#4 Asmo kalenggahan: gelar kebangsawanan Jawa
Berbeda dengan tulisan sebelumnya, tulisan kali ini akan
memberi suatu perimbangan dari sisi yang lain, dan mungkin dari sisi yang
berseberangan. Asmo kalenggahan dijadikan judul tulisan ini. Sebuah nama yang
menunjukkan dan menjadikan seseorang itu menjadi terkait dan terikat dengan
jabatannya. Namun, sebelum ke arah sana kita akan melihat memutar dengan
menelisik nama yang digunakan oleh orang Jawa terutama pada waktu yang lalu.
Di Jawa, pada waktu lampau, bukanlah hal yang aneh
jika seseorang memiliki dua nama yang berbeda, bahkan bisa tiga atau empat. Sebagai
ilustrasi, seorang anak laki-laki X dilahirkan dari keluarga biasa akan diberi
nama “Rejo” (maaf, ini hanya ilustrasi. Bukan untuk menyinggung dan menghina
seseorang dengan nama yang sama). Dengan nama “Rejo” itu ia diharapkan akan
memiliki kehidupan yang baik dan melimpah. Nama ini biasanya akan dikenal
dengan istilah nama kecil atau nama lahir. Berjalan waktu, “Rejo” menikah. Pada
saat pernikahannya (atau sesaat setelahnya), ia akan menggunakan nama baru.
Sebagai ilustrasi adalah nama “Sastrodiharjo” (maaf, ini hanya ilustrasi. Bukan
untuk menyinggung dan menghina seseorang dengan nama yang sama). Nama ini
biasanya akan dikenal dengan nama tua (disebut asmo sepuh). Dari ilustrasi ini,
laki-laki X akan memiliki dua nama, nama kecil pemberian orang tua dan nama tua
setelah ia menikah.
Bagaimana dengan bangsawan? Tentunya ini akan lebih
rumit. Secara umum, kebangsawanan di Jawa diukur dari jauh dekatnya silsilah
dengan raja yang menurunkan seorang bangsawan tersebut. Gelar inilah yang dapat
dikelompokkan sebagai gelar “ascribed”,
artinya diperoleh berdasar kelahiran. Selain itu, jika seorang bangsawan
menduduki jabatan tertentu ia akan menggunakan nama dan gelar jabatan yang
baru. Nama dan gelar jabatan inilah yang dapat dikelompokkan menjadi gelar “achieved”.
Gelar-gelar bangsawan di Jawa akan ditentukan darimana
ia akan berasal. Setidaknya ada empat kerajaan di Jawa yang memiliki silsilah
dalam pemberian gelar. Keempatnya adalah Kesunanan Surakarta, Kesultanan
Yogyakarta, Kepangeranan Mangkunegaran Surakarta, dan Kepangeranan Pakualaman
Yogyakarta. Masing-masing kerajaan tersebut memiliki gaya (style) tersendiri dalam pemberian nama dan gelar kebangsawanan.
Kita tidak akan membicarakan perbandingan keempatnya, karena terlalu rumit dan
tidak akan fokus.
Dari informasi yang diperoleh, gelar ascribed ditentukan oleh keturunan ke-berapa
dalam sislsilah seorang raja. Untuk keturunan 1 sampai 4 (anak raja, cucu raja,
anak dari cucu raja, dan cucu dari cucu raja) bila laki laki akan bergelar
Raden Mas (disingkat R.M.), bila perempuan akan bergelar Raden Ajeng (disingkat
R.Aj.) jika belum menikah dan Raden Ayu (disingkat R.Ay.) jika telah menikah.
Variasi-variasi dari gelar tersebut sangatlah banyak, misal, Gusti Raden Mas
(GRM) jika ia anak permaisuri, Bendoro Raden Ajeng (B.R.Aj.) jika ia anak selir
dan sebagainya. Untuk keturunan selebihnya (keturunan 5 dan
seterusnya) jika laki-laki bergelar Raden (R), dan Raden Roro (R.r.) untuk
perempuan yang belum menikah serta Raden Nganten (R.Ngt.) untuk perempuan yang telah
menikah. Gelar-gelar inilah yang diturunkan dari seseorang kepada anaknya.
Adapun
gelar achieved kebangsawanan Jawa, diperoleh
karena usaha dengan menjadi abdi dalem. Gelar achieved ini tidak diturunkan. Menjadi abdi dalem itulah kunci
untuk mendapat status ini. Walau rakyat kebanyakan yang tidak memiliki silsilah
kerajaan dapat menjadi abdi dalem, gelarnya akan sedikit berbeda dengan abdi
dalem yang memiliki silsilah kerajaan. Selain abdi dalem, gelar achieved ini juga diberikan kepada para
anak raja yang menduduki pos tertentu dalam keraton.
Sebagai
ilustrasi (maaf, ini hanya ilustrasi. Bukan untuk menyinggung
dan menghina seseorang dengan nama yang sama), seorang bangsawan laki-laki "X" lahir dan diberi
nama dengan nama R. Mulyono. Saat dewasa ia menjadi seorang abdi dalem. Setelah sekian lama menjadi
abdi dalem, ia dapat duduk di posisi tertentu dengan pangkat Penewu. Ia akan
memperoleh gelar achieved “Raden
Penewu”. Selain pangkat, ia juga mendapat nama jabatan, misalnya dalam posisi
security, “Jagabaya”. Sehingga gelar dan namanya menjadi Raden Penewu Jagabaya.
Nama yang baru ini merupakan nama pemberian dari raja yang berkuasa, sehingga
dikenal dengan istilah “asma gelar”, “asma kalenggahan” atau “asma paring dalem”.
Nama saat kelahirannya yaitu R. Mulyono tidak digunakan lagi, yang ada adalah
Raden Penewu Jagabaya. Walau sejatinya orangnya masih sama, namun semua
identitasnya sudah diubah. Pemberian pangkat dan nama jabatan semua bergantung
pada raja yang berkuasa. Pangkat kebangsawanan “Raden Penewu” tidak bisa
diturunkan pada anak-anaknya. Begitu pula dengan nama gelar “Jagabaya” juga
tidak bisa diturunkan pada anak-anaknya apalagi dijadikan nama marga. Dari sinilah dapat diketahui
bahwa raja yang bertahta berwenang untuk membuat pangkat dan nama jabatan sesuai
keinginannya dan menganugerahkannya kepada siapa saja sang raja itu berkenan
serta mencabutnya saat sang raja tidak berkenan.
Lalu
bagaimana dengan sang Raja? Sebagai bangsawan tertinggi Seri Baginda berwenang
penuh untuk menentukan gelar dan nama yang beliau sendiri gunakan. Jika dilihat
dari sejarah kerajaan Mataram, gelar dan nama jabatan Seri Baginda cukup bervariasi. Seri Baginda
pertama dan kedua menggunakan gelar “Panembahan”, yaitu Panembahan Senopati Ing
Ngalaga dan Panembahan Hanyakrawati. Seri Baginda “ketiga” menggunakan gelar “Adipati”,
yaitu Adipati Martapura. Seri Baginda keempat menggunakan gelar “Panembahan” yang
kemudian berubah menjadi “Susuhunan”, dan akhirnya menjadi “Sultan” dalam kurun
waktu yang berbeda, yaitu Panembahan Hanyakrakusuma, Susuhunan Agung
Hanyakrakusuma, dan Sultan Agung. Seri Baginda kelima menggunakan gelar Susuhunan,
yaitu Susuhunan Amangkurat. Lagi-lagi disini terlihat bahwa gelar dan nama Seri
Baginda ditentukan sendiri oleh Seri Baginda yang bertahta.
Penggunaan
nama yang sama baru muncul pada era Seri Baginda Mataram yang keenam. Beliau menggunakan
gelar dan nama Susuhunan Amangkurat II. Begitu pula Seri Baginda Mataram yang “ketujuh”
dengan gelar dan nama Susuhunan Amangkurat III. Pada akhirnya, gelar dan nama
yang sama dijadikan sebagai penanda dinasti Mataram yang terpisah. Susuhunan
Paku Buwono untuk Surakarta, Sultan Hamengku Buwono untuk Yogyakarta, Adipati
Mangkunegoro untuk Mangkunegaran, dan Adipati Paku Alam untuk Pakualaman. Dengan
sedikit pengecualian, penggunaan gelar dan nama Adipati Mangkunegoro dan
Adipati Paku Alam hanya dipergunakan jika kedua penguasa itu sudah berusia
lebih dari empat puluh tahun. Apabila saat naik tahta usia beliau belum
mencapai empat puluh tahun makan Adipati Mangkunegoro akan menggunakan gelar
Adipati Prang Wedono dan Adipati Paku Alam akan menggunakan gelar Adipati Suryaningrat, Adipati Surya Sasraningrat, atau Adipati Prabu Suryodilogo.
Kewenangan Seri Baginda dalam membuat gelar
[kebangsawanan] juga dipraktekkan di tempat lainnya. Sebagai contoh adalah
kerajaan Thailand. Menurut konstitusi tahun 2007 (yang juga digunakan kembali
pada konstitusi tahun 2014), Seri Baginda memiliki hak prerogative untuk membuat gelar
dan menganugerahkan tanda kehormatan (bab II bagian ke 11). Hal yang mirip juga
terjadi di Vatican. Sesaat setelah terpilih sebagai bapa suci dalam tradisi
konklaf, seorang cardinal terpilih akan ditanya “… dengan sebutan (nama) apa
anda akan disebut (dipanggil) …” maka beliau akan menyebutkan suatu nama yang
akan menjadi sebutan (panggilan) beliau. Dari kedua contoh ini raja atau
penguasa memiliki kewenangan penuh untuk menentukan nama dan gelarnya.
Dari uraian di atas, dalam prakteknya, baik yang
digunakan oleh kerajaan Mataram dan penerusnya, maupun di tempat lainnya, dapat
dilihat bahwa Seri Baginda memiliki kewenangan penuh untuk memberikan pangkat dan gelar
bagi siapapun dan Seri Baginda berwenang penuh menentukan gelar dan nama beliau
sendiri.