Pencarian

Sabtu, 05 Januari 2013

Daerah Istimewa Surakarta (2)

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA
menegakkan benang basah

Daerah Istimewa Surakarta atau DIS sekarang mulai menghangat dibicarakan dan diangkat ke permukaan melalui berbagai media. Kelompok-kelompok masyarakat ini menginginkan kembali “dicairkannya” status DIS. Mereka memandang status DIS saat ini dibekukan. Mereka berargumen bahwa Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta tertanggal 15 Juli 1946 merupakan pembekuan DIS semata dan memungkinkan untuk dikembalikan lagi statusnya sebagai sebuah daerah istimewa.

Pengembalian status istimewa bagi Surakarta bukan hanya masalah ya atau tidak belaka, tetapi harus dilihat secara menyeluruh berdasarkan faktor-faktor pendukung maupun penghambatnya. Selain itu juga perlu melihat pembanding daerah istimewa yang pernah dibentuk oleh Negara Indonesia berdasarkan atau yang diakui peraturan perundang-undangan, baik yang masih ada maupun yang sudah dihapus. Namun demikian, dari penelusuran dokumen-dokumen yang dapat diakses oleh publik dan praktek ketatanegaraan yang dilihat saat ini, lebih banyak diketemukan penghambatnya daripada pendukungnya.

Faktor pendukung pembentukan kembali DIS 1946
Faktor-faktor pendukung pembentukan kembali DIS dikelompokkan menjadi faktor yang terdapat sebelum 15 Juli 1946 dan setelah 15 Juli 1946. Pembagian ini didasarkan atas adanya DIS secara de facto 1945-1946 dan pembekuan DIS sejak 1946.

Faktor-faktor pendukung pembentukan kembali DIS yang terdapat sebelum 15 Juli 1946 antara lain:
  1. Ucapan selamat kepada Sukarno atas kemerdekaan Indonesia tertanggal 18 Agustus 1945.
  2. Piagam penetapan kedudukan dari Presiden Indonesia untuk Seri Paduka Susuhunan dan Seri Paduka Mangku Negara tertanggal 19 Agustus 1945 yang diberikan tanggal 6 September 1945 bersama-sama dengan piagam penetapan kedudukan untuk Seri Paduka Sultan dan Seri Paduka Paku Alam di Yogyakarta.
  3. Maklumat Susuhunan Paku Buwono XII dan Maklumat Adipati Mangku Negara VIII tertanggal 1 September 1945 yang pada intinya masing-masing secara terpisah menyatakan Kasunanan Surakarta menjadi daerah istimewa Republik Indonesia dan Praja Mangku Negaran menjadi daerah istimewa Republik Indonesia.
  4. Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta tertanggal 15 Juli 1946 menyatakan “ … maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Karesidenan” dan “ … berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat”.
  5. Kontrak politik Hindia Belanda yang dimuat dalam Staatblad 1939/614 untuk Kasunanan Surakarta dan Staatblad 1940/543 untuk Praja Mangku Negara.
  6. UUD 1945 asli pasal 18 yang menyatakan “ ... dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Faktor-faktor pendukung pembentukan kembali DIS yang terdapat setelah 15 Juli 1946 antara lain:
  1. Perubahan kedua UUD pasal 18B yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang … bersifat istimewa ….” dan “… masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya …”  yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000
  2. Perubahan keempat UUD butir a yang menyatakan “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan … kedua, … adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada Tanggal 18 Agustus 1945 …” yang ditetapkan pada 10 Agustus 2002

Faktor penghambat pembentukan kembali DIS 1946
Faktor-faktor pendukung pembentukan kembali DIS dikelompokkan menjadi faktor yang terdapat sebelum 15 Juli 1946,  antara 15 Juli 1946 sampai 15 Agustus 1950, dan setelah 15 Agustus 1950.

Faktor-faktor pendukung pembentukan kembali DIS dikelompokkan menjadi faktor yang terdapat sebelum 15 Juli 1946, antara lain:
  1. Paku Buwono XII dan Mangku Negara VIII tidak terikat oleh kontrak politik.  Jepang sebagai penguasa pusat saat itu tidak membuat kontrak politik untuk kedua raja itu. Kontrak politik terakhir dilakukan dengan Paku Buwono XI (Staatblad 1939/614) dan Mangku Negara VII (Staatblad 1940/543). Dengan demikian Kasunanan dan Mangku Negaran menjadi daerah biasa.
  2. Tidak berperannya institusi kerajaan secara resmi baik Kasunanan maupun Mangku Negaran dalam proses pemindahan kekuasaan yang dilakukan KNI Daerah Surakarta pada 30 September 1945.
  3. Persaingan antara kedua kerajaan dimana yang satu tidak mau di bawah yang lain. Ini tercermin dalam posisi duduk kedua raja dan komisaris tinggi dalam suatu protokoler upacara resmi. Selain itu Mangku Negaran menolak untuk duduk dalam direktorium.
  4. Masing-masing provinsi kerajaan melepaskan diri dari kerajaan dan memilih bergabung langsung di bawah pemerintahan Indonesia mulai tanggal 29 April 1946.
  5. Maklumat Susuhunan Paku Buwono XII dan Penjabat Perdana Menteri Wuryaningrat tertanggal 30 April 1946 yang menyatakan “ … kami mempermaklumkan kepada rakyat kami, jikalau memang terang menjadi kehendak rakyat sebenar-benarnya akan lenyapnya daerah istimewa Surakarta Hadiningrat dan telah ditetapkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia, kami tidak keberatan akan menyerahkan pemerintahan kami kepada pemerintah agung tadi.”
  6. Masalah keamanan yang tidak terjamin. Berbagau faksi sipil bersenjata melakukan penculikan dan pembunuhan.

Faktor-faktor pendukung pembentukan kembali DIS dikelompokkan menjadi faktor yang terdapat antara 15 Juli 1946 sampai 15 Agustus 1950, antara lain:
  1. Paku Buwono XII dan Mangku Negara VIII tidak lagi menguasai daerahnya saat pengundangan UU 22/1948 mengenai Pemerintahan Daerah karena sudah ada Residen yang mengepalai Daerah Surakarta. Padahal syarat kepala daerah istimewa antara lain “ … Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, …” (pasal 18 ayat (5) UU22/1948). Hal ini didasarkan pada isi/substansi keistimewaan sebuah daerah yaitu “ … Ke-istimewaan … daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya …. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; ….“ (Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948).
  2. Pemihakan kerajaan kepada Belanda saat agresi militer II atas Yogyakarta. Kalangan pendukung pembentukan DIS menanggap itu sebuah fitnah. Namun dokumen hasil penyelidikan militer diketahui bahwa kedua raja Surakarta memang bekerja sama dengan Belanda. Oleh karena itu pihak TNI segera menugaskan penguasa militer kota Surakarta saat itu untuk mengambil tindakan, bahkan termasuk tindakan militer “Instruksi Non Kooperasi”. Sudah disiapkan pula Kolonel Jatikusumo putra Paku Buwono X untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangku Negara yang baru.

Faktor-faktor pendukung pembentukan kembali DIS dikelompokkan menjadi faktor yang terdapat setelah 15 Agustus 1950, antara lain:
  1. Kasunanan dan Mangku Negaran sebagai kerajaan (swapraja bahasa waktu itu) hapus berdasarkan UU 18/1965 mengenai Pemerintahan Daerah, “…Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau dejure sampai pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus. …” (Pasal 88 ayat (3) UU 18/1965).
  2. Perubahan kedua UUD pasal 18B yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang … bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang” dan “… masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, …”. yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Berdasarkan kronologi kedudukan istimewa Surakarta pada saat disahkannya perubahan UUD ini, belum pernah diatur dengan UU. Selain itu Kasunanan dan Mangku Negaran sebagai kerajaan juga telah dihapus pada 1965, dengan demikian tidak termasuk dalam artian “sepanjang masih hidup”.
  3. Perubahan keempat UUD butir a yang menyatakan “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan … kedua, … adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada Tanggal 18 Agustus 1945 …” yang ditetapkan pada 10 Agustus 2002. Jika perubahan keempat ini menarik semua perubahan UUD menjadi dipersamakan dengan UUD asli maka kedudukan Surakarta semakin terjepit sebab kedudukan istimewa Surakarta sekalipun belum pernah diatur dengan UU.
  4. Daerah Istimewa hanya dua yaitu Aceh dan Yogyakarta. “Yang dimaksud … daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta". (Penjelasan pasal 2 ayat (8) UU 32/2004). Keistimewaan kedudukan Aceh pertama kali diakui oleh UU 18/1965 pasal 88 dan dikukuhkan dengan UU 44/1999 dan ditegaskan kembali serta diberi tambahan otonomi khusus dengan UU 11/2006. Keistimewaan kedudukan Yogyakarta dibentuk dengan UU Negara Bagian RI-Yogyakarta 3/1950, dan ditegaskan kembali dengan UU 13/2012.

Mereka lebih berhak
Kutai, Berau, dan Bulongan masing-masing sebagai wilayah kerajaan pernah ditetapkan menjadi Daerah Istimewa setingkat kabupaten dalam lingkungan Provinsi Kalimantan melalui UU Darurat 3/1953. Kedudukan istimewa tersebut akhirnya dicabut dengan UU 27/1959. Dengan demikian kalau meminta kedudukan istimewa tentunya Kutai (kini menjadi Kab Kutai Kartanegara, Kab Kutai Timur, Kab Kutai Barat, Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kota Bontang), Berau (kini menjadi Kab. Berau), dan Bulongan (kini menjadi sebuah provinsi Kalimantan Utara yang meliputi kabupaten/kota: Kab Bulungan, Kab Malinau, Kabupaten Nunukan, Kab Tana Tidung, dan Kota Tarakan) lebih berhak. Sebab Kutai, Berau, dan Bulongan pernah diatur dengan UU. Namun demikian hanya pemerintah Kab Kutai Kartanegara yang menghidupkan kembali Kesultanan Kutai sebagai bagian pelestarian adat dan tidak memiliki kedudukan di dalam pemerintahan.

Pemekaran
Solusi bagi Surakarta adalah pemekaran Provinsi Jawa Tengah menjadi Provinsi Surakarta. Kalaupun tetap menginginkan istimewa dapat diberi dengan pemberian otonomi khusus berupa pengelolaan aset budaya dilaksanakan bersama oleh Pemprov Surakarta dan Yayasan Keraton Surakarta. Ini dilakukan karena yang serius memunculkan DIS dalam media sampai tulisan ini hanya Keraton Surakarta.

Draf otonomi khusus
  1. Nomenklatur yang digunakan Provinsi Surakarta
  2. Keraton Surakarta ditetapkan sebagai lembaga kebudayaan daerah di bawah Pemerintahan Daerah Prov Surakarta.
  3. Segala aset Keraton Surakarta (termasuk didalamnya tanah dan bangunan) menjadi aset Pemprov Surakarta; pemeliharaan dan pengelolaannya diatur bersama oleh Gubernur Surakarta dan Keraton Surakarta dengan persetujuan DPRD Prov Surakarta.
  4. Susuhunan Surakarta diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Surakarta dengan persetujuan DPRD Prov Surakarta menurut peraturan daerah mengenai kodifikasi pergantian tahta yang disusun bersama oleh Gubernur Surakarta, DPRD Prov Surakarta, dan Keraton Surakarta. Ketua DPRD Surakarta menjadi Wali Susuhunan jika Susuhunan berhalangan maupun belum dilantik.
  5. Susuhunan Surakarta merupakan simbol persatuan rakyat Surakarta dan pelindung adat kebudayaan Surakarta.
  6. Susuhunan Surakarta berperan dalam acara protokoler maupun acara lainnya sesuai dengan peraturan daerah.
  7. Susuhunan Surakarta tidak memiliki peran apapun dalam pemerintahan.
  8. Susuhunan Surakarta hanya dapat memberi gelar dan derajat kebangsawanan, baik untuk keluarga keraton maupun masyarakat umum, setelah mendapat persetujuan DPRD Prov Surakarta.
  9. Sistem kebangsawanan hanya berlaku untuk urusan internal Keraton Surakarta dan tidak dapat dipergunakan dalam pemerintahan.
  10. Pejabat publik yang dipilih secara demokratis menanggalkan sementara semua atribut gelar dan derajat kebangsawanan dan dapat menggunakannya setelah tidak menjabat.
  11. Pengangkatan dan pemberhentian serta manajemen pegawai keraton dilakukan oleh Susuhunan Surakarta berdasar peraturan daerah.
  12. Gaji pegawai keraton dibebankan kepada APBN dan APBD Prov Surakarta.
  13. Prov Surakarta mendapat dana otonomi khusus untuk penyelenggaraan urusan otonomi khusus sesuai dengan kemampuan Pemerintah Pusat.
  14. Susuhunan Surakarta melakukan reorganisasi internal Keraton Surakarta agar lebih efisien dengan memperhatikan pertimbangan Gubernur dan DPRD Prov Surakarta.
  15. Susuhunan Surakarta melakukan peninjauan pemberian gelar dan derajat kebangsawanan kepada siapapun yang pernah diberikan sejak 15 Juli 1946. Susuhunan dapat mencabut gelar dan derajat kebangsawanan tersebut.
Catatan: Jika Puro Mangku Negaran menghendaki maka diperlakukan sama seperti Keraton Surakarta.

Bacaan lanjut
Buku
  • Nasution, Abdul Haris. (1993) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: diplomasi atau bertempur. Jilid 2 Cet 5. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa.
  • Nasution, Abdul Haris. (1993) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: pemberontakan pki 1948. Jilid 8 Cet 5. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa.
  • Nasution, Abdul Haris. (1994) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: periode renville. Jilid 7. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa.
  • Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: diplomasi sambil bertempur. Jilid 3 Cet 6. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa.
  • Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: perang gerilya semesta ii. Jilid 10 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa.
  • Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: periode linggajati. Jilid 4 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa.
  • Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Peraturan perundang-undangan
  • UUD 1945 asli; Perubahan kedua UUD 1945; Perubahan keempat UUD 1945.
  • UU 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah.
  • UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta
  • UU Darurat 3/1953 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan
  • UU 27/1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat No. 3 tahun 1953 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 9), sebagai Undang-undang.
  • UU 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
  • UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
  • UU 13/2012 tentang Kesitimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar