#3 Pelajaran berharga dari Magna Carta dan John of England
“Johannes Dei gratia rex Anglie …”
Itulah frasa pembuka Magna Carta Libertatum (bahasa latin abad pertengahan
dari “Piagam Agung tentang Kebebasan), yang secara umum dikenal dengan Magna Carta
(Piagam Agung). Magna Carta merupakan
sebuah piagam yang ditandatangani (distempel) oleh raja John dari Inggris 15 Juni 1215.Piagam yang
ditulis dalam bahasa Latin dan memiliki beberapa versi ini menjadi salah satu
piagam yang diingat oleh sejarah dunia
Naskah pertama Magna
Carta dibuat oleh Uskup Agung Canterbury untuk membuat perdamaian antara raja
yang tidak populer dengan kelompok bupati pembangkang. Piagam tersebut
menjanjikan perlindungan hak-hak gereja, pelindungan untuk para bupati dari
pemenjaraan illegal, akses cepat untuk memperoleh keadilan dan pembatasan pajak
tanah yang dibayarkan kepada istana. Piagam itu dilaksanakan melalui sebuah
dewan yang terdiri dari 25 bupati. Oleh karena tak satupun pihak yang
berselisih bertahan dalam kesepakatan/komitmennya dan juga pembatalan piagam oleh Paus Innocent
III, menyebabkan pecahnya perang Baron I.
Setelah mangkatnya
raja John, pemerintahan wali anaknya yang masih muda, Henry III, memperbarui
piagam itu pada 1216, dengan mencoret beberapa isinya. Pada akhir perang di
1217, piagam tersebut diambil sebagai bagian dari persetujuan perdamaian di
Lambeth, dimana naskah tersebut dinamai Magna Carta untuk membedakan dengan Charter
of The Forest yang dikeluarkan pada tahun yang sama. Karena kesulitan, Henry
III, memperbarui lagi piagam di tahun
1225 untuk meningkatkan perolehan pajak baru. Putranya Edward I mengulangi
tindakannya di tahun 1297, pada saat menyetujuinya sebagai bagian dari
undang-undang kerajaan Inggris.
Magna Carta menjadi
bagian dari kehidupan politik Inggris dan selalu diperbarui setiap pergantian
tahta. Antara abad 13 dan 15, piagam itu dipersetujukan ulang sekitar 32-45
kali (?). Biasanya piagam itu menjadi bahan pertama yang dibahas dalam
permusyawaratan di parlemen. Pada 1423 piagam itu kembali disetujui oleh raja
Henry VI. Selama abad 16-18 magna carta memiliki arti penting bagi kehidupan
dalam ketatanegaraan Inggris. Piagam ini menjadi “lawan” dari doktrin hak yang
diberikan Tuhan kepada seorang raja (divine rights of king). Selain itu piagam
ini juga digunakan pada aksi 13 koloni di Amerika “bertempur” melawan Britania
untuk mendirikan negara baru.
Sampai dengan abad
19 dan abad 21, banyak klausul piagam yang
tidak dipakai lagi, baik karena tidak dicantumkan dalam edisi setelah 1215
maupun dicabut dengan berbagai undang-undang yang dibuat. Setidaknya saat ini
ada 3 klausul, dari semula 63 klausul pada 1215, yang masih memiliki kekuatan
hukum mengikat untuk Inggris dan Wales. Ketiga klausul itu adalah kebebasan
gereja Inggris, “otonomi” kota London, dan hak untuk dikenai prosedur
hukum/peradilan yang legal.
Dari paparan di atas, dengan menandatangai Magna Carta
berakibat Raja John dari Inggris, begitu pula dengan para pewaris tahtanya,
harus tunduk pada aturan-aturan yang telah dibuat. Beliau tidak bisa lagi
dengan seenaknya untuk bertindak atas nama jabatannya sebagai Raja Inggris. Ini
menyebabkan kekuasaan beliau dan para pewarisnya tidak lagi mutlak, seperti
tangan yang terbelenggu (terikat). Lalu, apa pelajarannya?
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Nagari
Kasultanan Ngayogyakarta tak jauh beda dengan hubungan raja John dan Magna Carta. Sejak kelahirannya,
kesultanan Yogyakarta sudah terbelenggu dengan perjanjian Giyanti yang
ditandatangani oleh Susuhunan Paku Buwono Kabanaran, yang berdasar perjanjian itu, kemudian menggunakan nama dan gelar baru Sultan Hamengku Buwono. Bahkan sebelum
itu, Mataram juga telah mengikatkan diri berada di bawah kekuasaan Perserikatan
Dagang Hindia Timur (VOC) pada tahun 1749, sesaat sebelum kemangkatan pembuatan
piagam penyerahan kedaulatannya, Susuhunan Paku Buwono II dari Surakarta.
Kesultanan Yogyakarta terikat oleh aturan aturan yang
ditetapkan oleh negara induknya. Sepanjang sejarah berdirinya sejak 1755,
kesultanan Yogyakarta merupakan suatu vassal dari VOC (1755-1799), Republik
Bataaf Hindia-Perancis (1800-1811), Kerjaan Inggris (1811-1816), Kerajaan
Hindia Belanda (1816-1942), Kekaisaran Jepang (1942-1945), dan Republik
Indonesia (1945-1950). Sultan-sultan sebagai penguasa vassal tunduk dengan
aturan yang ada, baik yang dibuat melalui kontrak politik yang dibuatnya
sendiri atau perjanjian yang dulu pernah
dibuat.
Sebagai contoh, salah satu klausul dalam perjanjian
Giyanti menyebutkan “Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang
pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya
perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749”. Begitu pula, dalam kontrak
politik terakhir Kesultanan Yogyakarta dengan Pemerintah Hindia Belanda yang
ditandatangani pada 18 Maret 1940 (stb 1941 no 47), disebutkan bahwa “Perjanjian-perjanjian yang
diadakan antara para pendahulu Sultan dan Pemerintah Hindia Belanda,
ketentuan-ketentuan yang diambil dengan mereka serta keterangan-keterangan yang
mereka nyatakan terhadap Pemerintah Hindia Belanda, sejauh sampai wafatnya
Sultan yang sebelumnya masih berlaku, akan tetap berlaku dan mengikat bagi
Kesultanan, sejauh tidak menyimpang dari itu karena atau berdasarkan Perjanjian
ini.”
Seklai lagi, kedua ilustrasi perjanjian, yang dibuat
baik pada tahun 1755 maupun 1940, dapat dimaknai dengan seorang raja tunduk
pada aturan-aturan yang telah ada sebelumnya dan mash hidup. Walaupun setiap
sultan yang bertahta selalu memperbarui kontrak politik yang ada, namun
perubahan-perubahan yang dilakukan hanya sejauh ranting-rantingnya saja, tidak
keseluruhan atau yang menyangkut hal-hal pokok. Terakhir, bagian ini akan kami
tutup dengan frasa terakhir pada Magna Carta, sebagai pengingat bahwa
perjanjian itu bersifat mengikat.
“…., quinto decimo die Junii, anno regni nostri decimo
septimo”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar