-nilai istimewa berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Namun demikian, realitas keistimewaan yang dimiliki suatu daerah hendaknya diwujudkan atas keinginan dari masyarakat secara riil. Sebagai contoh misalnya, salah satu ciri keistimewaan Provinsi Yogyakarta, yaitu adanya kehendak rakyat atas penetapan kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam sebagai Kepala Daerah DIY atau Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
  7. Bahwa adanya keinginan para Pemohon yang menginginkan Surakarta menjadi daerah istimewa karena Pemohon ingin dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Jawa Tengah, khususnya pemerintah Kota Surakarta, pembentukan lembaga-lembaga daerah, pengisian jabatan di pemerintah daerah, serta pelestarian, dan pengembangan budaya Jawa yang berasal dari Keraton Surakarta, kiranya hal tersebut perlu dikaji secara mendalam, apakah alasan-alasan tersebut telah tepat dan pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat Surakarta.
  8. Bahwa konstitusi secara tegas telah menyebutkan untuk mengakui pemerintahan daerah sebagai daerah khusus atau daerah istimewa harus diatur oleh undang-undang. Dengan … oleh karenanya DPR beranggapan apabila pada dasarnya para Pemohon dalam mengupayakan Surakarta menjadi daerah istimewa adalah ingin melakukan pemekaran wilayah sebagai … secara implisit tercermin dalam petitum permohonan a quo yang menghendaki Mahkamah Konstitusi memberi putusan menyatakan sepanjang kata dan Surakarta dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Maka akan lebih tepat kiranya dilakukan dengan mengupayakan melalui proses pembentukan undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak dengan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat sesungguhnya tidak ada pertentangan konstitusional antara Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ataupun adanya kerugian konstitusional para Pemohon akibat berlakunya pasal a quo.
  9. Bahwa mengenai pembentukan daerah atau penetapan suatu daerah menjadi daerah bersifat khusus atau istimewa berdasarkan konstitusi yang harus diatur dalam undang-undang yang mekanisme telah diatur secara jelas berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang di dalamnya diisyaratkan bahwa pembentukan pemerintah daerah didasari kepada persyaratan administratif yang meliputi persetujuan dari daerah induk dan berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat. Syarat teknis berupa kemampuan ekonomi, kemampuan keuangan, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintah daerah, serta secara fisik kewilayahan pembentukan daerah yang harus memenuhi cakupan wilayah paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi. Dan paling sedikit 5 kecamatan untuk pembentukan 1 kabupaten dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana pemerintah.
  10. Berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Demikianlah keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan.

Jakarta, 19 Agustus 2013,

atas nama Tim Kuasa Hukum DPR RI,

Adang Daradjatun
(A-60).

Wassalamualaikum wr. wb.

Risalah sidang IV tertanggal 19 Agustus 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.

Daerah Istimewa Surakarta (4a)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
keterangan pemerintah dalam sidang perkara nomor 63/PUU-XI/2013


Disampaikan oleh Dr. Mualimin Abdi
Pada Sidang III tanggal 30 Juli 2013


Assalamualaikum wr. wb.
selamat siang,
salam sejahtera untuk kita semua.

Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, para Pemohon yang saya hormati. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi, sebagaimana permohonan Para Pemohon yang dalam hal ini mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dimohonkan G.R.Ay. Koes Isbandiyah dan KP. Dr. Eddy S Wirabumi, S.H., M.M., yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Abdul Jamil dan rekan.

Presiden dalam hal ini, Yang Mulia. Memberikan kuasa kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri. Kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan kuasa kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan dan saya sendiri selaku Kepala Badan Litbang HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian Menteri Dalam Negeri juga memberikan kuasa yang antara lain Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh yang sudah hadir di hadapan Yang Mulia.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, berikut keterangan Pemerintah atas permohonan pengujian Undang-Undang a quo. Yang pertama, Yang Mulia. Pokok permohonan Para Pemohon, Pokok permohonan Para Pemohon, Para Pemerintah tidak akan membacakan secara detail karena pokok permohonan Pemohon, Para Pemohon, Pemerintah anggap sudah diketahui bersama baik oleh Pemerintah maupun oleh Pemohon itu sendiri.

Kemudian yang kedua, terhadap kedudukan hukum Para Pemohon. Terhadap kedudukan hukum Para Pemohon, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia untuk menilai dan mempertimbangkannya apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yang dijadikan jurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi.

Yang ketiga, Yang Mulia. Penjelasan terhadap materi yang dimohonkan untuk diuji, Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut. Pertama, bahwa keraton kerajaan Surakarta mulai didirikan pada tahun 1745 pada saat pemerintah Republik Indonesia memproklamirkan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pemimpin Mangkunegara atau Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala atau Pakubuwana XII memberikan dukungan kepada Presiden Republik Indonesia, yaitu yang pertama, Presiden Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta, Mangkunegara, dan Kasunanan adalah bagian dari Republik Indonesia.

Kemudian, sebagai timbal balik atas pengakuan ini, dibentuklah Daerah Istimewa Surakarta atau yang disingkat dengan DIS berdasarkan keputusan sidang resmi BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Kemudian, ada Piagam Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, kemudian ada Maklumat PB12 tanggal 1 September 1945, serta Keputusan Pemerintah Nomor 16/SDI/1946 mengenai Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta. Di samping itu juga telah diakui internasional lewat Konferensi Meja Bundar.

Yang kedua. Pada bulan Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja antimonarki, atau antifeodal di Surakarta yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh partai komunis ... Partai Komunis Indonesia pada saat itu.

Tujuan gerakan ini adalah untuk membubarkan Daerah Istimewa Surakarta dan menghapus mangkunegaran dan kesunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi kepada para petani oleh gerakan komunis.

Ketiga, Yang Mulia. Bahwa karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, pemerintah pusat kemudian mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 pada tanggal 16 Juli 1946 yang berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta. Yang pada intinya, keraton atau istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya jawa. Keputusan ini juga mengawali Kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya, dibentuk Keresidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kesunanan Surakarta, dan Praja Mangkunegaran, termasuk Kota Swapraja Surakarta yang membawahi Kotamadya Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali, kemudian berikutnya adalah dengan dibentuknya Keresidenan Surakarta yang diikuti dengan berdirinya Pemerintahan Daerah Kotamadya Surakarta, maka secara otomatis menghapus kekuasaan Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.

Empat. Pada prinsipnya, Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pemerintah mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang dimiliki oleh daerah atau wilayah yang memang dianggap memiliki nilai-nilai istimewa berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Lima. Bahwa sebagai negara kesatuan, maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undangundang.” Adapun maksud kata dibagi dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut adalah untuk menekankan yang ada lebih dahulu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembagian itu mengindikasikan wilayah provinsi, kabupaten/kota tidak lain adalah wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia yang untuk hal-hal tertentu kewenangannya dilimpahkan kepada provinsi, kabupaten/kota untuk mengaturnya.

Bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan sengaja mengambil kata dibagi karena untuk menghindari kata terdiri dari atau terdiri atas. Tujuannya adalah untuk menghindari konstruksi hukum bahwa wilayah provinsi, kabupaten/kota eksistensinya mendahului dari eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, wilayah provinsi, kabupaten/kota adalah wilayah administrasi semata dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tentunya hal ini berbeda dengan negara atau bentuk negara federal.

Enam. Pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Tahun 1945 … Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk undang-undang untuk membagi wilayah, termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya. Wilayah provinsi, kabupaten/kota adalah bersifat relative. Artinya tidak menjadi wilayah yang mutlak dari sebuah provinsi kabupaten/kota yang tidak dapat diubah batas-batasnya.

Hal demikian, tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Bahwa wilayah provinsi, kabupaten/kota berdasarkan alas an tertentu bisa saja berubah dengan adanya penggabungan atau pemekaran sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 ayat (3) Undang- Undang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

Dengan demikian Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, maka penghapusan, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan wilayah pemerintahan merupakan wewenang daripada pembentuk undang-undang atau di sini adalah DPR bersama dengan pemerintah.

Yang ketujuh. Bahwa permasalahan dalam pengujian undangundang yang dimohonkan oleh Para Pemohon, menurut Pemerintah bukanlah terkait atau tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan dari undang-undang yang dimohonkan untuk diuji tersebut.

Akan tetapi, menurut Pemerintah, hal demikian merupakah pilihan kebijakan atau legal policy yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang antara lain tujuannya adalah dalam rangka agar penyelenggaraan pemerintah dapat stabil, efektif, dan efisien.

Delapan. Bahwa tujuan dibentuknya satu sistem kenegaraan atau pemerintahan Indonesia adalah semata-mata untuk menciptakan satu tatanan kehidupan yang tertib dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian halnya pembentukan undangundang yang menjadi objek permohonan a quo oleh Para Pemohon adalah semata-mata untuk menciptakan iklim kehidupan yang lebih kondusif di Surakarta. Hal ini terbukti bahwa sejak diterbitkannya objek permohonan a quo hingga saat ini dapat dikatakan Surakarta telah menjadi daerah yang stabil dalam sistem pemerintahannya maupun pelayanan terhadap masyarakat dengan kemajuan yang sangat membanggakan dan sangat pesat seperti halnya daerah-daerah lain di Pulau Jawa.

Kemudian Yang Mulia, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah setiap tahun telah mengalokasikan anggaran beruba hibah dukungan kegiatan terhadap Keraton Surakarta Hadiningrat maupun Mangkunegara. Hibah yang diberikan adalah mendasarkan pada proposal yang disampaikan oleh Keraton Surakarta pada masing-masing tingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada Keraton Surakarta Hadiningrat adalah sesuai dengan kebutuhan operasional keraton sebagaimana dituangkan di dalam proposal.

Selanjutnya Yang Mulia, pemerintah pada dasarnya tidak membatasi apabila tujuan akhir Para Pemohon dalam mengupayakan Surakarta menjadi daerah istimewa adalah ingin melakukan pemekaran atau berkeinginan untuk menjadikan Surakarta menjadi Provinsi sendiri. Tentunya sepanjang pelaksanaannya, syarat-syarat, dan prosedurnya sesuai engan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana sudah dituangkan juga, ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara, Pembentukan, Penghapusan, dan Pengampungan Daerah yang di dalamnya diisyaratkan bahwa dalam pembentukan pemerintah daerah yang baru harus didasari pada persyaratan administratif, teknis, dan fisik kewilayahan termasuk kemampuan ekonomi, potensi daerah, social budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah tersebut.

Kemudian Yang Mulia, secara administratif dapat kita ketahui sebagaimana ketentuan di dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 maupun PP 78 Tahun 2007, maka paling sedikit harus dipenuhi 5 kabupaten/kota untuk pembentukan satu provinsi dan paling sedikit 5 kecamatan untuk pembentukan satu kabupaten dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahannya itu sendiri.

Kemudian Yang Mulia. Bahwa pembentukan daerah otonom barumemang membutuhkan biaya yang sangat besar dalam pembangunan infrastruktur kantor provinsi, kantor dinas-dinas, serta dalam rangka pemilihan gubernur dan wakil gubernur termasuk dalam hal ini adalah pengisian-pengisian jabatan tertentu. Misalnya sekretaris daerah dan jabatan-jabatan yang lainnya.

Menurut pemerintah, akan lebih bijaksana apabila anggaran yang begitu besar di dalam pembentukan provinsi baru tersebut dimanfaatkan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat yang secara langsung dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur hingga ke pelosok desa sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kemudian juga perlu diingat bahwa pembentukan daerah otonom baru tidak selalu menjamin terciptanya perubahan ke arah yang lebih baik manakala pembentukannya terhadap hal-hal yang tidak terpenuhi dan masih banyak pertentangan dari elemen-elemen masyarakat itu sendiri.

Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, melalui forum ini pemerintah memberikan apresiasi dan memberikan penghargaan kepada para Pemohon terhadap usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk para Pemohon itu sendiri dalam memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran di dalam membangun dan memahami tentang ketatanegaraan pada umumnya.

Pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut tentunya akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi pemerintah khususnya masyarakat Indonesia pada umumnya. Atas dasar pemikiran tersebut, pemerintah berharap sebetulnya yang memungkinkan adalah dilakukan dialog antara pemerintah dan pemerintah daerah maupun dengan masyarakat agar terus terjaga dengan satu tujuan agar kehidupan demokrasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Kesimpulannya Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, berdasarkan seluruh rangkaian uraian penjelasan pemerintah tersebut di atas, maka pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya serta sesuai dengan konstitusi yang berlaku.

Demikian, Yang Mulia, keterangan Pemerintah atas perhatian Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi diucapkan terima kasih.

Jakarta, 30 Juli 2013.
Hormat kami 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Amir Syamsudin,

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Gamawan Fauzi.

Terima kasih.

Wabilahitaufik Wal Hidayah.
Assalamualaikum wr. wb.


Risalah sidang III tertanggal 30 Juli 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.

Daerah Istimewa Surakarta (3)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
Ringkasan Sidang Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013: niet ontvankelijke verklaard



Sidang MK Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013 adalah persidangan di Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah terhadap UUD 1945. Perkara pengujian Undang-undang ini diajukan oleh G.R.Ay. Koes Isbandiyah sebagai Pemohon I dan KP. Eddy S. Wirabhumi, S.H., M.M. sebagai Pemohon II. Pemohon I adalah salah satu putri kandung Susuhunan Paku Buwono XII (PB XII) yang merupakan salah satu pewaris sah dari dinasti Keraton Surakarta Hadiningrat. Sedangkan Pemohon II adalah  Ketua Umum Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) yang merupakan paguyuban yang didirikan oleh Paku Buwono X (PB X) pada tahun 1931. Kedua pemohon tersebut didampingi oleh tim kuasa hukum dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Tim kuasa hukum tersebut terdiri atas empat orang, yaitu Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H., Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H., Zairin Harahap, S.H., M.Si., dan Ahmad Khairun H., S.H., M.Hum.

Dalam perkara tersebut para pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bagian Memutus angka I UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah, yang berbunyi: “Menghapuskan Pemerintahan Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banjumas, Kedu, dan Surakarta, serta membubarkan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Karesidenan-karesidenan tersebut” dan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Daerah jang meliputi Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banjumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan mendjadi Propinsi Djawa Tengah”, sepanjang kata-kata “dan Surakarta” adalah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 1 ayat (3), pasal 18B ayat (1), dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum; serta menyatakan Surakarta sebagai Daerah Istimewa seperti semula sebelum berlakunya UU Nomor 10 Tahun 1950

Latar Belakang
Pada 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan Piagam Kedudukan, yang isinya adalah berupa penetapan dan pengakuan bahwa kedudukan Sinuhun Kanjeng Suhunan Pakubuwono XII tetap seperti semula sebelum Surakarta Hadiningrat menjadi bagian dari NKRI. Berdasarkan hal tersebut, pada 1 September 1945 Sinuhun Kanjeng Suhunan Pakubuwono XII mengeluarkan maklumat yang pada intinya menegaskan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Namun, seiring dengan kondisi riil di Daerah Kasunanan Surakarta yang terus menerus bergolak, pada 15 Juli 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Dalam peraturan tersebut, Daerah Kasunanan dan Daerah Mangkunegaran dianggap sebagai satu karesidenan biasa di bawah Pemerintah Pusat. Akhirnya, pada 4 Juli 1950, negara bagian Republik Indonesia (RI-Yogyakarta) menetapkan UU RI Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah yang memasukkan Karesidenan Surakarta menjadi salah satu wilayahnya. Dengan dimasukkannya Surakarta sebagai bagian dari wilayah Jawa Tengah telah mengakibatkan status hukum Surakarta sebagai daerah istimewa menjadi tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum.  Hal tersebut sekaligus juga menjadikan Surakarta diperlakukan tidak sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah dibentuk dengan UU RI Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta dan telah diatur keistimewaannya secara khusus dengan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Oleh karena ketidakjelasan status hukum Daerah Istimewa Surakarta, Pemohon I kehilangan haknya sebagai salah satu ahli waris untuk mengelola dan/atau mengatur tanahnya, baik tanah keraton sebagai lembaga, tanan Sunan Grond, dan tanah pribadi raja dan/atau keluarga keraton. Keraton Surakarta Hadiningrat tidak pernah dilibatkan dalam pengelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Jawa Tengah, khususnya Pemerintah Kota Surakarta, pembentukan lembaga-lembaga daerah, pengisian jabatan di pemerintah daerah, serta pelestarian dan pengembangan budaya Jawa yang berasal dari Keraton Surakarta Hadiningrat.

Oleh karena tidak ada peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur pelestarian dan pengembangan budaya Jawa dari keraton Surakarta maka Pemohon II tidak dapat melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa dari Keraton Surakarta yang merupakan tujuan didirikannya Pakasa. Di samping itu, pelestarian dan pengembangan budaya Jawa dari Keraton Surakarta tidak dapat berjalan dengan baik karena tidak memiliki payung hukum berupa peraturan perundang-undangan sebagai bagian hak dari daerah yang bersifat istimewa. Produk hukum daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Surakarta belum memberikan perlindungan dan pengembangan terhadap nilai-nilai budaya yang bersumber dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini menimbulkan implikasi tidak jelasnya hak-hak Keraton Surakarta Hadiningrat, sehingga pemberian bantuan bukan merupakan kewajiban dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Surakarta.

Administrasi Pengujian
Pemohon mengajukan permohonan dengan surat permohonan 4 Juni 2013, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 4 Juni 2013, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 265/PAN.MK/2013 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada 12 Juni 2013 dengan Nomor 63/PUU-XI/2013 yang telah diperbaiki dengan surat pemohonan bertanggal 5 Juli 2013.

Pemohon mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-14, sebagai berikut:
  • P-1 Fotokopi KTP atas nama GRAy Koes Isbandiyah
  • P-2 Fotokopi KTP atas nama KP. Eddy S. Wirabhumi, S.H., M.M.
  • P-3 Fotokopi Akta Kelahiran atas nama GRAj Koes Isbandiyah
  • P-4 Fotokopi Surat Nikah S.P. Paku Buwono XII dan Rr. St Suprapti (orang tua pemohon I)
  • P-5 Fotokopi Surat Keputusan Kongres I Paguyuban Kawula Karaton Surakarta Hadiningrat (PAKASA)
  • P-6 Fotokopi SK Menteri Kehakiman Nomor M-18-HT.03.05-Th.1988, tertanggal 28 April 1988
  • P-7 Fotokopi Penetapan Peraturan Pemerintah 1946 Nomor 16/S.D. tertanggal 15 Juli 1946
  • P-8 Fotokopi UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
  • P-9 Fotokopi UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah
  • P-11 Fotokopi Piagam "pada kedoedoekanja"
  • P-12 Fotokopi Maklumat Presiden Nomor X
  • P-13 Fotokopi Penjelasan Maklumat Wakil Presiden Nomor X
  • P-14 Fotokopi Surat Wakil Presiden kepada J.M. fg. Ministert Presiden dan Menteri Pertahanan tertanggal 12 September 1949
Pemohon juga mengajukan tiga ahli dan dua saksi yaitu:
Ahli:
  • Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (ahli tata negara), 
  • Dr. Purnawan Basundoro (ahli sejarah dari Univ Airlangga Surabaya), dan 
  • Prof. Dr. Purwo Santoso (ahli ilmu pemerintahan dan otonomi daerah dari UGM).

Saksi:
  • Sri Juari Santosa
  • Kanjeng Pangeran winarno Kusumo/ Markus Winarno

Persidangan I
Acara:
Pemeriksaan Pendahuluan (I)

Waktu:
Rabu, 26 Juni 2013, Pukul 13.35 – 14.14 WIB

Tempat:
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.

Majelis Hakim:
Arief Hidayat (Ketua); Maria Farida Indrati (Anggota); dan Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota)

Panitera:
Dewi Nurul Savitri (Panitera Pengganti)

Pihak yang Hadir:
Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah dan K.P. Eddy S. Wirabhumi didampingi kuasa hukum Zairin Harahap, Ahmad Khairun, Abdul Jamil, dan Arif Setiawan

Ringkasan jalannya persidangan:
Ketua sidang membuka sidang panel pada pukul 13.35. Kuasa hukum memperkenalkan pemohon dan rombongan yang menyertainya. Ketua sidang menjelaskan agenda sidang pertama untuk mendengarkan pemohon mengemukakan permohonannya dan mendengarkan komentar majelis hakim dalam rangka perbaikan permohonan.

Kuasa hukum pemohon membacakan permohonannya yang pada pokoknya berisi ketentuan pada bagian memutus angka I UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah, dan Pasal 1 ayat (1) adalah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 1 ayat (3), pasal 18B ayat (1), dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kuasa hukum juga membacakan alasan-alasan pemohon mengajukan pengujian dan petitumnya.

Setelah kuasa hukum pemohon menyampaikan permohonannya, majelis hakim menyampaikan nasehat dan komentar dalam rangka perbaikan permohonan. Nasehat dan komentar pertama dikemukakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Nasehat dan komentar kedua dikemukakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Terakhir nasehat dan komentar Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Setelah mendengarkan nasehat dan komentar mengenai perbaikan permohonan para pemohon, ketua sidang memberikan waktu paling lama empat belas hari untuk memperbaiki permohonan. Sidang ditutup oleh ketua sidang pada pukul 14.14.
Persidangan II
Acara:
Perbaikan Permohonan (II)

Waktu:
Rabu, 10 Juli 2013, Pukul 13.38 – 13.57 WIB

Tempat:
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

Majelis Hakim:
Arief Hidayat (Ketua), Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota), dan Harjono (Anggota)

Panitera:
Dewi Nurul Savitri (Panitera Pengganti)

Pihak yang Hadir:
Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah dan K.P. Eddy S. Wirabhumi didampingi kuasa hukum Zairin Harahap dan Ahmad Khairun

Ringkasan jalannya persidangan:
Ketua sidang membuka sidang panel pada pukul 13.38. Kuasa hukum dan prinsipal (pemohon) memperkenalkan diri dan rombongan yang menyertai. Ketua sidang mempersilakan kuasa hukum menyampaikan perbaikan permohonan yang telah dilakukan.

Kuasa hukum menyampaikan perbaikan permohonannya. Perbaikan pertama mengenai kewenangan Mahkamah. Perbaikan kedua mengenai legal standing. Perbaikan ketiga mengenai pokok perkara. Keempat mengenai petitum pemohon. Selain itu kuasa hukum menyampaikan apabila permohonan pengujian undang-undang dikabulkan maka pembentukan undang-undang yang terkait bisa dibentuk oleh Dewan dan Pemerintah dalam waktu tiga tahun.

Terhadap perbaikan tersebut hakim konstitusi Harjono mengemukakan pertanyaan mengenai posisi Surakarta terkait dengan petitum. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh hakim konstitusi Arif Hidayat karena tidak ada hal yang mengatur posisi Surakarta pasca dikabulkannya permohonan. Majelis hakim menyarankan kuasa hukum untuk melakukan renvoi sebab waktu perbaikan sudah terlampaui.

Setelah itu majelis hakim mengesahkan alat bukti tertulis P-1 sampai dengan P-14. Majelis hakim juga meminta kuasa hukum untuk menyiapkan saksi atau ahli. Hasil dari sidang panel kemudian dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim. Ketua sidang menutup sidang pada pukul 13.57.



Persidangan III
Acara:
Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan DPR (III)

Waktu:
Selasa, 30 Juli 2013, Pukul 10.48 – 11.13 WIB

Tempat:
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

Majelis Hakim:
M. Akil Mochtar (Ketua), Achmad Sodiki (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota), Harjono (Anggota), Maria Farida Indrati (Anggota), Anwar Usman (Anggota), dan Muhammad Alim (Anggota).

Panitera:
Dewi Nurul Savitri (Panitera Pengganti)

Pihak yang Hadir:
Para pemohon: G.R.Ay. Koes Moertiyah Wandansari [sic!] dan K.P. Eddy S. Wirabhumi didampingi kuasa hukum Zairin Harahap, Ahmad Khairun, M. Arif Setiawan, dan Abdul Jamil

Wakil Pemerintah: Dr. Mualimin Abdi, Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, Tuti Rianingrum, Erik Aditiyansyah, Tri Rahmanto, dan Wahyu Chandra sebagai kuasa Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri selaku pemegang kuasa Presiden Republik Indonesia.

Ringkasan jalannya persidangan:
Ketua sidang membuka sidang panel pada pukul 10.40. Kuasa hukum dan pemohon II memperkenalkan diri dan rombongan yang menyertai. Wakil pemerintah juga memperkenalkan dirinya. Ketua sidang menyampaikan keterangan bahwa wakil dari DPR tidak hadir karena sedang reses.

Dr. Mualimin Abdi selaku Kepala Badan Litbang HAM Kementerian Hukum dan HAM membacakan keterangan pemerintah di hadapan sidang mahkamah. Pertama, pokok permohonan para pemohon tidak dibacakan secara detail. Kedua, kedudukan hukum para pemohon diserahkan sepenuhnya kepada mahkamah. Ketiga, pemerintah menyampaikan penjelasan terhadap materi yang diuji sejumlah delapan poin. Kesimpulannya, pemerintah memohon mahkamah untuk dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya serta sesui dengan konstitusi yang berlaku.

Setelah pemerintah menyampaikan keterangannya, kuasa hukum akan mengajukan ahli dan saksi. Ketua sidang menunda persidangan untuk mendengarkan ahli dari pemohon pada persidangan 19 Agustus 2013. Ketua sidang menutup sidang pada pukul 11.13.



Persidangan IV
Acara:
Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli/Saksi Pemohon Serta Pemerintah (IV)

Waktu:
Senin, 19 Agustus 2013, Pukul 14.49 – 16.00 WIB

Tempat:
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

Majelis Hakim:
Muhammad Alim (Ketua), Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota), Anwar Usman (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Hamdan Zoelva (Anggota), Harjono (Anggota), Maria Farida Indrati (Anggota), dan  Patrialis Akbar (Anggota).

Panitera:
Dewi Nurul Savitri (Panitera Pengganti)

Pihak yang Hadir:
Para pemohon: G.R.Ay. Koes Moertiyah Wandansari [sic!] dan K.P. Eddy S. Wirabhumi didampingi kuasa hukum Zairin Harahap, Ahmad Khairun, M. Arif Setiawan, dan Abdul Jamil.

Ahli pemohon: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (ahli tata negara), Dr. Purnawan Basundoro (ahli sejarah dari Univ Airlangga Surabaya), dan Prof. Dr. Purwo Santoso (ahli ilmu pemerintahan dan otonomi daerah dari UGM).

Wakil Dewan Perwakilan Rakyat: Dr. H. Azis Syamsuddin (Anggota A-197), Dr. H. Adang Daradjatun (Anggota A-60), dan M. Nurdin (anggota A-352), kesemuanya dari komisi III DPR RI.

Wakil Pemerintah: Tuti Rianingrum, Erik Aditiyansyah, Radita Aji, dan Santoso Puji Utomo.

Ringkasan jalannya persidangan:
Ketua sidang membuka sidang pada pukul 14.49. Kuasa hukum memperkenalkan diri dan memperkenalkan ahli yang menyertainya. Wakil DPR memperkenalkan diri. Wakil Pemerintah memperkenalkan diri.

Dr. H. Adang Daradjatun (Anggota A-60) selaku wakil Tim Kuasa Hukum DPR RI menyampaikan keterangan DPR. Pertama DPR menguraikan pokok permohonan pemohon. Kedua DPR menyampaikan pandangannya terhadap kedudukan hukum pemohon dan pengujian pembentukan Provinsi Jawa Tengah sebanyak 10 poin. Kesimpulannya DPR berpendapat ketentuan pasal 1 ayat 1 UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Sidang kemudian mengambil sumpah ketiga orang ahli dari pemohon. Pengambilan sumpah dilakukan oleh hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Ahli pertama Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra menyampaikan keterangannya dalam sebelas poin. Ahli kedua Dr. Purnawan Basundoro menyampaikan keterangannya menurut slide text power point yang sudah diserahkannya pada petugas untuk ditayangkan. Ahli ketiga Prof. Dr. Purwo Santoso juga menyampaikan keterangannya menurut slide text power point yang sudah diserahkannya pada petugas untuk ditayangkan.

Selain tiga ahli, kuasa hukum akan menambah dua saksi fakta. Sedangkan wakil DPR dan wakil Pemerintah menganggap semua sudah cukup. Ketua sidang menunda persidangan sampai 2 September 2013 untuk mendengarkan saksi fakta dari pemohon. Ketua sidang menutup sidang pukul 16.00.



Persidangan V
Acara:
Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pemohon serta Pemerintah (V) dan [bagi Perkara 73/PUU-XI/2013] (III)

Waktu:
Senin, 2 September 2013, Pukul 14.14 – 14.45 WIB.

Tempat:
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi , Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.

Majelis Hakim:
Hamdan Zoelva (Ketua), Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota), Muhammad Alim (Anggota), Anwar Usman (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Harjono (Anggota), Maria Farida Indrati (Anggota), dan  Patrialis Akbar (Anggota).

Panitera:
  • Dewi Nurul Savitri (Panitera Pengganti [untuk Perkara 63/PUU-XI/2013]), dan 
  • Achmad Edi Subiyanto (Panitera Pengganti [untuk Perkara 73/PUU-XI/2013]).

Pihak yang Hadir:
Para pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013: Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah dan K.P. Eddy S. Wirabhumi didampingi kuasa hukum Zairin Harahap, Ahmad Khairun, M. Arif Setiawan, dan Abdul Jamil.

Saksi pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013: Sri Juari Santoso dan Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo

Para pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XI/2013: Boyamin didampingi kuasa hukum Kurniawan Adi Nugroho

Wakil Pemerintah: Radita Aji

Ringkasan jalannya persidangan:
Ketua sidang membuka sidang pada pukul 14.14. Ketua mengecek kehadiran pemohon 63, 73, Pemerintah dan DPR. Ketua menjelaskan agenda sidang untuk memeriksa saksi pemohon 63 dan mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR untuk pemohon 73.

Wakil pemerintah menyampaikan bahwa keterangan pemerintah sama seperti yang pertama pada saat pemohon 63 dan akan menyampaikan keterangan tertulis secara terpisah. Saksi yang diajukan oleh pemohon 63 berjumlah dua orang yaitu Sri Juari dan Kanjeng Pangeran Winarno (Markus Winarno). Setelah diambil sumpahnya kedua saksi menyampaikan kesaksiannya. Kesaksian pertama disampaikan oleh Sri Juari Santosa dalam kapasitasnya selaku anak dari Sekretaris Sri Susuhunan Pakubuwono XII, KPH Wirodiningrat. Kesaksian terutama berasal dari arsip-arsip ayah saksi. Kesaksian kedua disampaikan oleh KP Winarno Kusumo. Kesaksian terutama berasal dari yang diketahuinya.

Pemohon 63, Pemerintah dan hakim Mahkamah menganggap bahwa keterangan saksi yang diajukan dirasa cukup. Kuasa hukum pemohon 63 tidak lagi mengajukan ahli dan saksi. Ketua sidang menunda persidangan sampai pada 11 September 2013 untuk mendengarkan keterangan saksi dan/atau ahli pemohon 73 dan mendengarkan keterangan pihak terkait dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ketua sidang menutup sidang pukul 14.45.




Persidangan VI
Acara:
Mendengarkan keterangan pihak terkait, ahli/saksi pemohon serta pemerintah (VI) dan [bagi Perkara 73/PUU-XI/2013] (IV)

Waktu:
Rabu, 11 September 2013, pukul 10.45 – 11.20 WIB.

Tempat:
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi , Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.

Majelis Hakim:
M. Akil Mochtar (Ketua), Hamdan Zoelva (Anggota), Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota), Muhammad Alim (Anggota), Anwar Usman (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Harjono (Anggota), Maria Farida Indrati (Anggota), dan  Patrialis Akbar (Anggota).

Panitera:
  • Dewi Nurul Savitri (Panitera Pengganti [untuk Perkara 63/PUU-XI/2013]), dan 
  • Achmad Edi Subiyanto (Panitera Pengganti [untuk Perkara 73/PUU-XI/2013]).

Pihak yang Hadir:
Para pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013: K.P. Eddy S. Wirabhumi didampingi kuasa hukum Zairin Harahap, Ahmad Khairun, M. Arif Setiawan, dan Abdul Jamil.

Para pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XI/2013: Boyamin didampingi kuasa hukum Kurniawan Adi Nugroho.

Para saksi Perkara Nomor 73/PUU-XI/2013: Sunardi dan Soeprapto Dipo Suyono

Wakil Pemerintah: Dr. Mualimin Abdi, Erma Wahyuni, Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, Wahyu Chandra, Tri Rahmanto, dan Erik Aditiyansyah, sebagai kuasa Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri selaku pemegang kuasa Presiden Republik Indonesia.

Pihak Terkait: Setyoko, Kartika Budiya, Dwi Narini, Tri Harso, Wahyu sebagai wakil dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dari biro hukum, biro tata pemerintahan, dan biro otonomi daerah.

Ringkasan jalannya persidangan:
Ketua membuka sidang pada pukul 10.45. Kuasa hukum pemohon 63 memperkenalkan diri dan pemohon. Kuasa hukum 73 memperkenalkan diri dan pemohon. Wakil Pemerintah memperkenalkan diri. Wakil pihak terkait Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memperkenalkan diri.

Setyoko selaku wakil Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membacakan keterangan pihak terkait di hadapan sidang Mahkamah. Pertama, wilayah Daerah Istimewa Surakarta terdiri dari Kasunanan dan Mangkunegaran. Ketiga [sic!], wilayah karesidenan Surakarta telah menjadi daerah otonom. Keempat [sic!], Keraton Kasunanan mustahil menjadi Daerah Istimewa Surakarta berhubung dengan kondisi terakhir. Kelima [sic!], pembiayaan keraton harus dibantu pemerintah provinsi dan pemerintah kota. Keenam [sic!], melaporkan besaran bantuan pemerintah provinsi kepada keraton Kasunanan dan puro Mangkunegaran.

Saksi pemohon 73, Sunardi, memberi keterangan. Sunardi merupakan pengelola tanah pamijen keraton secara turun temurun.Pada pokoknya saksi Sunardi menceritakan keadaannya yang harus berkonlik dengan beberapa pihak dan ada yang sampai harus berurusan dengan pengadilan sebagai akibat dari pekerjaannya menjadi pengelola tanah pamijen keraton.

Saksi pemohon 73, Soeprapto Dipo Suyono, memberikan keterangan berikutnya. Soeprapto merupakan abdi dalem keraton Surakarta di daerah pantura, wilayah tradisional kasunanan Surakarta. Pada pokoknya saksi Soeprapto menyampaikan “perampasan” hak-hak pengelolaan keraton Surakarta atas pengelolaan beberapa situs maupun kawasan hutan.

Setelah dianggap cukup ketua sidang meminta pada para pemohon 63 dan 73, Pemerintah, dan DPR untuk menyampaikan kesimpulan paling lambat hari rabu, 18 september 2013 pukul 14.00 WIB. Ketua mneyatakan sidang perkara 63 dan 73 selesai. Ketua menutup sidang pada pukul 11.20.

Putusan
Putusan perkara nomor 63/PUU-XI/2013 diambil secara bulat tanpa adanya pendapat berbeda maupun alas an berbeda dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada hari senin 3 Februari 2014 oleh Majelis Hakim Konstitusi: Hamdan Zoelva (Ketua merangkap Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Maria Farida Indrati (Anggota), Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota), Muhammad Alim (Anggota), Harjono (Anggota), Anwar Usman (Anggota), dan Patrialis Akbar (Anggota).

Sidang pembacaan putusan Perkara Nomor 63/PUU-XI/2013 dilaksanakan pada hari kamis 27 Maret 2014 bertempat di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi , Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat. Putusan diucapkan/dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva (Ketua merangkap Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Maria Farida Indrati (Anggota), Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota), Muhammad Alim (Anggota), Anwar Usman (Anggota), Patrialis Akbar (Anggota), Aswanto (Anggota), dan Wahiduddun Adams (Anggota), dengan didampingi panitera pengganti Dewi Nurul Savitri. Putusan selesai diucapkan pada pukul 16.00.

Sidang pembacaan putusan dihadiri oleh para pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak terkait Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Ringkasan Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia [1.1] yang mengadili perkara konstitusi dan seterusnya.
[2] Duduk perkara dan seterusnya.
[3] Pertimbangan hukum dan seterusnya.

[4] Konklusi:
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, Pokok permohonan para tidak dipertimbangkan.

[5] Amar putusan:
Permohonan para pemohon tidak dapat diterima.

Putusan diputuskan pada rapat permusyawaratan hakim pada hari senin 3 Februari 2014.
Putusan dibacakan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada Kamis, 27 Maret 2014, selesai diucapkan pukul 16.00.

Sumber
  1. Risalah sidang I tertanggal 26 Juni 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.
  2. Risalah sidang II tertanggal 10 Juli 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.
  3. Risalah sidang III tertanggal 30 Juli 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.
  4. Risalah sidang IV tertanggal 19 Agustus 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.
  5. Risalah sidang V (pemohon 63) dan III (pemohon 73) tertanggal 3 September 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.
  6. Risalah sidang VI (pemohon 63) dan IV (pemohon 73) tertanggal 11 September 2013 tertanda Ka. Subbag Risalah Rudy Heryanto.
  7. Putusan Nomor 63/PUU-XI/2013.

Epilog
Menurut ketentuan dalam Pasal 60 ayat (1) dan (2) UU MK dan perubahannya, Pasal  42 ayat (1) dan (2) PMK Nomor 06/PMK/2005, dan yurisprudensi putusan mahkamah nomor 108/PUU-XI/2013 maka perkara tidak dapat diajukan lagi sepanjang materi muatan dalam UUD 1945 masih sama. Dengan kata lain permohonan pengujian UU [negara bagian RI-Yogyakarta] nomor 10 tahun 1950 hanya dapat dilakukan kembali jika syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Dan mahkamah hanya akan mempertimbangkan dasar pengujian yang berbeda saja.