Pencarian

Senin, 28 November 2016

Yogyakarta di Persimpangan Jalan


#3 Pelajaran berharga dari Magna Carta dan John of England

Johannes Dei gratia rex Anglie …

Itulah frasa pembuka Magna Carta Libertatum (bahasa latin abad pertengahan dari “Piagam Agung tentang Kebebasan), yang secara umum dikenal dengan Magna Carta (Piagam Agung).  Magna Carta merupakan sebuah piagam yang ditandatangani (distempel) oleh raja John dari Inggris 15 Juni 1215.Piagam yang ditulis dalam bahasa Latin dan memiliki beberapa versi ini menjadi salah satu piagam yang diingat oleh sejarah dunia

Naskah pertama Magna Carta dibuat oleh Uskup Agung Canterbury untuk membuat perdamaian antara raja yang tidak populer dengan kelompok bupati pembangkang. Piagam tersebut menjanjikan perlindungan hak-hak gereja, pelindungan untuk para bupati dari pemenjaraan illegal, akses cepat untuk memperoleh keadilan dan pembatasan pajak tanah yang dibayarkan kepada istana. Piagam itu dilaksanakan melalui sebuah dewan yang terdiri dari 25 bupati. Oleh karena tak satupun pihak yang berselisih bertahan dalam kesepakatan/komitmennya dan  juga pembatalan piagam oleh Paus Innocent III, menyebabkan pecahnya perang Baron I.

Setelah mangkatnya raja John, pemerintahan wali anaknya yang masih muda, Henry III, memperbarui piagam itu pada 1216, dengan mencoret beberapa isinya. Pada akhir perang di 1217, piagam tersebut diambil sebagai bagian dari persetujuan perdamaian di Lambeth, dimana naskah tersebut dinamai Magna Carta untuk membedakan dengan Charter of The Forest yang dikeluarkan pada tahun yang sama. Karena kesulitan, Henry III, memperbarui lagi piagam  di tahun 1225 untuk meningkatkan perolehan pajak baru. Putranya Edward I mengulangi tindakannya di tahun 1297, pada saat menyetujuinya sebagai bagian dari undang-undang kerajaan Inggris.

Magna Carta menjadi bagian dari kehidupan politik Inggris dan selalu diperbarui setiap pergantian tahta. Antara abad 13 dan 15, piagam itu dipersetujukan ulang sekitar 32-45 kali (?). Biasanya piagam itu menjadi bahan pertama yang dibahas dalam permusyawaratan di parlemen. Pada 1423 piagam itu kembali disetujui oleh raja Henry VI. Selama abad 16-18 magna carta memiliki arti penting bagi kehidupan dalam ketatanegaraan Inggris. Piagam ini menjadi “lawan” dari doktrin hak yang diberikan Tuhan kepada seorang raja (divine rights of king). Selain itu piagam ini juga digunakan pada aksi 13 koloni di Amerika “bertempur” melawan Britania untuk mendirikan negara baru.

Sampai dengan abad 19 dan abad 21,  banyak klausul piagam yang tidak dipakai lagi, baik karena tidak dicantumkan dalam edisi setelah 1215 maupun dicabut dengan berbagai undang-undang yang dibuat. Setidaknya saat ini ada 3 klausul, dari semula 63 klausul pada 1215, yang masih memiliki kekuatan hukum mengikat untuk Inggris dan Wales. Ketiga klausul itu adalah kebebasan gereja Inggris, “otonomi” kota London, dan hak untuk dikenai prosedur hukum/peradilan yang legal.

Dari paparan di atas, dengan menandatangai Magna Carta berakibat Raja John dari Inggris, begitu pula dengan para pewaris tahtanya, harus tunduk pada aturan-aturan yang telah dibuat. Beliau tidak bisa lagi dengan seenaknya untuk bertindak atas nama jabatannya sebagai Raja Inggris. Ini menyebabkan kekuasaan beliau dan para pewarisnya tidak lagi mutlak, seperti tangan yang terbelenggu (terikat). Lalu, apa pelajarannya?

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Nagari Kasultanan Ngayogyakarta tak jauh beda dengan hubungan raja  John dan Magna Carta. Sejak kelahirannya, kesultanan Yogyakarta sudah terbelenggu dengan perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh Susuhunan Paku Buwono Kabanaran, yang berdasar perjanjian itu, kemudian menggunakan nama dan gelar baru Sultan Hamengku Buwono. Bahkan sebelum itu, Mataram juga telah mengikatkan diri berada di bawah kekuasaan Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC) pada tahun 1749, sesaat sebelum kemangkatan pembuatan piagam penyerahan kedaulatannya, Susuhunan Paku Buwono II dari Surakarta.

Kesultanan Yogyakarta terikat oleh aturan aturan yang ditetapkan oleh negara induknya. Sepanjang sejarah berdirinya sejak 1755, kesultanan Yogyakarta merupakan suatu vassal dari VOC (1755-1799), Republik Bataaf Hindia-Perancis (1800-1811), Kerjaan Inggris (1811-1816), Kerajaan Hindia Belanda (1816-1942), Kekaisaran Jepang (1942-1945), dan Republik Indonesia (1945-1950). Sultan-sultan sebagai penguasa vassal tunduk dengan aturan yang ada, baik yang dibuat melalui kontrak politik yang dibuatnya sendiri atau  perjanjian yang dulu pernah dibuat.

Sebagai contoh, salah satu klausul dalam perjanjian Giyanti menyebutkan “Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749”. Begitu pula, dalam kontrak politik terakhir Kesultanan Yogyakarta dengan Pemerintah Hindia Belanda yang ditandatangani pada 18 Maret 1940 (stb 1941 no 47), disebutkan bahwa “Perjanjian-perjanjian yang diadakan antara para pendahulu Sultan dan Pemerintah Hindia Belanda, ketentuan-ketentuan yang diambil dengan mereka serta keterangan-keterangan yang mereka nyatakan terhadap Pemerintah Hindia Belanda, sejauh sampai wafatnya Sultan yang sebelumnya masih berlaku, akan tetap berlaku dan mengikat bagi Kesultanan, sejauh tidak menyimpang dari itu karena atau berdasarkan Perjanjian ini.”

Seklai lagi, kedua ilustrasi perjanjian, yang dibuat baik pada tahun 1755 maupun 1940, dapat dimaknai dengan seorang raja tunduk pada aturan-aturan yang telah ada sebelumnya dan mash hidup. Walaupun setiap sultan yang bertahta selalu memperbarui kontrak politik yang ada, namun perubahan-perubahan yang dilakukan hanya sejauh ranting-rantingnya saja, tidak keseluruhan atau yang menyangkut hal-hal pokok. Terakhir, bagian ini akan kami tutup dengan frasa terakhir pada Magna Carta, sebagai pengingat bahwa perjanjian itu bersifat mengikat.

…., quinto decimo die Junii, anno regni nostri decimo septimo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar