Pencarian

Jumat, 31 Desember 2010

Yogyakarta Local Government 01

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan
# Yogyakarta Local Government 01

Kelembagaan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Perjalanan Sejarah

Keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat terlepas dari lembaga-lembaga yang berfungsi menjalankan pemerintahan. Dalam Perjalanannya lembaga-lembaga tersebut tidaklah statis. Ada lembaga-lembaga yang pernah ada dan sudah dihapus, masih berfungsi, maupun lembaga yang mengalami pergeseran fungsi. Kelembagaan ini pulalah yang menjadi salah satu bentuk utama sifat istimewa bagi Yogyakarta. Berikut akan disajikan secara kronologi beberapa lembaga yang berkaitan erat dengan pemerintahan daerah dan diharapkan dapat mewakili lembaga-lembaga yang ada atau pernah ada.

1. Lembaga Kepala Daerah Istimewa [dan Wakil Kepala Daerah Istimewa] (1945-sekarang).
Lembaga ini merupakan lembaga pemerintahan tertua dan juga merupakan warisan dari Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Pakualaman. Pada mulanya lembaga Kepala Daerah Istimewa terdiri dari dua orang yaitu Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam. Secara resmi pada 1948 baru ada jabatan baru Wakil Kepala Daerah Istimewa sebagaimana tercantum dalam UU 22/1948. Kekuasaan yang dipegang oleh Kepala Daerah Istimewa hampir meliputi seluruh kekuasaan negara yang meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif; termasuk pula kekuasaan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta kekuasaan dalam pertahanan dan keamanan. Kekuasaan legislatif sebagian diberikan pada KNI Daerah Yogyakarta pada Oktober 1945 (Amanat 30 Oktober) dan Dewan Daerah pada Mei 1946 (Maklumat No. 18). Kekuasaan yudikatif dihapuskan oleh pemerintah pusat dan kewenangannya diberikan kepada pengadilan yang ada (Pengadilan Umum) pada Agustus 1947 (UU 23/1947). Dan kekuasaan pertahanan keamanan hapus oleh pemerintah pusat pada Juni 1950 (PP 11/1950).

Setidaknya sampai dengan tahun 1959 kekuasaan Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa lebih berfungsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Barulah setelah 1965 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang kekuasaaan eksekutif secara penuh selain sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Titelatur yang digunakan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah juga mengalami perubahan. Titelatur yang dipergunakan secara resmi sejak pertama adalah Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Titelatur Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY baru dipergunakan secara resmi pada 1999 (UU 22/2009).

2. KNI Daerah Yogyakarta (1945-1946)
Lembaga KNI Daerah Yogyakarta merupakan lembaga legislatif lokal pertama bagi Yogyakarta. Secara resmi lembaga ini memperoleh sebagian kekuasaan legislatif melalui Amanat 30 Oktober 1945. Di dalam masa baktinya yang hanya sebentar lembaga ini berhasil merumuskan sebuah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah istimewa. Dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah istimewa ini akhirnya diundangkan dengan maklumat nomor 18 pada bulan mei 1946. Bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah istimewa ini kemudian juga diadopsi dalam UU 22/1948 mengenai pemerintahan daerah.

3. Pengadilan Darah Dalem (1945-1947)
Lembaga Pengadilan Daerah Dalem adalah lembaga yudikatif khusus (Forum Previligatum) yang mengadili tindak pidana dan perdata keluarga kerajaan (Zelfbestuursrechtspraak). Lembaga ini merupakan satu-satunya kekuasaan legislatif Sultan Yogyakarta yang tersisa setelah satu demi satu lembaga yudikatif Kesultanan Yogyakarta diambil alih oleh Pemerintah Nederland Indie. Akhirnya pada Agustus 1947 pengadilan ini dihapuskan oleh Pemerintah Pusat Indonesia dengan UU 23/1947, dan kasus-kasus yang sedang ditangani diambil alih oleh lembaga peradilan Indonesia yang berwenang dalam mengadili kasus-kasus tersebut.

4. Lembaga Paniradya (1945-1950)
Semula, lembaga Paniradya dibentuk oleh Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem. Setelah Pepatih Dalem pensiun dan kekuasaan negara beralih kepada Sultan Hamengku Buwono IX pada 1 Agustus 1945, lembaga Paniradya berfungsi untuk membantu Sultan dalam melaksanakan pemerintahan. Keadaan ini dilanjutkan hingga tahun 1946. Setelah pembagian kekuasaan pada 1946 fungsinya semakin menurun seiring dengan pembentukan Jawatan/Kantor Pemerintahan Daerah. Lambat laun lembaga ini diintegrasikan pada Jawatan/Kantor Pemerintahan Daerah.

5. Dewan Daerah (1946-1948)
Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta, yang disebut Dewan Daerah, merupakan parlemen lokal pertama di Yogyakarta. Walaupun anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum namun setidaknya lembaga ini menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif melalui Badan Pekerja sekaligus lembaga eksekutif melalui Dewan Pemerintah Daerah yang anggota-anggotanya dipilih oleh dan dari anggota Dewan Daerah. Lembaga ini tidak berfungsi sejak 19 Desember 1948 saat Agresi Militer II Belanda dan akhirnya digantikan oleh DPRD yang dipilih melalui pemilu pada 1951.

6. Dewan Pemerintah Daerah (1946-1948; 1951-1959)
Lembaga Dewan Pemerintah Daerah merupakan lembaga eksekutif daerah. Lembaga ini terdiri dari Kepala Daerah Istimewa sebagai ketua merangkap anggota, Wakil Kepala Daerah Istimewa sebagai anggota, dan lima orang anggota Dewan Daerah/DPRD sebagai anggota. Lembaga ini bersifat kolektif sehingga keputusan yang dihasilkan tidaklah murni dari Kepala Daerah melainkan atas kesepakatan dari para anggota Dewan.

7. Jawatan/Dinas/Badan/Kantor (1950-sekarang)
Lembaga yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Perangkat Daerah ini merupakan transformasi dari Paniradya. Proses transformasi berjalan secara gradual dan bertahap sejak 1946 sampai 1950 saat pembentukan DIY diformalkan dengan UU Negara Bagian RI-Yogyakarta 3/1950. Lembaga perangkat daerah lebih bersifat dinamis dalam pembentukan, pengubahan, maupun penghapusan sesuai dengan kondisi otonomi daerah.

8. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (1951-sekarang)
Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga legislatif daerah. DPRD ini dibentuk berdasarkan pemilu lokal pertama sekaligus pemilu pertama di Indonesia (?) yang diselenggarakan pada 16 Juli - 10 November 1951 secara bertingkat. DPRD sepanjang sejarahnya mengalami berbagai pergantian anggota baik dengan pemilihan umum maupun tidak dengan pemilihan umum. Sepanjang perjalanannya pula DPRD memiliki berbagai fungsi yang berubah sesuai dengan perkembangan otonomi daerah.

9. Badan Pemerintah Harian (1959-1974)
Lembaga Badan Pemerintah Harian merupakan lembaga yang membantu tugas Kepala Daerah. Lembaga ini merupakan perubahan bentuk dari Dewan Pemerintahan Daerah akibat perubahan ketatanegaraan sejak 5 Juli 1959. Sejak 1965 lembaga ini lebih merupakan suatu badan penasehat, sebab dengan UU 18/1965 muncul jabatan baru Wakil Kepala Daerah bagi seluruh daerah di Indonesia (tidak lagi menjadi ekslusivitas Daerah Istimewa Yogyakarta) yang berfungsi sebagai pimpinan daerah yang membantu kepala daerah.

Lembaga-lembaga ini menjadi begitu penting ketika kita akan merumuskan kembali keistimewaan Yogyakarta, terutama mengenai masalah Kedudukan Kepala Daerah Istimewa, Cara Pengisian Jabatannya, dan Tugas serta Kewenangan yang dimilikinya. Setidaknya lembaga-lembaga yang pernah ada btersebut isa berjalan dalam mewadahi demokrasi dalam balutan monarki.

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan
# Local Government 01

Minggu, 03 Oktober 2010

The six principles

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#2 The six principles 

Pilar-pilar keistimewaan Yogyakarta:
Keistimewaan untuk siapa?

Pendahuluan
Berkutat di kubangan sejarah membuat kita semakin lelah. Untuk itu ada baiknya jika sambil mengamati apa yang telah dan sedang terjadi juga menatap masa yang akan datang. Sejarah Yogyakarta di seputaran 1945-1950 sangatlah rumit dan kalau dibahas satu per satu mungkin sampai 2012 (kiamat?) belum tentu akan selesai. Oleh karena itu kita mungkin akan lebih berfokus pada menatapmsa depan.

Berbicara mengenai keistimewaan Yogyakarta biasanya akan terjebak dan berkutat pada pertanyaan Keistimewaan untuk siapa? Untuk raja? Atau untuk Rakyat? Berangkat dari titik itu kita dapat “sekedar” melihat/merumuskan pilar pilar keistimewaan Yogyakarta yang berasaskan pada batu sendi sejarah dan menjulang tinggi sampai ke langit masa depan.

Enam pilar
Pilar-pilar keistimewaan itu antara lain:
1.    Integrasi dan persatuan bangsa.
2.    Kultural, dan penghormatan.
3.    Right and duty of citizens.
4.    Kedaulatan rakyat.
5.    Kesejahteraan untuk semua.
6.    Good governance.

Pilar Integrasi dan Persatuan Bangsa.
Pilar ini begitu penting, tidak saja dari prespektif Indonesia namun juga dari prespektif sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri. Dari prespektif Indonesia kita semua tahu bagaimana Jakarta begitu ngotot untuk memberi konsesi yang sangat besar bagi Aceh dan Papua, dua juru kunci wilayah di ujung barat dan timur. Lalu bagainama jadinya kalau Yogyakarta, yang berada di posisi relatif tengah-tengah dari  kepulauan Indonesia, “nekat” untuk walk out dari Indonesia? Kita tidak bisa membayangkan dan tidak usah kita berandai-andai.

Dari prespektif Yogyakarta, kita semua telah paham bahwa keputusan kerajaan-kerajaan di Yogyakarta lebih memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Keputusan kerajaan-kerajaan itu juga tergolong “nekat”. Sebab waktu itu Indonesia belum memiliki apa-apa (bahkan antara 1946-1950 Yogyakarta yang telah berumur 190 tahun menjadi Ibu asuh Negara Indonesia yang masih dalam usia bayi 4 bulan – balita hampir 5 tahun). Jadi pilar ini telah kokoh dengan sendirinya.

Pilar Kultural dan Penghormatan
Pilar ini mengenai kedudukan monarki dalam demokrasi. Dan hal inilah yang diperdebatkan saat ini hingga berlarut-larut. Pilar monarki begitu penting dalam menopang keistimewaan Yogyakarta. Pada masa itu keputusan “penguasa monarki”-lah yang menjadikan Yogyakarta menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Ini berpijak pada doktrin Louise XIV dari Prancis, “L’etat c’est moi” negara adalah saya. Jadi apapun keputusan penguasa selalu menjadi keputusan negara. Tidak perlu suatu referendum seperti masuknya Irian Barat ke Indonesia atau lepasnya Timor Leste dari Indonesia. Tinggal sultan/pangeran bilang A maka negara mengundangkan aturan A dan rakyat harus ikut aturan A.

Namun setelah menjadi bagian integral dari Indonesia, aturan menjadi lain. Monarki menjadi tersisih karena kekuasaan berada di tangan rakyat. Penegakan pilar ini selalu mengundang masalah, bahkan sejak Indonesia masih berada dalam rancangan BPUPKI di bulan Mei-Juli 1945. Dan dengan usia yang jauh lebih tua dari Republik ini, maka tidak akan mudah menempatkan pilar ini tetap tegak. Dan  apabila pilar ini dibiarkan atau dengan sengaja dibuat patah atau bahkan runtuh maka Yogyakarta akan kehilangan “roh” keistimewaannya. Apalah arti sebuah jasad jika roh tidak ada. Tidak ada yang lebih baik selain dikebumikan dengan linangan air mata.

Yang menjadi perhatian adalah ketika pilar ini tegak maka tidak semua pihak bisa menerimanya dengan lapang dada. Baik para republikan maupun para royalis. Nah, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Pilar hak dan kewajiban warga (penduduk) Yogyakarta.
Pilar yang ketiga adalah mengenai hak dan kewajiban. Mengapa ada hak dan kewajiban? Karena keduanya ibarat dua sisi dalam suatu coin. Tidak dapat dipisahkan. Jika sesorang  hanya menuntut hak secara terus menerus, di suatu titik pelaksanaan hak itu akan mencederai hak orang lain dan bahkan melanggarnya. Jika sama-sama menuntut hak maka yang berlaku bukan suatu kemanusiaan lagi namun hukum rimba yang ada “Siapa yang kuat dialah yang menang dan berkuasa”. Oleh karena itu setiap hak yang diberikan pasti diiringi dengan kewajiban, minimal menghormati orang lain yang menggunakan hak tersebut.

Lalu apa isi dari hak dan kewajiban warga itu? Setidaknya hak-hak itu merupakan turunan dari hak-hak yang telah diberikan konstitusi pada warganya. Tentunya pelaksanaan hak-hak itu tidak mutlak-mutlakan tetapi disesuaikan dengan “cita rasa Yogyakarta”. Sedangkan kewajiban-kewajiban mendasar antara lain ialah: (1) menghormati dan menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan; (2) menghormati dan bertoleransi sesama warga; (3) menjaga ketertiban, perdamaian, kerukunan; (4) tidak melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun non fisik, temasuk tindakan-tindakan provokatif yang menyebabkan pihak lain terpancing; dan (5) menghormati monarki [lebih-lebih jika nantinya monarki dalam posisi “tidak dapat dipersalahkan”, seperti Kaisar Jepang maupun Raja Thailand].

Dan tidak kalah pentingnya ialah siapa yang mendapat hak dan kewajiban itu. Apakah warga Yogyakarta (WNI ber-KTP Yogya) atau penduduk semuanya? Mengacu pada konstitusi beberapa negara monarki berkonstitusi yang menganut rezim kerajaan (kedaulatan raja) dan kedaulatan rakyat, hak dan kewajiban ini dikenakan bagi seluruh penduduk, baik warga maupun bukan warga. Dengan demikian supremasi hukum dan pemerintahan serta kedudukan kultural pemangku tahta dapat terjaga.

Pilar Kedaulatan Rakyat
Pilar keempat sengaja menggunakan kata “kedaulatan rakyat” bukan kata “demokrasi”. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan disini adalah: (1) demokrasi sering dipertentangkan dan dipertarungkan dengan monarki dan feodal; (2) demokrasi sering hanya dijadikan sebagai alat dan bukan tujuan; (3) demokrasi hanya dianut sebatas formal – prosedural bukan substansi – esensi. Selain itu kata “kedaulatan rakyat” atau kerakyatan-lah yang digunakan dalam pembukaan UUD 1945 bukan kata demokrasi (lihat sila IV: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan)

Ditilik dari sejarah, Kesultanan Yogyakarta dan Kepangeranan Paku Alaman merupakan suatu monarki, sebuah kedaulatan raja atau pangeran. Dan dari kedaulatan raja dan pangeran ini pulalah Yogyakarta dan Paku Alaman bergabung dan berintegrasi dengan Indonesia. Namun selanjutnya dengan perubahan yang begitu cepat kedua penguasa monarki di Yogyakarta segera memberi sebagian kekuasaan dan kedaulatannya dalam bidang legislatif kepada rakyat melalui wakil-wakilnya yang duduk di Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 30 Oktober 1945. Selanjutnya, semakin banyak kekuasaan dan kedaulatan yang dipegang oleh kepala-kepala kerajaan di Yogyakarta diserahkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya.

Dengan demikian kedaulatan rakyat/kerakyatan bukanlah hal yang tabu bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan ada tokoh yang memberi judul buku yang berisi biografi Sultan Hamengku Buwono IX dengan “Tahta untuk Rakyat”. Jadi kehendak rakyatlah yang menjadi kehendak penguasa. Jika rakyat menghendaki A maka penguasa menyuarakan A.

Pilar Kesejahteraan untuk Semua
Suatu konsep ketatanegaraan dan pemerintahan serta hukum tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya pilar ini. Inilah pilar kelima, pilar kesejahteraan untuk semua. Tidak ada demokrasi tanpa roti atau nasi. Tidak mungkin rakyat akan jernih mengeluarkan pikiran jika masih memikirkan “apakah bisa makan hari ini?” . Lalu bagaimana mengukur kesejahteran itu. Dalam bahas jawa dapat diistilahkan dengan “mangan wareg, turu nglinteg”, dapat makan dengan kenyang dan tidur dengan nyenyak. Orang bisa melakukan kedua hal itu jika semua kebutuhannya telah tercukupi terutama pangan, sandang, dan papan. Ini pulalah yang seharusnya menjadi pedoman bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, Buat apa tahta jika tidak dapat menyejahterakan rakyatnya.

Kesejahteraan untuk semua berasal dari distribusi sumber daya yang merata dan setimbang (equal) untuk semua rakyat. Tidak ada tirani minoritas dan dominasi mayoritas. Di sinilah peran pemerintahan untuk membatasi dan mendistribusikan peredaran kapital. Sehingga jangan sampai perputaran keuangan hanya pada segelintir golongan saja namun dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Namun jangan pula diartikan sama rata – sama rasa. Dari ditribusi inilah dilakukan “pemberdayaan kembali” masyarakat terutama yang selama ini termarginalkan secara ekonomi. Ini jangan hanya dijadikan slogan dan jargon belaka yang tidak dilaksanakan.

Pilar Good Governance
Sebuah pemerintahan yang baik adalah sebuah keharusan. Inilah yang menyebabkan pilar yang keenam ini harus berdiri tegak. Karena hanya dengan pemerintahan yang baiklah warga akan dapat menikmati pilar – pilar yang lain. Di sinilah perlu nilai – nilai kejujuran, kepercayaan, kecerdasan bertindak, dan akuntabilitas, serta kesetimbangan dan keadilan menjiwai pelaksanaan pemerintahan. Dengan tata kelola pemerintahan yang baik maka akan memberi suatu manfaat yang lebih kepada seluruh warga. Yang jelas pendirian pilar ini merupakan suatu proses yang tidak akan berhenti dan akan terus berulang dan meningkat.

Pendirian dan penegakan pilar keistimewaan
Pilar pilar keistimewaan yang enam di atas merupakan suatu rangkaian dan kesatuan yang utuh. Tanpa keenamnya kesitimewaan akan terciderai. Oleh karena itu pendirian dan penegakan harus dilakukan bersama-sama tidak dapat satu didirikan dan lainnya diruntuhkan.

Keterbatasan
Pilar-pilar yang enam diatas hanyalah sebuah usulan agar Keistimewaan Yogyakarta tetap bersinar dan memberi manfaat bagi seluruh warganya. Hamemayu hayuning bawana adi. Dan tentu saja keenam usulan tadi masih normatif dan umum sekali serta perlu dijabarkan lebih lanjut, terutama oleh para pemangku kebijakan dan akademisi serta para tokoh.

Simpulan

Simpulan dari artikel ini kembali lagi pada pendahuluan di bagian paling awal. Keistimewaan untuk siapa? Untuk raja? Atau untuk Rakyat? Jawabannya kembali pada diri kita sendiri.

Penutup
Lalu bagaimana hubungan dengan kondisi saat ini? Simak terus serial ini. Berdoa saja semoga masih ada kesempatan.

02 Oktober 2010 menurut kalender Internasional atau 23 Sawal Dal 1943 menurut kalender Jawa.

Seri merumuskan [kembali] keistimewaan ini disusun tidak mengikuti kronologi sejarah yang maju secara perlahan ataupun pembahasan secara akademis yang sistematis dan sampai pada sebuah simpulan sebagai puncaknya; namun lebih didasarkan dengan semakin mendesaknya penyusunan UU mengenai DIY oleh DPR dan Pemerintah. Jadi tulisan yang disajikan mengikuti kebutuhan akan aliran zaman; dimana dipandang mendesak untuk diangkat, tulisan itu dibuat dan diunggah.

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#2 Six pinciples for Jogyakarta

Presidential-Royal Statement 1945

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#1 Presidential-Royal Statement 1945


Pernyataan Presiden Indonesia dan Pernyataan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta di tahun 1945: suatu penafsiran [ulang].

Pendahuluan
Dalam membentuk dan mempertahankan eksistensinya (keberadaannya) Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beberapa tonggak-tonggak penting. Dan di antaranya adalah dokumen yang berisi pernyataan dari Negara Indonesia di satu pihak dan Negara Kesultanan Yogyakarta serta Negara Kepangeranan Paku Alaman pihak yang lain.

Dari negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan sebuah pernyataan yang ditujukan kepada kepala-kepala negara bawahan di Jawa termasuk Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam (pernyataan serupa juga ditujukan kepada Susuhunan [kaisar] Surakarta dan Pangeran Mangku Negara). Pernyataan Presiden Indonesia ini kemudian dikenal dengan nama Piagam Kedudukan dan tertanggal 19 Agustus 1945. Dokumen pernyataan ini baru diserahkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 6 Spetember 1945 kepada kepala negara-negara di Yogyakarta.

Pernyataan berikutnya adalah pernyataan dari penguasa-penguasa negara monarki di Jawa, khususnya, dalam artikel ini, pernyataan yang terpisah dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam. Dua pernyataan, masing-masing dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam, kemudian dikenal dengan nama Amanat 5 September 1945 tertanggal 5 September 1945; (pernyataan serupa dari Kaisar Surakarta dan Pangeran Mangku Negara telah dikeluarkan lebih dulu pada 1 September 1945).

Dalam artikel ini, digunakan kata “pernyataan” atau yang dalam bahasa asingnya disebut dengan “Statement”. Kata ini dipinjam dari suatu peristiwa yang amat bersejarah bagi Negara Indonesia dan hampir-hampir negara ini terbelah menjadi dua (antara pemerintah tertawan di Bangka dan pemerintah darurat di Sumatera Tengah). Pernyataan yang dimaksud adalah “Roem-Royen Statement” yang dibuat oleh Pemerintah tertawan Indonesia (Mr. Moh Roem) dan Pemerintah Kerajaan Belanda (Dr. H. J. van Rojen) untuk mengembalikan pemerintahan tertawan ke Yogyakarta dan menghentikan tembak-menembak sebagai syarat perundingan.

Selain itu, tanggal dikeluarkannya dan diserahkannya pernyataan-pernyataan tersebut begitu ditonjolkan karena akan memberi suatu penafsiran yang berbeda dan dampak yang berbeda pula. Setidaknya ada dua penafsiran ditinjau dari kronologis yang ada. Versi pertama adalah Pernyataan Presiden baru diikuti Pernyataan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta. Sedangkan versi keduanya adalah Pernyataan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta baru diikuti Pernyataan Presiden.

Versi I: Pernyataan Presiden lalu pernyataan kerajaan.
Versi ini dapat ditafsirkan bahwa Negara Indonesia memberi suatu “penawaran politik” pada kerajaan-kerajaan di Yogyakarta untuk tetap bergabung dengan Negara Indonesia disertai konsesi tertentu. Lebih jauh, seperti dikemukakan oleh seorang tokoh masyarakat dalam wawancara di televisi (kalau tidak keliru), Piagam kedudukan dan Amanat 5 September seperti sebuah “ijab-kabul” dalam pernikahan menurut agama Islam (janji suci perkawinan). Presiden Indonesia mengucapkan “Ijab” dan Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta mengucapkan “kabul”nya. Dalam versi ini posisi Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta mendapat tingkatan yang “lebih tinggi”, sebab, bisa saja kerajaan-kerajaan di Yogyakarta tidak menerima “ijab” dari Negara Indonesia. Dan ini bisa diartikan lebih jauh bahwa kerajaan-kerajaan di Yogyakarta pada waktu itu dapat merdeka sendiri atau bergabung kembali di bawah bendera Den Haag.

Dan saat ini ketika keistimewan Yogyakarta dipermasalahkan ibarat suatu janji suci perkawinan yang otak-atik dan dipermasalahkan. Konsekuensinya, dan yang ini tidak kita kehendaki, adalah batalnya janji suci perkawinan dimana Yogyakarta bisa memilih untuk single parent (merdeka sendiri) atau menerima pinangan/meminang yang negara lain untuk dipersunting (menjadi bagian dari negara lain). Hal ini cukup kita risaukan karena, menurut beberapa laporan,  pernah ada beberapa spanduk yang bertuliskan “Ngayogyakarta Nagari Mardiko” walaupun akhirnya diturunkan hanya dalam hitungan hari. Penafsiran menurut versi pertama ini tidak begitu populer.

Versi II: pernyataan kerajaan lalu pernyataan presiden.
Versi ini dapat ditafsirkan bahwa kerajaan-kerajaan di Yogyakarta mengambil inisiatif sendiri, dengan kehendak sendiri, dan tanpa paksaan untuk mendukung dan bergabung dengan Indonesia. Lebih jauh dapat ditafsirkan apapun yang akan diterima kerajaan-kerajaan di Yogyakarta adalah konsekuensi yang sepatutnya diterima karena telah bergabung dengan Negara Indonesia. Dalam versi ini Negara Indonesia “lebih tinggi” karena bisa saja Negara Indonesia tidak mengabulkan pinangan Yogyakarta dan dapat mengakibatkan Yogyakarta tetap berada di dalam masa penjajahan. Menurut versi ini pula, Amanat 5 September diartikan sebagai proklamasi Yogyakarta untuk keluar dari penjajahan Jepang/Sekutu dan ikut merdeka bersama Indonesia. Versi ini semasa pemerintahan Presiden Suharto cukup populer karena memberi contoh pengamalan sila-sila dalam Pancasila (baca: P4/Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) terutama sila Persatuan Indonesia. Dan kemungkinan versi ini pula yang diambil oleh sebagian pemangku kebijakan saat ini.

Beberapa keberatan atas versi I dan II
Ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk kedua versi. Pada versi I, walaupun pernyataan Presiden Indonesia tertanggal 19 Agustus 1945 namun kenyataannya dokumen resmi baru diserah-terimakan pada kerajaan-kerajaan di Yogyakarta pada 6 September  1945, sehari setelah kerajaan-kerajaan itu memberi jawaban resmi atas pernyataan Presiden Indonesia. Hal ini pula yang nantinya memperkuat versi II.

Pada versi II, walaupun pernyataan Presiden Indonesia diserahkan sehari setelah pernyataan Kerajaan di Yogyakarta namun tidak dapat dipungkiri dokumen tersebut tertanggal 19 Agustus 1945, sudah dua minggu lebih dulu dari pernyataan kerajaan. Ini akan membingungkan kapan pernyataan Presiden itu berlaku?Tanggal 19 Agustus 1945 seperti yang tertanggal atau pada 6 September 1945 saat diserah-terimakan kepada Kerajaan di Yogyakarta?

Jembatan antara versi I dan versi II
Walaupun terlihat saling bertentangan, versi I dan versi II sebenarnya dapat digabungkan menjadi suatu urutan berdasarkan kronologis. Dimulai pada 19 Agustus 1945 Presiden Indonesia memberi sebuah statement. Dilanjutkan pada 5 September 1945 Kerajaan-kerajaan di Yogyakarta memberi statement jawaban. Disusul kemudian pada 6 September 1945 dengan tukar menukar dokumen resmi (sayangnya kita tidak tahu sebenarnya yang terjadi pada 6 september 1945 karena hanya sedikit sumber yang menjelaskan kejadian yang ada). Kalau ini benar yang terjadi, maka kekusutan benang akan sedikit terurai.

Keterbatasan
Seperti telah dikemukakan terdahulu, hanya ada sedikit sumber yang kita miliki. Dan sayangnya lagi sumber itupun dari sumber sekunder (dari buku-buku yang ditulis oleh beberapa pengarang). Akan lebih baik dan akurat lagi jika kita bisa memiliki akses pada arsip-arsip kenegaraan sehingga kita memiliki sumber primer.

Selain itu kita juga terbatas dalam mengetahui “behind the scene” peristiwa pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan. Oleh karena itu penafsiran yang ada atas peristiwa sejarah, untuk sementara, hanya didasarkan atas dokumen dan kronologi yang ada.

Simpulan
Lalu bagaimana simpulannya? Jawabannya kembali pada diri kita sendiri. Yang jelas bagi kita ialah dua pernyataan itulah (Presidential-Royal Statement 1945) tonggak pertama eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam panggung sejarah. Tanpa keduanya mungkin sejarah akan mencatat suatu kisah yang lain.

Penutup
Lalu bagaimana hubungan dengan kondisi saat ini? Simak terus serial ini. Berdoa saja semoga masih ada kesempatan.

19 September 2010 menurut kalender Internasional atau 10 Sawal Dal 1943 menurut kalender Jawa.

Seri merumuskan [kembali] keistimewaan ini disusun tidak mengikuti kronologi sejarah yang maju secara perlahan ataupun pembahasan secara akademis yang sistematis dan sampai pada sebuah simpulan sebagai puncaknya; namun lebih didasarkan dengan semakin mendesaknya penyusunan UU mengenai DIY oleh DPR dan Pemerintah. Jadi tulisan yang disajikan mengikuti kebutuhan akan aliran zaman; dimana dipandang mendesak untuk diangkat, tulisan itu dibuat dan diunggah.

Seri Merumuskan [Kembali] Keistimewaan:
#1 Presidential-Royal Statement 1945

Senin, 13 September 2010

Komentar atas Dekrit Integrasi Paku Alaman

Teks[#]:

AMANAT
SRI PADUKA KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM[1][2]



Kami[3] Paku Alam VIII[4] Kepala Negeri Paku Alaman[5], Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[6] menyatakan:


1. Bahwa Negeri Paku Alaman[7] yang bersifat kerajaan[8] adalah daerah istimewa[9] dari Negara Republik Indonesia[10].

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah[11] memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman[12], dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami[13] dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya[14].

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.




Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.



Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945


PAKU ALAM VIII


=================================================================

KOMENTAR

[#] Amanat Paku Alam terdapat/dimuat dalam Berita Republik Idonesia Tahun II No. 6 halaman 37 kolom 2

[1] Amanat secara harfiah dapat diartikan sebagai kepercayaan atau mandat. Kedudukan dekrit "Amanat" ini begitu khusus. Sampai saat ini yang saya ketahui hanya ada dua amanat yang dikeluarkan Pangeran Paku Alam, yaitu Amanat 5 September 1945 mengenai integrasi Negara Kepangeranan Paku Alaman dan Amanat [bersama] 30 Oktober 1945 mengenai pemberian kekuasaan legislatif dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta. Sebab untuk dekrit-dekrit yang lain Sultan menggunakan kata "Maklumat". Lebih jauh amanat ini dapat diartikan sebagai sebuah proklamasi bagi Negara Kepangeranan Paku Alaman untuk lepas dari pemerintahan [demisioner] Jepang yang memperoleh kuasa dari Pasukan Sekutu (allied forces) untuk menjaga "status quo" sampai kedatangan Pasukan Sekutu untuk menguasai daerah-daerah yang diduduki oleh Jepang. Selain itu Amanat ini dapat diartikan sebagai jawaban atas Piagam [Dekrit] Presiden Indonesia yang telah dikeluarkan pada 19 Agustus 1945.

[2] Sri Paduka ... Paku Alam, merupakan gelar Pangeran Paku Alam dalam paduan bahasa Indonesia dan Jawa. Gelar ini juga menunjukkan kapasitas/jabatan orang yang mengeluarkan Dekrit. Atas dasar inilah Amanat 5 September 1945 dapat diartikan sebagai sebuah Dekrit Kerajaan.

[3] Pada waktu itu kata "kami" sering dipergunakan untuk menggantikan kata "saya". Dapat pula diartikan sebagai bentuk kata jamak penghormatan (pluralis majesticus).

[4] Menunjukkan pihak yang mengeluarkan dekrit.  Nama ini adalah nama kehormatan jabatan dari Pangeran Paku Alaman. 

[5] Sebutan jabatan orang yang mengeluarkan dekrit. Lebih jauh lagi dapat diartikan dengan jabatan dan seluruh kewenangan yang dimiliki/melekat oleh jabatan itu.

[6] Kata Negeri dalam dekrit ini kelihatannya merupakan tejemahan dari kata "Nagari" dalam bahasa Jawa yang memiliki makna Negara. Jadi dapat diterjemahkan sebagai Negara Paku Alaman.

[7] Negeri Yogyakarta pada dekrit ini hanya menunjukkan bahwa Negara Paku Alaman terletak di daerah Yogyakarta. Walaupun kecil dan berbentuk kepangeranan, Negara Paku Alaman bukan merupakan negara bawahan dari Negara Kesultanan Yogyakarta. Ini dapat dilihat bahwa penyebutan Negara Yogyakarta hanya satu kali saja.

[8] Bersifat kerajaan menunjukkan dan menegaskan bahwa Negara Paku Alaman berbentuk monarki. Dapat dibandingkan dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik". Bentuk monarki ini diungkapkan secara jelas dalam dekrit ini karena berkaitan dengan otonomi khusus yang "diminta" Negara Paku Alaman sebagai "konsesi" bergabungnya Paku Alaman dalam Negara Indonesia. Lihat poin [9] di bawah.

[9] Daerah istimewa pada saat itu bermakna daerah otonomi khusus dalam bahasa saat ini. Dalam dekrit ini bentuk otonomi khusus bagi Negara Paku Alaman begitu ditekankan. Otonomi khusus "diminta" oleh Negara Paku Alaman sebagai sebuah konsesi atas (a). bergabungnya Negara Paku Alaman sebagai bagian Negara Indonesia; (b). berubahnya status Paku Alaman dari "Negara" (state/staat) menjadi "Daerah" (Territory/region/department). Isi otonomi khusus yang diminta Paku Alaman telah dijelaskan dalam poin [8] mengenai bentuk monarki dan akan dijelaskan lebih lanjut dalam poin-poin [11], [12], [14], [15], dan [16] di bawah.

[10] Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

[11] Di tempat ini Pangeran Paku Alaman membahasakan diri beliau sebagai Kepala Daerah "bukan lagi" sebagai Kepala Negara. Ini adalah konsekuensi pertama yang harus diterima oleh Pangeran Paku Alaman karena bergabung dengan Negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, yang tidak mengenal adanya "staat di dalam Staat".

[12] Walau sebagai hanya sebagai "Kepala Daerah", Pangeran Paku Alaman masih memegang seluruh kekuasaan dan kewenangan yang beliau miliki sebagai Kepala Negara. Kekuasaan "Kepala Negara" dimaksud hanya sebagai kepala negara bawahan. Kekuasaan ini meliputi hal-hal yang telah diakui dan diatur oleh "Negara Induk" seperti yang diatur oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa maupun oleh Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda. Dengan demikian kekuasaan Pangeran  meliputi eksekutif dan legislatif. Namun demikian kekuasaan Pengeran tidak mencakup mengenai masalah luar negeri yang diurus oleh Negara Induk.

[13] Pada poin ini Pangeran menyatakan bahwa semua kekuasaan, baik sipil maupun militer, yang ada pada waktu itu berada di tangan Pengeran. Dengan kata lain semua kekuasaan yang sah berada di tangan Pangeran. Ini juga menegaskan bahwa di Paku Alaman tidak ada lagi jabatan Pepatih Paku Alaman (semacam Prime Minister).

[14] Kekuasaan lain yang dimaksud adalah kekuasaan yang masih terdapat pada (a). Wakil Pemerintah Negara Induk; dan (b). badan/instansi negara induk di kepangeranan. Kekuasaan ini juga diambil alih oleh Pangeran.

[15] Hubungan antara Negara Paku Alaman dan Negara Indonesia berupa hubungan langsung. Ini ditekankan oleh Pangeran, sebab pada masa pemerintahan Kerajaan Hindia Belanda dan pemerintahan Militer Jepang, hubungan antara Negara Paku Alaman dengan Negara Induk harus melalui Wakil Pemerintah Negara Induk (Gubernur pada masa Hindia Belanda dan Kooti Zimukyokutyokan pada masa Jepang). Dengan demikian dapat diartikan lebih lanjut Pangeran juga menjadi aparat/wakil pemerintah pusat di Paku Alaman.

[16] Di sini  dikemukakan bahwa Pangeran bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden Indonesia mengenai kekuasaan yang dibebankan padanya, tidak melalui pejabat apapun.

[17] Dekrit ini juga merupakan sebuah instruksi.

[18] Penduduk dalam amanat ini dapat diartikan warga negara Paku Alaman. Sebab, pada waktu itu, terdapat tiga kewarganegaraan yaitu (a) warga negara Paku Alaman; (b) warga negara Induk, pada masa Hindia Belanda dikenal dengan kawulo Gupermen; dan (c) warga negara asing. Kekuasaan Pangeran pada saat itu hanya mengikat warga negara Paku Alaman saja.

[19] Mematuhi dan melaksanakan instruksi.

[20] Tempat dan tanggal dikeluarkannya pernyataan. Yang menarik adalah digunakannya dua buah penanggalan yaitu penanggalan Jawa dan penanggalan barat.

[21] Pejabat yang membuat pernyataan.

Komentar atas Dekrit Integrasi Yogyakarta

Teks[#]:

AMANAT
SRI PADUKA INGKANG SINUWUN KANGJENG SULTAN[1][2]



Kami[3] Hamengku Buwono IX[4], Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[5] menyatakan:


1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[6] yang bersifat kerajaan[7] adalah daerah istimewa[8] dari Negara Republik Indonesia[9].

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah[10] memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[11], dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami[12] dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya[13].

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung[14] dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia[15].



Kami memerintahkan[16] supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat[17] mengindahkan Amanat Kami ini[18].



Ngayogyakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945[19]




HAMENGKU BUWONO IX[20]


=================================================================

KOMENTAR

[#] Amanat Sultan terdapat/dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 4-5 halaman 23 kolom 3.

[1] Amanat secara harfiah dapat diartikan sebagai kepercayaan atau mandat. Kedudukan dekrit "Amanat" ini begitu khusus. Sampai saat ini yang saya ketahui hanya ada dua amanat yang dikeluarkan Sultan Yogyakarta, yaitu Amanat 5 September 1945 mengenai integrasi Negara Kesultanan Yogyakarta dan Amanat [bersama] 30 Oktober 1945 mengenai pemberian kekuasaan legislatif dari Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta. Sebab untuk dekrit-dekrit yang lain Sultan menggunakan kata "Maklumat". Lebih jauh amanat ini dapat diartikan sebagai sebuah proklamasi bagi Negara Kesultanan Yogyakarta untuk lepas dari pemerintahan [demisioner] Jepang yang memperoleh kuasa dari Pasukan Sekutu (allied forces) untuk menjaga "status quo" sampai kedatangan Pasukan Sekutu untuk menguasai daerah-daerah yang diduduki oleh Jepang. Selain itu Amanat ini dapat diartikan sebagai jawaban atas Piagam [Dekrit] Presiden Indonesia yang telah dikeluarkan pada 19 Agustus 1945.

[2] Sri Paduka Kangjeng Sultan, merupakan gelar singkat Sultan Yogyakarta dalam paduan bahasa Indonesia dan Jawa. Gelar ini juga menunjukkan kapasitas/jabatan orang yang mengeluarkan Dekrit. Atas dasar inilah Amanat 5 September 1945 dapat diartikan sebagai sebuah Dekrit Kerajaan.

[3] Pada waktu itu kata "kami" sering dipergunakan untuk menggantikan kata "saya". Dapat pula diartikan sebagai bentuk kata jamak penghormatan (pluralis majesticus).

[4] Menunjukkan pihak yang mengeluarkan dekrit.  Nama ini adalah nama kehormatan jabatan dari Sultan Yogyakarta yang nama lahirnya adalah Dorojatun

[5] Sebutan jabatan orang yang mengeluarkan dekrit. Lebih jauh lagi dapat diartikan dengan jabatan dan seluruh kewenangan yang dimiliki/melekat oleh jabatan itu.

[6] Kata Negeri dalam dekrit ini kelihatannya merupakan tejemahan dari kata "Nagari" dalam bahasa Jawa yang memiliki makna Negara. Jadi dapat diterjemahkan sebagai Negara Yogyakarta Adiningrat.

[7] Bersifat kerajaan menunjukkan dan menegaskan bahwa Negara Yogyakarta berbentuk monarki. Dapat dibandingkan dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik". Bentuk monarki ini diungkapkan secara jelas dalam dekrit ini karena berkaitan dengan otonomi khusus yang "diminta" Negara Yogyakarta sebagai "konsesi" bergabungnya Yogyakarta dalam Negara Indonesia. Lihat poin [8] di bawah.

[8] Daerah istimewa pada saat itu bermakna daerah otonomi khusus dalam bahasa saat ini. Dalam dekrit ini bentuk otonomi khusus bagi Negara Yogyakarta begitu ditekankan. Otonomi khusus "diminta" oleh Negara Yogyakarta sebagai sebuah konsesi atas (a). bergabungnya Negara Yogyakarta sebagai bagian Negara Indonesia; (b). berubahnya status Yogyakarta dari "Negara" (state/staat) menjadi "Daerah" (Territory/region/department). Isi otonomi khusus yang diminta Yogyakarta telah dijelaskan dalam poin [7] mengenai bentuk monarki dan akan dijelaskan lebih lanjut dalam poin-poin [10], [11], [12], [13], [14], dan [15] di bawah.

[9] Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

[10] Di tempat ini Sultan Yogyakarta membahasakan diri beliau sebagai Kepala Daerah "bukan lagi" sebagai Kepala Negara. Ini adalah konsekuensi pertama yang harus diterima oleh Sultan Yogyakarta karena bergabung dengan Negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, yang tidak mengenal adanya "staat di dalam Staat".

[11] Walau sebagai hanya sebagai "Kepala Daerah", Sultan Yogyakarta masih memegang seluruh kekuasaan dan kewenangan yang beliau miliki sebagai Kepala Negara. Kekuasaan "Kepala Negara" dimaksud hanya sebagai kepala negara bawahan. Kekuasaan ini meliputi hal-hal yang telah diakui dan diatur oleh "Negara Induk" seperti yang diatur oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa maupun oleh Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda (Perjanjian politik 18 Maret 1940 [Staatsblad 1941, No. 47]). Dengan demikian kekuasaan Sultan  meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun demikian kekuasaan Sultan tidak mencakup mengenai masalah luar negeri yang diurus oleh Negara Induk.

[12] Pada poin ini Sultan menyatakan bahwa semua kekuasaan, baik sipil maupun militer, yang ada pada waktu itu berada di tangan Sultan. Dengan kata lain semua kekuasaan yang sah berada di tangan sultan. Ini juga menegaskan bahwa di Yogyakarta tidak ada lagi jabatan Pepatih Dalem (semacam Prime Minister).

[13] Kekuasaan lain yang dimaksud adalah kekuasaan yang masih terdapat pada (a). Wakil Pemerintah Negara Induk; dan (b). badan/instansi negara induk di kesultanan. Kekuasaan ini juga diambil alih oleh Sultan.

[14] Hubungan antara Negara Yogyakarta dan Negara Indonesia berupa hubungan langsung. Ini ditekankan oleh Sultan, sebab pada masa pemerintahan Kerajaan Hindia Belanda dan pemerintahan Militer Jepang, hubungan antara Negara Yogyakarta dengan Negara Induk harus melalui Wakil Pemerintah Negara Induk (Gubernur pada masa Hindia Belanda dan Kooti Zimukyokutyokan pada masa Jepang). Dengan demikian dapat diartikan lebih lanjut Sultan juga menjadi aparat/wakil pemerintah pusat di Yogyakarta.

[15] Di sini  dikemukakan bahwa Sultan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden Indonesia mengenai kekuasaan yang dibebankan padanya, tidak melalui pejabat apapun.

[16] Dekrit ini juga merupakan sebuah instruksi.

[17] Penduduk dalam amanat ini dapat diartikan warga negara Yogyakarta. Sebab, pada waktu itu, terdapat tiga kewarganegaraan yaitu (a) warga negara Yogyakarta, dikenal dengan Kawulo Dalem; (b) warga negara Induk, pada masa Hindia Belanda dikenal dengan kawulo Gupermen; dan (c) warga negara asing. Kekuasaan Sultan pada saat itu hanya mengikat warga negara Yogyakarta saja.

[18] Mematuhi dan melaksanakan instruksi.

[19] Tempat dan tanggal dikeluarkannya pernyataan. Yang menarik adalah digunakannya dua buah penanggalan yaitu penanggalan Jawa dan penanggalan barat.

[20] Pejabat yang membuat pernyataan.

Komentar atas Dekrit Kedudukan Penguasa Paku Alaman

Teks(#): 
Piagam(1) Kedudukan Sri Paduka Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII(2)

Kami, Presiden Republik Indonesia,(3) menetapkan:(4)

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kaping VIII(5), pada kedudukannya(6),

Dengan kepercayaan bahwa(7) Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Paku Alaman(8)(9) sebagai bagian daripada Republik Indonesia.(10)


Jakarta, 19 Agustus 1945(11)

Presiden Republik Indonesia(12)

Ir. Sukarno

=================================================================

Komentar:


(#) Teks adalah teks asli dengan penyempurnaan EYD

(1) Piagam disini dapat diartikan suatu pernyataan resmi maupun perjanjian. Lebih jauh, piagam pada jaman dulu memiliki kekuatan yang hukum mengikat bagi pihak yang memberi dan pihak yang diberi.

(2) Kedudukan disini dapat diartikan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Pangeran Paku Alam pada saat itu (Pangeran PA VIII). Lebih jauh dapat diartikan pula dengan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Pangeran Paku Alam secara umum (tidak terikat pada Pangeran yang diberi piagam, namun juga pangeran-pangeran yang menggantikannya).

(3) Rumusan anak kalimat ini menunjukkan pemberi piagam dan jabatan yang disandangnya.

(4) Kata ini menjadi tanda suatu diktum yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

(5) Kangjeng Gusti ... VIII, merupakan nama gelar Pangeran Paku Alam. Nama gelar ini disebutkan secara utuh. Lebih jauh dapat diartikan sebagai pengakuan dan penghormatan kepada Pangeran Paku Alam yang menjadi penguasa (kepala negara dan pemerintahan) Negara Paku Alaman. Hal ini menunjukkan pula pengakuan dari Presiden Indonesia terhadap eksistensi Paku Alaman sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum dalam tingkatan negara.

(6) Kedudukan yang dimaksud dapat diartikan sebagai kedudukan Pangeran Paku Alam pada masa itu yaitu sebagai kepala negara dan pemerintahan. Lebih jauh kedudukan ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan kepada pangeran-pangeran yang menggantikannya.

(7) Pengakuan dan penetapan Pangeran Paku Alam tetap memegang jabatan, kekuasaan dan kewenangannya seperti sediakala tentunya tidak gratis melainkan dengan suatu syarat yang akan disebutkan.

(8) Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Pangeran Paku Alam sebagai kompensasi atas pengakuan yang diberikan oleh Presiden Indonesia.

(9) Daerah Paku Alaman bukan Negara Paku Alaman, penyebutan ini merupakan salah satu syarat yang "terberat" yang diberikan oleh Presiden Indonesia. Lebih jauh dapat diartikan sebagai isyarat penurunan status Paku Alaman dari "dependency state" menjadi "department/territory".

(10) Ini adalah konsekuensi yang harus diberikan oleh Negara Indonesia bagi negara bawahan yang ikut bergabung. Berdasar pasal 1 ayat 1 UUD yang baru disahkan sehari sebelumnya Indonesia adalah negara kesatuan dimana di dalamnya tidak ada negara bawahan (dependency state) namun hanya daerah (department/territory). Di kemudian hari penurunan status negara menjadi daerah membawa sebuah permasalahan yang rumut, sulit, dan berlarut-larut.

(11) Tanggal 19 Agustus 1945 merupakan tanggal dikeluarkannya pernyataan presiden.

(12) Presiden Indonesia adalah jabatan yang membuat komitmen/pernyataan. Saat itu kekuasaan Presiden Indonesia adalah absolut. Berdasarkan Pasal IV aturan peralihan Presiden juga memegang kekuasaan DPR dan MPR. Dengan demikian dapat diartikan lebih jauh bahwa pernyataan (piagam) ini dapat dipandang berkedudukan sebagai  Peraturan Pemerintah (kekuasaan Presiden) atau Undang-Undang (kekuasaan DPR) bahkan sebagai Amandemen pasal 18 UUD yang baru saja disahkan (kekuasaan MPR).

Komentar atas Dekrit Kedudukan Penguasa Yogyakarta

Teks(#): 
Piagam(1) Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX(2)

Kami, Presiden Republik Indonesia,(3) menetapkan:(4)

Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat(5), pada kedudukannya(6),

Dengan kepercayaan bahwa(7) Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta(8)(9) sebagai bagian daripada Republik Indonesia (10).


Jakarta, 19 Agustus 1945(11)

Presiden Republik Indonesia(12)

Ir. Sukarno

=================================================================
Komentar:

(#) Teks yang digunakan adalah teks asli dengan penyesuaian EYD.

(1) Piagam disini dapat diartikan suatu pernyataan resmi maupun perjanjian. Lebih jauh, piagam pada jaman dulu memiliki kekuatan yang hukum mengikat bagi pihak yang memberi dan pihak yang diberi.

(2) Kedudukan disini dapat diartikan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Sultan Yogyakarta pada saat itu (Sultan HB IX). Lebih jauh dapat diartikan pula dengan jabatan, kekuasaan, maupun kewenangan yang dimiliki oleh Sultan Yogyakarta secara umum (tidak terikat pada Sultan yang diberi piagam, namun juga sultan-sultan yang menggantikannya).

(3) Rumusan anak kalimat ini menunjukkan pemberi piagam dan jabatan yang disandangnya.

(4) Kata ini menjadi tanda suatu diktum yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

(5) Ingkang Sinuwun ... Hadingrat, merupakan nama gelar Sultan Yogyakarta. Nama gelar ini disebutkan secara utuh. Lebih jauh dapat diartikan sebagai pengakuan dan penghormatan kepada Sultan Yogyakarta yang menjadi penguasa (kepala negara dan pemerintahan) Negara Yogyakarta. Hal ini menunjukkan pula pengakuan dari Presiden Indonesia terhadap eksistensi Yogyakarta sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum dalam tingkatan negara.

(6) Kedudukan yang dimaksud dapat diartikan sebagai kedudukan Sultan Yogyakarta pada masa itu yaitu sebagai kepala negara dan pemerintahan. Lebih jauh kedudukan ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan kepada sultan-sultan yang menggantikannya.

(7) Pengakuan dan penetapan Sultan Yogyakarta tetap memegang jabatan, kekuasaan dan kewenangannya seperti sediakala tentunya tidak gratis melainkan dengan suatu syarat yang akan disebutkan.

(8) Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Sultan Yogyakarta sebagai kompensasi atas pengakuan yang diberikan oleh Presiden Indonesia.

(9) Daerah Yogyakarta bukan Negara Yogyakarta, penyebutan ini merupakan salah satu syarat yang "terberat" yang diberikan oleh Presiden Indonesia. Lebih jauh dapat diartikan sebagai isyarat penurunan status Yogyakarta dari "dependency state" menjadi "department/territory".

(10) Ini adalah konsekuensi yang harus diberikan oleh Negara Indonesia bagi negara bawahan yang ikut bergabung. Berdasar pasal 1 ayat 1 UUD yang baru disahkan sehari sebelumnya Indonesia adalah negara kesatuan dimana di dalamnya tidak ada negara bawahan (dependency state) namun hanya daerah (department/territory). Di kemudian hari penurunan status negara menjadi daerah membawa sebuah permasalahan yang rumut, sulit, dan berlarut-larut.

(11) Tanggal 19 Agustus 1945 merupakan tanggal dikeluarkannya pernyataan presiden.

(12) Presiden Indonesia adalah jabatan yang membuat komitmen/pernyataan. Saat itu kekuasaan Presiden Indonesia adalah absolut. Berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan Presiden juga memegang kekuasaan DPR dan MPR. Dengan demikian dapat diartikan lebih jauh bahwa pernyataan (piagam) ini dapat dipandang berkedudukan sebagai  Peraturan Pemerintah (kekuasaan Presiden) atau Undang-Undang (kekuasaan DPR) bahkan sebagai Amandemen pasal 18 UUD yang baru saja disahkan (kekuasaan MPR).

Minggu, 29 Agustus 2010

Dekrit Integrasi Paku Alaman Yogya

DEKRIT KERAJAAN

YANG MULIA PANGERAN PAKU ALAM(1)

Saya, Paku Alam VIII, Penguasa Negara Kepangeranan Paku Alaman Yogyakarta, menyatakan:

  1. Negara Kepangeranan Paku Alaman, yang berbentuk kerajaan, menjadi daerah berotonomi khusus dari Negara Republik Indonesia.
  2. Saya sebagai kepala daerah otonom khusus, memegang kekuasaan tertinggi di Negara Kepangeranan Paku Alaman, dan sehubungan dengan kondisi saat ini, maka seluruh kekuasaan pemerintahan yang ada di Negara Kepangeranan Paku Alaman berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab saya, dan seluruh kekuasaan lain yang sebelumnya tidak berada di kekuasaan dan tanggung jawab saya, beralih kepada saya.
  3. Hubungan antara Negara Kepangeranan Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan tidak melalui Wakil Pemerintah Pusat, dan saya bertanggung jawab atas Negara saya, langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Saya memerintahkan agar seluruh warga negara Negara Kepangeranan Paku Alaman mematuhi dan melaksanakan Dekrit Kerajaan ini

Paku Alaman
28 Puasa Ehe 1876 menurut kalender Jawa atau 
5 September 1945 menurut kalender Internasional



PAKU ALAM VIII

==============================================================

(1)

Teks asli

AMANAT
SRI PADUKA KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM



Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan:
  1. Bahwa Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.

Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945



PAKU ALAM VIII

Dekrit Integrasi Yogyakarta

DEKRIT KERAJAAN

YANG MULIA SULTAN YOGYAKARTA(1)

Saya, Hamengku Buwono IX, Sultan Negara Yogyakarta Adiningrat, menyatakan:

  1. Negara Yogyakarta Adiningrat, yang berbentuk kerajaan, menjadi daerah berotonomi khusus dari Negara Republik Indonesia.
  2. Saya sebagai Kepala Daerah Otonomi Khusus, memegang kekuasaan tertinggi di Negara Yogyakarta Adiningrat, dan sehubungan dengan kondisi saat ini, maka seluruh kekuasaan pemerintahan yang ada di Negara Yogyakarta Adiningrat berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab saya, serta seluruh kekuasaan lain yang sebelumnya tidak berada di kekuasaan dan tanggung jawab saya, beralih kepada saya.
  3. Hubungan antara Negara Yogyakarta Adiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan tidak melalui Wakil Pemerintah Pusat, dan saya bertanggung jawab atas Negara saya, langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Saya memerintahkan agar seluruh warga negara Negara Yogyakarta Adiningrat mematuhi dan melaksanakan Dekrit Kerajaan ini

Yogyakarta Adiningrat
28 Puasa Ehe 1876 menurut kalender Jawa atau 
5 September 1945 menurut kalender Internasional



HAMENGKU BUWONO IX

================================================

(1) 

Teks Asli


AMANAT
SRI PADUKA INGKANG SINUWUN KANGJENG SULTAN



Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan:
  1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngayogyakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945



HAMENGKU BUWONO IX

Dekrit Kedudukan Penguasa Paku Alaman Yogya

Dekrit Penetapan Kedudukan Penguasa Paku Alaman Yogyakarta(1)(2)

Saya, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

Yang Mulia Pangeran Paku Alam VIII tetap pada kedudukannya sebagai penguasa Paku Alaman Yogyakarta.

Saya percaya Yang Mulia Sultan akan memberikan seluruh pemikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk mempertahankan Paku Alaman Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.


Jakarta 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia

Sukarno

===========================================
(1)



Teks asli

Piagam Kedudukan Sri Paduka Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII
Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kaping VIII, pada kedudukannya,

Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Paku Alaman sebagai bagian daripada Republik Indonesia.


Jakarta, 19 Agustus 1945

Presiden Republik Indonesia

Ir. Sukarno

(2)

  1. Suatu konvensi bahwa Pangeran Paku Alam VIII menjadi (Wakil) Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan syarat dan masa jabatan Kepala Daerah.
  2. Rujukan bahwa status Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dijabat secara otomatis oleh Pangeran Paku Alaman Yogyakarta yang sedang bertahta dengan mekanisme pengangkatan secara langsung oleh Presiden Indonesia.

Dekrit Kedudukan Penguasa Yogyakarta

Dekrit Penetapan Kedudukan Penguasa Yogyakarta(1)(2)

Saya, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

Yang Mulia Sultan Hamengku Buwono IX tetap pada kedudukannya sebagai penguasa Yogyakarta.

Saya percaya Yang Mulia Sultan akan memberikan seluruh pemikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk mempertahankan Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.


Jakarta 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia

Sukarno


=============================================
(1)
Teks asli
Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX
Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya,

Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.

Jakarta, 19 Agustus 1945

Presiden Republik Indonesia

Ir. Sukarno

(2) 
Dekrit ini (yang sering disebut Piagam Penetapan) dijadikan:

  1. Suatu konvensi bahwa Sultan Hamengku Buwono (IX) menjadi Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan syarat dan masa jabatan Kepala Daerah.
  2. Rujukan bahwa status Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dijabat secara otomatis oleh Sultan Yogyakarta yang sedang bertahta dengan mekanisme pengangkatan secara langsung oleh Presiden Indonesia (tidak melalui pemilihan baik secara langsung maupun oleh DPRD).