Pencarian

Sabtu, 07 Januari 2017

Yogyakarta di Persimpangan Jalan


#4 Asmo kalenggahan: gelar kebangsawanan Jawa



Berbeda dengan tulisan sebelumnya, tulisan kali ini akan memberi suatu perimbangan dari sisi yang lain, dan mungkin dari sisi yang berseberangan. Asmo kalenggahan dijadikan judul tulisan ini. Sebuah nama yang menunjukkan dan menjadikan seseorang itu menjadi terkait dan terikat dengan jabatannya. Namun, sebelum ke arah sana kita akan melihat memutar dengan menelisik nama yang digunakan oleh orang Jawa terutama pada waktu yang lalu.

Di Jawa, pada waktu lampau, bukanlah hal yang aneh jika seseorang memiliki dua nama yang berbeda, bahkan bisa tiga atau empat. Sebagai ilustrasi, seorang anak laki-laki X dilahirkan dari keluarga biasa akan diberi nama “Rejo” (maaf, ini hanya ilustrasi. Bukan untuk menyinggung dan menghina seseorang dengan nama yang sama). Dengan nama “Rejo” itu ia diharapkan akan memiliki kehidupan yang baik dan melimpah. Nama ini biasanya akan dikenal dengan istilah nama kecil atau nama lahir. Berjalan waktu, “Rejo” menikah. Pada saat pernikahannya (atau sesaat setelahnya), ia akan menggunakan nama baru. Sebagai ilustrasi adalah nama “Sastrodiharjo” (maaf, ini hanya ilustrasi. Bukan untuk menyinggung dan menghina seseorang dengan nama yang sama). Nama ini biasanya akan dikenal dengan nama tua (disebut asmo sepuh). Dari ilustrasi ini, laki-laki X akan memiliki dua nama, nama kecil pemberian orang tua dan nama tua setelah ia menikah.

Bagaimana dengan bangsawan? Tentunya ini akan lebih rumit. Secara umum, kebangsawanan di Jawa diukur dari jauh dekatnya silsilah dengan raja yang menurunkan seorang bangsawan tersebut. Gelar inilah yang dapat dikelompokkan sebagai gelar “ascribed”, artinya diperoleh berdasar kelahiran. Selain itu, jika seorang bangsawan menduduki jabatan tertentu ia akan menggunakan nama dan gelar jabatan yang baru. Nama dan gelar jabatan inilah yang dapat dikelompokkan menjadi gelar “achieved”.

Gelar-gelar bangsawan di Jawa akan ditentukan darimana ia akan berasal. Setidaknya ada empat kerajaan di Jawa yang memiliki silsilah dalam pemberian gelar. Keempatnya adalah Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kepangeranan Mangkunegaran Surakarta, dan Kepangeranan Pakualaman Yogyakarta. Masing-masing kerajaan tersebut memiliki gaya (style) tersendiri dalam pemberian nama dan gelar kebangsawanan. Kita tidak akan membicarakan perbandingan keempatnya, karena terlalu rumit dan tidak akan fokus.

Dari informasi yang diperoleh, gelar ascribed ditentukan oleh keturunan ke-berapa dalam sislsilah seorang raja. Untuk keturunan 1 sampai 4 (anak raja, cucu raja, anak dari cucu raja, dan cucu dari cucu raja) bila laki laki akan bergelar Raden Mas (disingkat R.M.), bila perempuan akan bergelar Raden Ajeng (disingkat R.Aj.) jika belum menikah dan Raden Ayu (disingkat R.Ay.) jika telah menikah. Variasi-variasi dari gelar tersebut sangatlah banyak, misal, Gusti Raden Mas (GRM) jika ia anak permaisuri, Bendoro Raden Ajeng (B.R.Aj.) jika ia anak selir dan sebagainya. Untuk keturunan selebihnya (keturunan 5 dan seterusnya) jika laki-laki bergelar Raden (R), dan Raden Roro (R.r.) untuk perempuan yang belum menikah serta Raden Nganten (R.Ngt.) untuk perempuan yang telah menikah. Gelar-gelar inilah yang diturunkan dari seseorang kepada anaknya.

Adapun gelar achieved kebangsawanan Jawa, diperoleh karena usaha dengan menjadi abdi dalem. Gelar achieved ini tidak diturunkan. Menjadi abdi dalem itulah kunci untuk mendapat status ini. Walau rakyat kebanyakan yang tidak memiliki silsilah kerajaan dapat menjadi abdi dalem, gelarnya akan sedikit berbeda dengan abdi dalem yang memiliki silsilah kerajaan. Selain abdi dalem, gelar achieved ini juga diberikan kepada para anak raja yang menduduki pos tertentu dalam keraton.

Sebagai ilustrasi (maaf, ini hanya ilustrasi. Bukan untuk menyinggung dan menghina seseorang dengan nama yang sama), seorang bangsawan laki-laki "X" lahir dan diberi nama dengan nama R. Mulyono. Saat dewasa ia menjadi seorang abdi dalem. Setelah sekian lama menjadi abdi dalem, ia dapat duduk di posisi tertentu dengan pangkat Penewu. Ia akan memperoleh gelar achievedRaden Penewu”. Selain pangkat, ia juga mendapat nama jabatan, misalnya dalam posisi security, “Jagabaya”. Sehingga gelar dan namanya menjadi Raden Penewu Jagabaya. Nama yang baru ini merupakan nama pemberian dari raja yang berkuasa, sehingga dikenal dengan istilah “asma gelar”, “asma kalenggahan” atau “asma paring dalem”. Nama saat kelahirannya yaitu R. Mulyono tidak digunakan lagi, yang ada adalah Raden Penewu Jagabaya. Walau sejatinya orangnya masih sama, namun semua identitasnya sudah diubah. Pemberian pangkat dan nama jabatan semua bergantung pada raja yang berkuasa. Pangkat kebangsawanan “Raden Penewu” tidak bisa diturunkan pada anak-anaknya. Begitu pula dengan nama gelar “Jagabaya” juga tidak bisa diturunkan pada anak-anaknya apalagi dijadikan nama marga. Dari sinilah dapat diketahui bahwa raja yang bertahta berwenang untuk membuat pangkat dan nama jabatan sesuai keinginannya dan menganugerahkannya kepada siapa saja sang raja itu berkenan serta mencabutnya saat sang raja tidak berkenan.

Lalu bagaimana dengan sang Raja? Sebagai bangsawan tertinggi Seri Baginda berwenang penuh untuk menentukan gelar dan nama yang beliau sendiri gunakan. Jika dilihat dari sejarah kerajaan Mataram, gelar dan nama jabatan Seri Baginda cukup bervariasi. Seri Baginda pertama dan kedua menggunakan gelar “Panembahan”, yaitu Panembahan Senopati Ing Ngalaga dan Panembahan Hanyakrawati. Seri Baginda “ketiga” menggunakan gelar “Adipati”, yaitu Adipati Martapura. Seri Baginda keempat menggunakan gelar “Panembahan” yang kemudian berubah menjadi “Susuhunan”, dan akhirnya menjadi “Sultan” dalam kurun waktu yang berbeda, yaitu Panembahan Hanyakrakusuma, Susuhunan Agung Hanyakrakusuma, dan Sultan Agung. Seri Baginda kelima menggunakan gelar Susuhunan, yaitu Susuhunan Amangkurat. Lagi-lagi disini terlihat bahwa gelar dan nama Seri Baginda ditentukan sendiri oleh Seri Baginda yang bertahta.

Penggunaan nama yang sama baru muncul pada era Seri Baginda Mataram yang keenam. Beliau menggunakan gelar dan nama Susuhunan Amangkurat II. Begitu pula Seri Baginda Mataram yang “ketujuh” dengan gelar dan nama Susuhunan Amangkurat III. Pada akhirnya, gelar dan nama yang sama dijadikan sebagai penanda dinasti Mataram yang terpisah. Susuhunan Paku Buwono untuk Surakarta, Sultan Hamengku Buwono untuk Yogyakarta, Adipati Mangkunegoro untuk Mangkunegaran, dan Adipati Paku Alam untuk Pakualaman. Dengan sedikit pengecualian, penggunaan gelar dan nama Adipati Mangkunegoro dan Adipati Paku Alam hanya dipergunakan jika kedua penguasa itu sudah berusia lebih dari empat puluh tahun. Apabila saat naik tahta usia beliau belum mencapai empat puluh tahun makan Adipati Mangkunegoro akan menggunakan gelar Adipati Prang Wedono dan Adipati Paku Alam akan menggunakan gelar Adipati Suryaningrat, Adipati Surya Sasraningrat, atau Adipati Prabu Suryodilogo.

Kewenangan Seri Baginda dalam membuat gelar [kebangsawanan] juga dipraktekkan di tempat lainnya. Sebagai contoh adalah kerajaan Thailand. Menurut konstitusi tahun 2007 (yang juga digunakan kembali pada konstitusi tahun 2014), Seri Baginda memiliki hak prerogative untuk membuat gelar dan menganugerahkan tanda kehormatan (bab II bagian ke 11). Hal yang mirip juga terjadi di Vatican. Sesaat setelah terpilih sebagai bapa suci dalam tradisi konklaf, seorang cardinal terpilih akan ditanya “… dengan sebutan (nama) apa anda akan disebut (dipanggil) …” maka beliau akan menyebutkan suatu nama yang akan menjadi sebutan (panggilan) beliau. Dari kedua contoh ini raja atau penguasa memiliki kewenangan penuh untuk menentukan nama dan gelarnya.

Dari uraian di atas, dalam prakteknya, baik yang digunakan oleh kerajaan Mataram dan penerusnya, maupun di tempat lainnya, dapat dilihat bahwa Seri Baginda memiliki kewenangan penuh untuk memberikan pangkat dan gelar bagi siapapun dan Seri Baginda berwenang penuh menentukan gelar dan nama beliau sendiri.