Pencarian

Sabtu, 03 September 2011

Saat Jogja Menggugat





Pengantar
Saat tulisan ini dibuat, nasib RUU Keistimewaan Yogyakarta semakin tidak jelas. Berbeda dengan daerah Jakarta, Aceh, dan Papua yang lebih mendapat prioritas, Yogyakarta terkesan dibiarkan mengambang. Ibarat sebuah pepatah hidup segan mati tak mau. Beberapa nada dalam tulisan ini akan terdengar sumbang dan bernuansa provokatif. Namun tulisan ini hendaknya jangan dijadikan sebuah polemik tetapi lebih jauh dijadikan sebagai introspeksi bagi semua anak bangsa. Terutama bagi Presiden Indonesia sebagai “Pemegang Kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” (UUD 1945 pasal 4) yang telah bersumpah “akan memenuhi kewajiban ... dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya” (UUD  1945 pasal 9) dalam hal memperlakukan daerah satu dengan daerah yang lain terutama yang memiliki otonomi yang “bersifat khusus atau bersifat istimewa” (UUD 1945 pasal 18B). Tulisan ini juga diunggah dalam rangka menyambut HARI INTEGRASI YOGYAKARTA ke-66 yang jatuh pada 5 September 2011. Mohon maaf atas bagian tertentu atau bahkan keseluruhan artikel yang tidak berkenan di hati pembaca.

Pembuka: Saat Jogja Menggugat
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan satu-satunya daerah yang tersisa yang memiliki otonomi khusus (special autonomous) di Indonesia sejak kelahirannya di tahun 1950. Namun demikian, otonomi khusus yang dimiliki oleh Yogyakarta semakin kabur dan terancam “dilikuidasi” oleh pemerintah pusat seperti daerah istimewa Kutai, Bulongan, dan Berau lima puluh tahun yang lalu. Penghapusan kekhususan suatu daerah di Indonesia, seperti yang sudah dilakukan, hampir selalu mengatas namakan persatuan dan persamaan dengan daerah yang lain. Khusus untuk Yogyakarta saat ini, isu yang selalu dibawa adalah demokratisasi dan hak-hak konstitusional warga negara.

Isu demokratisasi dan hak konstitusional warga negara dalam pemerintahan, khususnya rekruitmen jabatan publik, selalu “dibenturkan” dengan isi utama keistimewaan Yogyakarta yang selama ini dilaksanakan, yaitu pengisian jabatan “Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa”. Jabatan kepala daerah istimewa secara “ex officio” selalu dijabat oleh Sultan Yogyakarta yang bertahta dan jabatan wakil kepala daerah istimewa secara “ex officio” selalu dijabat oleh Pangeran Paku Alam yang bertahta. Mekanisme yang dikenal dengan “Penetapan” inilah yang dicoba “dihapus” oleh Jakarta, dengan menempatkan Sultan dan Paku Alam yang bertahta dalam jabatan yang baru. Sedangkan pengisian jabatan kepala dan wakil kepala istimewa, yang tidak lagi dijabat oleh  Sultan dan Paku Alam yang bertahta, dilakukan dengan jalan pemilihan yang demokratis secara langsung maupun oleh parlemen lokal.

Penetapan dipandang oleh Jakarta tidak demokratis, feodal, dan kolot. Penetapan juga dipandang melanggar hak-hak konstitusional warga negara, sebab melanggengkan hak privilege penguasa feodal. Penetapan dicap “melanggar” konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat (4) mengenai pemilihan yang demokratis dan pasal 27 ayat (1) serta pasal 28D ayat (3) mengenai kesempatan yang sama bagi warga negara dalam pemerintahan. Kalau dilihat sepintas apa yang diklaim oleh Jakarta memang betul. Namun apakah demikian kejadian sesungguhnya? Apakah pandangan dan cap oleh Jakarta sudah setara (equal) dan adil antara Yogyakarta dengan daerah lainnya?

Pasal yang bermasalah: lex specialis atau lex generalis
Dengan hati dan pikiran yang terbuka kita dudukkan dan uraikan pertanyaan di atas dan coba kita bandingkan dengan daerah lainnya yang memiliki sifat khusus dan/atau istimewa yaitu Provinsi DKI Jakarta, Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Provinsi DKI mendapat kesempatan pertama sebab undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan provinsi ini adalah undang-undang yang terakhir kali dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian dapat memberikan gambaran terakhir mengenai aturan yang “direstui” oleh Presiden. Provinsi DKI Jakarta diatur menggunakan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam undang-undang itu ada beberapa pasal yang bermasalah yang menciderai konstitusi. Beberapa pasal tersebut antara lain (tidak semuanya):

Contoh 1
Pasal 7 ayat  (1)
“Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (1)
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

Contoh 2
Pasal 19 ayat (2) dan (6)
“(2) Walikota/bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.”
“(6) Wakil walikota/wakil bupati diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (4)
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Contoh 3
Pasal 24 ayat (1)
“Untuk membantu walikota/bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan kota/kabupaten dibentuk dewan kota/dewan kabupaten.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (3)
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”

Contoh 4
Pasal 1 angka 10, 11, 12
“10. Walikota/bupati adalah kepala pemerintahan kota administrasi/kabupaten administrasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagai perangkat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada Gubernur.”
“11. Kota administrasi/kabupaten administrasi adalah wilayah kerja walikota/bupati yang terdiri atas kecamatan dan kelurahan.”
“12. Dewan kota/dewan kabupaten adalah lembaga musyawarah pada tingkat kota/kabupaten untuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan pelayanan masyarakat.”

Pasal 9 ayat (1)
Otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (2)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”

Itu baru empat contoh “pencideraan konstitusi” (kalau tidak mau disebut dengan “pelanggaran konstitusi”. Dari keempat contoh tersebut yang mirip dengan tuduhan Pemerintah Pusat atas “pelanggaran konstitusi” oleh mekanisme penetapan adalah Walikota dan Bupati dilingkungan Provinsi DKI Jakarta diangkat bukan dipilih. Pertanyaannya adalah mengapa Pusat “merestui pencideraan konstitusi” untuk Provinsi DKI Jakarta namun  “menyalahkan” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: tanyalah pada rumput yang bergoyang!!!

Aceh
Aceh mendapat kesempatan pembahasan yang kedua. Hal ini disebabkan UU yang mengatur pemerintahan Aceh secara kronologis merupakan UU yang usianya lebih tua dibandingkan dengan UU yang mengatur pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Pemerintahan Aceh diatur menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini sebenarnya merupakan ratifikasi parlemen Indonesia atas MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakah Aceh Merdeka. Dalam UU ini pun (walau semua maklum dengan latar belakang disusunnya UU ini) tidak terlepas dari pasal-pasal yang “menciderai konstitusi”. Beberapa pasal tersebut antara lain (tidak semuanya):

Contoh 1
Pasal 1 angka 14
Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 22E ayat (3)
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”

Contoh 2
Pasal 20
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas: a. asas ke-Islaman; ....”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 29 ayat (1)
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Contoh 3
Pasal 128 ayat (2)
“Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.”
Pasal 129
“(1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah. 
(2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku hukum jinayah.
(3) Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Itu baru tiga contoh “pencideraan konstitusi” (kalau tidak mau disebut dengan “pelanggaran konstitusi”. Pertanyaannya adalah mengapa Pusat memilih “merestui pencideraan konstitusi” untuk Aceh namun  “menyalahkan” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: tanyalah pada rumput yang bergoyang!!!

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mendapat kesempatan pembahasan yang ketiga. Hal ini disebabkan UU yang mengatur otonomi khusus  Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat secara kronologis merupakan UU yang tertua usianya dibandingkan dengan UU yang mengatur pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan pemerintahan Aceh. Otonomi khusus  Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas  UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang. Dalam UU ini pun (walau semua maklum dengan latar belakang disusunnya UU ini) tidak terlepas dari pasal-pasal yang “menciderai konstitusi”. Beberapa pasal tersebut antara lain (tidak semuanya):

Contoh 1
Pasal 1 huruf g
“ Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada” dan

Pasal 20 ayat (1)
“MRP mempunyai tugas dan wewenang: memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;” dan 

Pasal 29 ayat (1)
Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (6)
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. ” dan

Pasal 18 ayat (3)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” dan 

Pasal 18 ayat (4)
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Contoh 2
Pasal 12
“Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. orang asli Papua; ...”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan

Contoh 3
Pasal 50 ayat (2)
Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 24 ayat (2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Contoh 4
Pasal 62 ayat (2) dan (3)
“(2) Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.”
“(3) Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua.”

bertentangan dengan

UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) dan (2)
“(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
“(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

UUD 1945 Pasal 28D ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”

Itu baru empat contoh “pencideraan konstitusi” (kalau tidak mau disebut dengan “pelanggaran konstitusi”. Dari keempat contoh tersebut yang mirip dengan tuduhan Pemerintah Pusat atas “pelanggaran konstitusi” oleh mekanisme penetapan adalah Gubernur (dan Wakil Gubernur) Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat merupakan privilege bagai orang asli Papua. Pertanyaannya adalah mengapa Pusat memilih “merestui pencideraan konstitusi” untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat namun  “menyalahkan” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: tanyalah pada rumput yang bergoyang!!!

Penutup: Saat Jogja (kembali) Menggugat!
Pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 seperti ditulis di atas merupakan sebuah aturan khusus bagi suatu daerah. Aturan khusus tersebut sebenarnya merupakan suatu pengecualian dari aturan umum. Aturan umumnya ada pada pasal 18 UUD 1945. Sedangkan bentuk-bentuk pengecualian dalam pemerintahan daerah tersebut sudah mendapat payung hukum pada pasal 18B UUD 1945. Jika daerah lain boleh menggunakan payung hukum itu, dan menabrak konstitusi, namun mengapa ada keengganan Pusat untuk “meloloskan” permintaan Yogyakarta yang menginginkan kedua penguasa kerajaan menjadi pucuk pimpinan di Yogyakarta? 
Tidakkah contoh-contoh itu lebih dari cukup?
Adakah faktor politis dari Presiden incumbent?
Adakah sisa-sisa anti swapraja yang masih hidup di Kementerian Dalam Negeri?
Adakah agenda ekonomi khusus?
Adakah kaitannya dengan sikap penguasa kerajaan Yogyakarta yang lebih memihak rakyat daripada pemilik kapital yang akan menginvenstasikan modalnya dalam berbagai bentuk di Yogyakarta sehingga “mengganggu” kepentingan para penguasa dan pengusaha di Pusat?
Atau ... haruskah Yogyakarta berdiri menenteng senjata seperti Aceh dan Papua?
Atau (yang lebih ekstrim lagi) ... haruskah kedua penguasa kerajaan yang saat ini bertahta MENCABUT kembali dekrit kerajaan tanggal 5 september 1945 mengenai penyatuan Negara-negara Yogyakarta dalam Negara Indonesia?

Kembali ke pertanyaan yang paling awal mengapa Pusat memilih “merestui pencideraan konstitusi” untuk Provinsi DKI Jakarta, Aceh, serta Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat namun  “menyalahkan dan menentang” Yogyakarta untuk hal yang sama? Adakah udang dibalik batu? Jawabnya: TANYALAH PADA RUMPUT YANG BERGOYANG!!!



Menyambut ulang tahun ke-66 
Integrasi Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kepangeranan Paku Alaman 
ke dalam Negara Indonesia 
(5 September 1945- 5 September 2011)