Pencarian

Minggu, 03 Oktober 2010

The six principles

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#2 The six principles 

Pilar-pilar keistimewaan Yogyakarta:
Keistimewaan untuk siapa?

Pendahuluan
Berkutat di kubangan sejarah membuat kita semakin lelah. Untuk itu ada baiknya jika sambil mengamati apa yang telah dan sedang terjadi juga menatap masa yang akan datang. Sejarah Yogyakarta di seputaran 1945-1950 sangatlah rumit dan kalau dibahas satu per satu mungkin sampai 2012 (kiamat?) belum tentu akan selesai. Oleh karena itu kita mungkin akan lebih berfokus pada menatapmsa depan.

Berbicara mengenai keistimewaan Yogyakarta biasanya akan terjebak dan berkutat pada pertanyaan Keistimewaan untuk siapa? Untuk raja? Atau untuk Rakyat? Berangkat dari titik itu kita dapat “sekedar” melihat/merumuskan pilar pilar keistimewaan Yogyakarta yang berasaskan pada batu sendi sejarah dan menjulang tinggi sampai ke langit masa depan.

Enam pilar
Pilar-pilar keistimewaan itu antara lain:
1.    Integrasi dan persatuan bangsa.
2.    Kultural, dan penghormatan.
3.    Right and duty of citizens.
4.    Kedaulatan rakyat.
5.    Kesejahteraan untuk semua.
6.    Good governance.

Pilar Integrasi dan Persatuan Bangsa.
Pilar ini begitu penting, tidak saja dari prespektif Indonesia namun juga dari prespektif sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri. Dari prespektif Indonesia kita semua tahu bagaimana Jakarta begitu ngotot untuk memberi konsesi yang sangat besar bagi Aceh dan Papua, dua juru kunci wilayah di ujung barat dan timur. Lalu bagainama jadinya kalau Yogyakarta, yang berada di posisi relatif tengah-tengah dari  kepulauan Indonesia, “nekat” untuk walk out dari Indonesia? Kita tidak bisa membayangkan dan tidak usah kita berandai-andai.

Dari prespektif Yogyakarta, kita semua telah paham bahwa keputusan kerajaan-kerajaan di Yogyakarta lebih memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Keputusan kerajaan-kerajaan itu juga tergolong “nekat”. Sebab waktu itu Indonesia belum memiliki apa-apa (bahkan antara 1946-1950 Yogyakarta yang telah berumur 190 tahun menjadi Ibu asuh Negara Indonesia yang masih dalam usia bayi 4 bulan – balita hampir 5 tahun). Jadi pilar ini telah kokoh dengan sendirinya.

Pilar Kultural dan Penghormatan
Pilar ini mengenai kedudukan monarki dalam demokrasi. Dan hal inilah yang diperdebatkan saat ini hingga berlarut-larut. Pilar monarki begitu penting dalam menopang keistimewaan Yogyakarta. Pada masa itu keputusan “penguasa monarki”-lah yang menjadikan Yogyakarta menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Ini berpijak pada doktrin Louise XIV dari Prancis, “L’etat c’est moi” negara adalah saya. Jadi apapun keputusan penguasa selalu menjadi keputusan negara. Tidak perlu suatu referendum seperti masuknya Irian Barat ke Indonesia atau lepasnya Timor Leste dari Indonesia. Tinggal sultan/pangeran bilang A maka negara mengundangkan aturan A dan rakyat harus ikut aturan A.

Namun setelah menjadi bagian integral dari Indonesia, aturan menjadi lain. Monarki menjadi tersisih karena kekuasaan berada di tangan rakyat. Penegakan pilar ini selalu mengundang masalah, bahkan sejak Indonesia masih berada dalam rancangan BPUPKI di bulan Mei-Juli 1945. Dan dengan usia yang jauh lebih tua dari Republik ini, maka tidak akan mudah menempatkan pilar ini tetap tegak. Dan  apabila pilar ini dibiarkan atau dengan sengaja dibuat patah atau bahkan runtuh maka Yogyakarta akan kehilangan “roh” keistimewaannya. Apalah arti sebuah jasad jika roh tidak ada. Tidak ada yang lebih baik selain dikebumikan dengan linangan air mata.

Yang menjadi perhatian adalah ketika pilar ini tegak maka tidak semua pihak bisa menerimanya dengan lapang dada. Baik para republikan maupun para royalis. Nah, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Pilar hak dan kewajiban warga (penduduk) Yogyakarta.
Pilar yang ketiga adalah mengenai hak dan kewajiban. Mengapa ada hak dan kewajiban? Karena keduanya ibarat dua sisi dalam suatu coin. Tidak dapat dipisahkan. Jika sesorang  hanya menuntut hak secara terus menerus, di suatu titik pelaksanaan hak itu akan mencederai hak orang lain dan bahkan melanggarnya. Jika sama-sama menuntut hak maka yang berlaku bukan suatu kemanusiaan lagi namun hukum rimba yang ada “Siapa yang kuat dialah yang menang dan berkuasa”. Oleh karena itu setiap hak yang diberikan pasti diiringi dengan kewajiban, minimal menghormati orang lain yang menggunakan hak tersebut.

Lalu apa isi dari hak dan kewajiban warga itu? Setidaknya hak-hak itu merupakan turunan dari hak-hak yang telah diberikan konstitusi pada warganya. Tentunya pelaksanaan hak-hak itu tidak mutlak-mutlakan tetapi disesuaikan dengan “cita rasa Yogyakarta”. Sedangkan kewajiban-kewajiban mendasar antara lain ialah: (1) menghormati dan menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan; (2) menghormati dan bertoleransi sesama warga; (3) menjaga ketertiban, perdamaian, kerukunan; (4) tidak melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun non fisik, temasuk tindakan-tindakan provokatif yang menyebabkan pihak lain terpancing; dan (5) menghormati monarki [lebih-lebih jika nantinya monarki dalam posisi “tidak dapat dipersalahkan”, seperti Kaisar Jepang maupun Raja Thailand].

Dan tidak kalah pentingnya ialah siapa yang mendapat hak dan kewajiban itu. Apakah warga Yogyakarta (WNI ber-KTP Yogya) atau penduduk semuanya? Mengacu pada konstitusi beberapa negara monarki berkonstitusi yang menganut rezim kerajaan (kedaulatan raja) dan kedaulatan rakyat, hak dan kewajiban ini dikenakan bagi seluruh penduduk, baik warga maupun bukan warga. Dengan demikian supremasi hukum dan pemerintahan serta kedudukan kultural pemangku tahta dapat terjaga.

Pilar Kedaulatan Rakyat
Pilar keempat sengaja menggunakan kata “kedaulatan rakyat” bukan kata “demokrasi”. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan disini adalah: (1) demokrasi sering dipertentangkan dan dipertarungkan dengan monarki dan feodal; (2) demokrasi sering hanya dijadikan sebagai alat dan bukan tujuan; (3) demokrasi hanya dianut sebatas formal – prosedural bukan substansi – esensi. Selain itu kata “kedaulatan rakyat” atau kerakyatan-lah yang digunakan dalam pembukaan UUD 1945 bukan kata demokrasi (lihat sila IV: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan)

Ditilik dari sejarah, Kesultanan Yogyakarta dan Kepangeranan Paku Alaman merupakan suatu monarki, sebuah kedaulatan raja atau pangeran. Dan dari kedaulatan raja dan pangeran ini pulalah Yogyakarta dan Paku Alaman bergabung dan berintegrasi dengan Indonesia. Namun selanjutnya dengan perubahan yang begitu cepat kedua penguasa monarki di Yogyakarta segera memberi sebagian kekuasaan dan kedaulatannya dalam bidang legislatif kepada rakyat melalui wakil-wakilnya yang duduk di Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 30 Oktober 1945. Selanjutnya, semakin banyak kekuasaan dan kedaulatan yang dipegang oleh kepala-kepala kerajaan di Yogyakarta diserahkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya.

Dengan demikian kedaulatan rakyat/kerakyatan bukanlah hal yang tabu bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan ada tokoh yang memberi judul buku yang berisi biografi Sultan Hamengku Buwono IX dengan “Tahta untuk Rakyat”. Jadi kehendak rakyatlah yang menjadi kehendak penguasa. Jika rakyat menghendaki A maka penguasa menyuarakan A.

Pilar Kesejahteraan untuk Semua
Suatu konsep ketatanegaraan dan pemerintahan serta hukum tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya pilar ini. Inilah pilar kelima, pilar kesejahteraan untuk semua. Tidak ada demokrasi tanpa roti atau nasi. Tidak mungkin rakyat akan jernih mengeluarkan pikiran jika masih memikirkan “apakah bisa makan hari ini?” . Lalu bagaimana mengukur kesejahteran itu. Dalam bahas jawa dapat diistilahkan dengan “mangan wareg, turu nglinteg”, dapat makan dengan kenyang dan tidur dengan nyenyak. Orang bisa melakukan kedua hal itu jika semua kebutuhannya telah tercukupi terutama pangan, sandang, dan papan. Ini pulalah yang seharusnya menjadi pedoman bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, Buat apa tahta jika tidak dapat menyejahterakan rakyatnya.

Kesejahteraan untuk semua berasal dari distribusi sumber daya yang merata dan setimbang (equal) untuk semua rakyat. Tidak ada tirani minoritas dan dominasi mayoritas. Di sinilah peran pemerintahan untuk membatasi dan mendistribusikan peredaran kapital. Sehingga jangan sampai perputaran keuangan hanya pada segelintir golongan saja namun dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Namun jangan pula diartikan sama rata – sama rasa. Dari ditribusi inilah dilakukan “pemberdayaan kembali” masyarakat terutama yang selama ini termarginalkan secara ekonomi. Ini jangan hanya dijadikan slogan dan jargon belaka yang tidak dilaksanakan.

Pilar Good Governance
Sebuah pemerintahan yang baik adalah sebuah keharusan. Inilah yang menyebabkan pilar yang keenam ini harus berdiri tegak. Karena hanya dengan pemerintahan yang baiklah warga akan dapat menikmati pilar – pilar yang lain. Di sinilah perlu nilai – nilai kejujuran, kepercayaan, kecerdasan bertindak, dan akuntabilitas, serta kesetimbangan dan keadilan menjiwai pelaksanaan pemerintahan. Dengan tata kelola pemerintahan yang baik maka akan memberi suatu manfaat yang lebih kepada seluruh warga. Yang jelas pendirian pilar ini merupakan suatu proses yang tidak akan berhenti dan akan terus berulang dan meningkat.

Pendirian dan penegakan pilar keistimewaan
Pilar pilar keistimewaan yang enam di atas merupakan suatu rangkaian dan kesatuan yang utuh. Tanpa keenamnya kesitimewaan akan terciderai. Oleh karena itu pendirian dan penegakan harus dilakukan bersama-sama tidak dapat satu didirikan dan lainnya diruntuhkan.

Keterbatasan
Pilar-pilar yang enam diatas hanyalah sebuah usulan agar Keistimewaan Yogyakarta tetap bersinar dan memberi manfaat bagi seluruh warganya. Hamemayu hayuning bawana adi. Dan tentu saja keenam usulan tadi masih normatif dan umum sekali serta perlu dijabarkan lebih lanjut, terutama oleh para pemangku kebijakan dan akademisi serta para tokoh.

Simpulan

Simpulan dari artikel ini kembali lagi pada pendahuluan di bagian paling awal. Keistimewaan untuk siapa? Untuk raja? Atau untuk Rakyat? Jawabannya kembali pada diri kita sendiri.

Penutup
Lalu bagaimana hubungan dengan kondisi saat ini? Simak terus serial ini. Berdoa saja semoga masih ada kesempatan.

02 Oktober 2010 menurut kalender Internasional atau 23 Sawal Dal 1943 menurut kalender Jawa.

Seri merumuskan [kembali] keistimewaan ini disusun tidak mengikuti kronologi sejarah yang maju secara perlahan ataupun pembahasan secara akademis yang sistematis dan sampai pada sebuah simpulan sebagai puncaknya; namun lebih didasarkan dengan semakin mendesaknya penyusunan UU mengenai DIY oleh DPR dan Pemerintah. Jadi tulisan yang disajikan mengikuti kebutuhan akan aliran zaman; dimana dipandang mendesak untuk diangkat, tulisan itu dibuat dan diunggah.

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#2 Six pinciples for Jogyakarta

Presidential-Royal Statement 1945

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#1 Presidential-Royal Statement 1945


Pernyataan Presiden Indonesia dan Pernyataan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta di tahun 1945: suatu penafsiran [ulang].

Pendahuluan
Dalam membentuk dan mempertahankan eksistensinya (keberadaannya) Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beberapa tonggak-tonggak penting. Dan di antaranya adalah dokumen yang berisi pernyataan dari Negara Indonesia di satu pihak dan Negara Kesultanan Yogyakarta serta Negara Kepangeranan Paku Alaman pihak yang lain.

Dari negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan sebuah pernyataan yang ditujukan kepada kepala-kepala negara bawahan di Jawa termasuk Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam (pernyataan serupa juga ditujukan kepada Susuhunan [kaisar] Surakarta dan Pangeran Mangku Negara). Pernyataan Presiden Indonesia ini kemudian dikenal dengan nama Piagam Kedudukan dan tertanggal 19 Agustus 1945. Dokumen pernyataan ini baru diserahkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 6 Spetember 1945 kepada kepala negara-negara di Yogyakarta.

Pernyataan berikutnya adalah pernyataan dari penguasa-penguasa negara monarki di Jawa, khususnya, dalam artikel ini, pernyataan yang terpisah dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam. Dua pernyataan, masing-masing dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam, kemudian dikenal dengan nama Amanat 5 September 1945 tertanggal 5 September 1945; (pernyataan serupa dari Kaisar Surakarta dan Pangeran Mangku Negara telah dikeluarkan lebih dulu pada 1 September 1945).

Dalam artikel ini, digunakan kata “pernyataan” atau yang dalam bahasa asingnya disebut dengan “Statement”. Kata ini dipinjam dari suatu peristiwa yang amat bersejarah bagi Negara Indonesia dan hampir-hampir negara ini terbelah menjadi dua (antara pemerintah tertawan di Bangka dan pemerintah darurat di Sumatera Tengah). Pernyataan yang dimaksud adalah “Roem-Royen Statement” yang dibuat oleh Pemerintah tertawan Indonesia (Mr. Moh Roem) dan Pemerintah Kerajaan Belanda (Dr. H. J. van Rojen) untuk mengembalikan pemerintahan tertawan ke Yogyakarta dan menghentikan tembak-menembak sebagai syarat perundingan.

Selain itu, tanggal dikeluarkannya dan diserahkannya pernyataan-pernyataan tersebut begitu ditonjolkan karena akan memberi suatu penafsiran yang berbeda dan dampak yang berbeda pula. Setidaknya ada dua penafsiran ditinjau dari kronologis yang ada. Versi pertama adalah Pernyataan Presiden baru diikuti Pernyataan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta. Sedangkan versi keduanya adalah Pernyataan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta baru diikuti Pernyataan Presiden.

Versi I: Pernyataan Presiden lalu pernyataan kerajaan.
Versi ini dapat ditafsirkan bahwa Negara Indonesia memberi suatu “penawaran politik” pada kerajaan-kerajaan di Yogyakarta untuk tetap bergabung dengan Negara Indonesia disertai konsesi tertentu. Lebih jauh, seperti dikemukakan oleh seorang tokoh masyarakat dalam wawancara di televisi (kalau tidak keliru), Piagam kedudukan dan Amanat 5 September seperti sebuah “ijab-kabul” dalam pernikahan menurut agama Islam (janji suci perkawinan). Presiden Indonesia mengucapkan “Ijab” dan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta mengucapkan “kabul”nya. Dalam versi ini posisi Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta mendapat tingkatan yang “lebih tinggi”, sebab, bisa saja kerajaan-kerajaan di Yogyakarta tidak menerima “ijab” dari Negara Indonesia. Dan ini bisa diartikan lebih jauh bahwa kerajaan-kerajaan di Yogyakarta pada waktu itu dapat merdeka sendiri atau bergabung kembali di bawah bendera Den Haag.

Dan saat ini ketika keistimewan Yogyakarta dipermasalahkan ibarat suatu janji suci perkawinan yang otak-atik dan dipermasalahkan. Konsekuensinya, dan yang ini tidak kita kehendaki, adalah batalnya janji suci perkawinan dimana Yogyakarta bisa memilih untuk single parent (merdeka sendiri) atau menerima pinangan/meminang yang negara lain untuk dipersunting (menjadi bagian dari negara lain). Hal ini cukup kita risaukan karena, menurut beberapa laporan,  pernah ada beberapa spanduk yang bertuliskan “Ngayogyakarta Nagari Mardiko” walaupun akhirnya diturunkan hanya dalam hitungan hari. Penafsiran menurut versi pertama ini tidak begitu populer.

Versi II: pernyataan kerajaan lalu pernyataan presiden.
Versi ini dapat ditafsirkan bahwa kerajaan-kerajaan di Yogyakarta mengambil inisiatif sendiri, dengan kehendak sendiri, dan tanpa paksaan untuk mendukung dan bergabung dengan Indonesia. Lebih jauh dapat ditafsirkan apapun yang akan diterima kerajaan-kerajaan di Yogyakarta adalah konsekuensi yang sepatutnya diterima karena telah bergabung dengan Negara Indonesia. Dalam versi ini Negara Indonesia “lebih tinggi” karena bisa saja Negara Indonesia tidak mengabulkan pinangan Yogyakarta dan dapat mengakibatkan Yogyakarta tetap berada di dalam masa penjajahan. Menurut versi ini pula, Amanat 5 September diartikan sebagai proklamasi Yogyakarta untuk keluar dari penjajahan Jepang/Sekutu dan ikut merdeka bersama Indonesia. Versi ini semasa pemerintahan Presiden Suharto cukup populer karena memberi contoh pengamalan sila-sila dalam Pancasila (baca: P4/Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) terutama sila Persatuan Indonesia. Dan kemungkinan versi ini pula yang diambil oleh sebagian pemangku kebijakan saat ini.

Beberapa keberatan atas versi I dan II
Ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk kedua versi. Pada versi I, walaupun pernyataan Presiden Indonesia tertanggal 19 Agustus 1945 namun kenyataannya dokumen resmi baru diserah-terimakan pada kerajaan-kerajaan di Yogyakarta pada 6 September  1945, sehari setelah kerajaan-kerajaan itu memberi jawaban resmi atas pernyataan Presiden Indonesia. Hal ini pula yang nantinya memperkuat versi II.

Pada versi II, walaupun pernyataan Presiden Indonesia diserahkan sehari setelah pernyataan Kerajaan di Yogyakarta namun tidak dapat dipungkiri dokumen tersebut tertanggal 19 Agustus 1945, sudah dua minggu lebih dulu dari pernyataan kerajaan. Ini akan membingungkan kapan pernyataan Presiden itu berlaku?Tanggal 19 Agustus 1945 seperti yang tertanggal atau pada 6 September 1945 saat diserah-terimakan kepada Kerajaan di Yogyakarta?

Jembatan antara versi I dan versi II
Walaupun terlihat saling bertentangan, versi I dan versi II sebenarnya dapat digabungkan menjadi suatu urutan berdasarkan kronologis. Dimulai pada 19 Agustus 1945 Presiden Indonesia memberi sebuah statement. Dilanjutkan pada 5 September 1945 Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta memberi statement jawaban. Disusul kemudian pada 6 September 1945 dengan tukar menukar dokumen resmi (sayangnya kita tidak tahu sebenarnya yang terjadi pada 6 september 1945 karena hanya sedikit sumber yang menjelaskan kejadian yang ada). Kalau ini benar yang terjadi, maka kekusutan benang akan sedikit terurai.

Keterbatasan
Seperti telah dikemukakan terdahulu, hanya ada sedikit sumber yang kita miliki. Dan sayangnya lagi sumber itupun dari sumber sekunder (dari buku-buku yang ditulis oleh beberapa pengarang). Akan lebih baik dan akurat lagi jika kita bisa memiliki akses pada arsip-arsip kenegaraan sehingga kita memiliki sumber primer.

Selain itu kita juga terbatas dalam mengetahui “behind the scene” peristiwa pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan. Oleh karena itu penafsiran yang ada atas peristiwa sejarah, untuk sementara, hanya didasarkan atas dokumen dan kronologi yang ada.

Simpulan
Lalu bagaimana simpulannya? Jawabannya kembali pada diri kita sendiri. Yang jelas bagi kita ialah dua pernyataan itulah (Presidential-Royal Statement 1945) tonggak pertama eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam panggung sejarah. Tanpa keduanya mungkin sejarah akan mencatat suatu kisah yang lain.

Penutup
Lalu bagaimana hubungan dengan kondisi saat ini? Simak terus serial ini. Berdoa saja semoga masih ada kesempatan.

19 September 2010 menurut kalender Internasional atau 10 Sawal Dal 1943 menurut kalender Jawa.

Seri merumuskan [kembali] keistimewaan ini disusun tidak mengikuti kronologi sejarah yang maju secara perlahan ataupun pembahasan secara akademis yang sistematis dan sampai pada sebuah simpulan sebagai puncaknya; namun lebih didasarkan dengan semakin mendesaknya penyusunan UU mengenai DIY oleh DPR dan Pemerintah. Jadi tulisan yang disajikan mengikuti kebutuhan akan aliran zaman; dimana dipandang mendesak untuk diangkat, tulisan itu dibuat dan diunggah.

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#1 Presidential-Royal Statement 1945