Uji
materi dengan nomor 88/PUU-XIV/2016 di Mahkamah Konstitusi sebenarnya hanya
menyangkut satu kata saja yaitu kata “istri” pada persyaratan untuk mejadi
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Materi itu terdapat dalam pasal 18 ayat (1)
huruf m UU KDIY. Kita tidak akan langsung membahas hal itu, namun akan meyoroti
terlebih dahulu siapa itu Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, sehingga bisa muncul
persyaratan yang tidak lazim yang sekarang dimohon uji materinya di Mahkamah. Sebelum
berlanjut, ada baiknya pengguna blog mempersiapkan naskah UU KDIY (UU No 13
Tahun 2012).
Untuk
mengetahui siapa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY kita berpikir mundur untuk
mengetahui siapa yang dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY. Kita bisa melihat pada pasal 18 ayat (1) UU KDIY mengenai persyaratan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY. Dalam pasal 18 ayat (1) terdapat persyaratan yang tercantum dalam
huruf a sampai dengan huruf n. Hampir semua warga negara Indonesia bisa
memenuhinya kecuali dalam hal persyaratan huruf c. Dalam huruf c tertulis: “bertakhta
sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai
Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”. Inilah syarat yang tidak lazim
yang pernah digugat di Mahkamah pada medio 2016 yang lalu.
Untuk
mengetahui siapa itu Sultan dan Adipati, siapa Gubernur dan Wakil Gubernur,
siapa yang mengajukan pencalonan, apa syarat-syaratnya, ada baiknya kita
“membedah” UU KDIY sesuai dengan tema-tema yang berkaitan secara langsung
maupun tak langsung dengan permohonan uji materi di Mahkamah.
Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2012 mengenai Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
boleh dipandang suatu lex specialis dari UU yang mengatur mengenai pemerintahan
daerah di Indonesia. Oleh karena itu di dalamnya pun sangat-sangat bersifat
khusus. Salah satunya, berbeda dengan UU yang mengatur mengenai pemerintahan
daerah dan juga desa, tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Ini
mungkin dimaksudkan oleh pembuat UU untuk mengurangi atau meniadakan
perselisihan yang akan timbul dikemudian hari, mengingat, materi yang diatur
dalam UU KDIY bersentuhan dengan ranah kerajaan nusantara. Seperti kita maklum
bersama, beberapa kerajaan nusantara memiliki raja yang kembar, memiliki
lembaga adat yang kembar, bahkan tidak jarang terjadi benturan fisik.
Berikut
ini contoh hal-hal yang perlu dicantumkan dimana frasa “atau yang disebut
dengan nama lain” telah “dihilangkan” oleh pembuat UU.
- Pasal 1 angka 4:“Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono”
- Pasal 1 angka 5:“Kadipaten Pakualaman, selanjutnya disebut Kadipaten, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam, selanjutnya disebut Adipati Paku Alam”
- Pasal 19 ayat (3) huruf a:“surat pencalonan untuk calon Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat”
- Pasal 19 ayat (3) huruf b:“surat pencalonan untuk calon Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman”
Dari
Pasal 1 angka 4 di atas, jelas disebut nama resmi kesultanan Yogyakarta dengan
“Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat”. Pada bagian tersebut jelas dan tegas
tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya akan
ada kesultanan-kesultanan lain “pecahan” dari Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat yang mengatasnamakan sebagai kesultanan yang dimaksud dalam UU
KDIY.
Selain
itu siapa pemimpinnya juga jelas disebut “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman
Sayidin Panatagama Kalifatullah”. Pada bagian tersebut jelas dan tegas tidak
ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya akan ada
sultan atau prabu atau ratu atau raja lainnya yang mengatasnamakan sebagai
pemimpin kesultanan yang dimaksud dalam UU KDIY.
Demikian
pula dari pasal 1 angka 5 di atas, jelas disebut nama resmi kepangeranan Paku
Alaman Yogyakarta dengan “Kadipaten Pakualaman”. Pada bagian tersebut jelas dan
tegas tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya
akan ada kadipaten-kadipaten lain “pecahan” dari kepangeranan yang
mengatasnamakan sebagai sebuah kepangeranan yang dimaksud dalam UU KDIY.
Hal
yang sama juga menyangkut siapa pemimpinnya, yang dengan jelas disebut “Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam”. Pada bagian tersebut jelas dan tegas
tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya akan
ada pangeran atau adipati atau gelar kebangsawanan lainnya yang mengatasnamakan
sebagai pemimpin kepangeranan yang dimaksud dalam UU KDIY.
Senada
dengan hal-hal di atas, nama lembaga internal kesultanan maupun lembaga
internal kepangeranan yang berwenang untuk mengajukan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur juga ditunjuk dengan jelas pada pasal 19 ayat (3) huruf a dan huruf b. Nama lembaga tersebut adalah “Kawedanan
Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat” untuk kesultanan dan “Kawedanan
Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman” untuk kepangeranan. Begitu pula dengan
pejabat yang menandatangani, keduanya disebut dengan “Penghageng”. Lagi-lagi
tidak memakai frasa “atau yang disebut dengan nama lain” di belakang nama
lembaga maupun titelatur pejabatnya. Jika ada tentunya akan ada kawedanan atau
lembaga adat yang lain dan juga akan ada penghageng atau tetua adat yang lain.
Selanjutnya
kita akan membandingkan dengan UU Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014). Mohon kiranya
pengguna dapat mempersiapkan UU tersebut untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan.
Kita
mulai dengan pasal 1 angka 1 UU dimaksud.
“Desa
adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Berikutnya
adalah pasal 1 angka 3
“Pemerintah
Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Desa.”
Selanjutnya
pasal 1 angka 4
“Badan
Permusyawaratan Desa atau yang disebut
dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.”
Disusul
dengan pasal 1 angka 5
“Musyawarah
Desa atau yang disebut dengan nama lain
adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk
menyepakati hal yang bersifat strategis.”
Kemudian
pasal 8 ayat (4)
“Dalam
wilayah Desa dibentuk dusun atau yang
disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat,
dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.”
Lalu
pasal 25
“Pemerintah
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan
yang dibantu oleh perangkat Desa atau
yang disebut dengan nama lain.”
Hal
yang tidak jauh berbeda dapat kita lihat pada UU Pemerintahan Daerah (UU Nomor
23 Tahun 2014). Mohon kiranya pengguna dapat mempersiapkan UU tersebut untuk
memperoleh gambaran secara keseluruhan.
Misalnya
pada pasal 1 angka 24
“Kecamatan
atau yang disebut dengan nama lain
adalah bagian wilayah dari Daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh camat.”
Pasal
1 angka 25
Peraturan
Daerah yang selanjutnya disebut Perda
atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda
Kabupaten/Kota.
Pasal
1 angka 43
Desa
adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan
adanya frasa tersebut ada kemungkinan nomenklatur maupun titelatur yang berbeda
yang merujuk pada nama maupun jabatan yang sama di dalam UU Desa maupun UU
Pemerintahan Daerah. Mohon kiranya pengguna dapat mempersiapkan UU mengenai UU
Otsus Papua dan UU Pemerintahan Aceh untuk memperoleh gambaran secara
keseluruhan. Pengguna dimohon untuk mempersiapkan naskah UU dimaksud.
Sebagai
contoh
- Perda, yang termasuk dalam nomenklatur ini adalah Perdasus dan Perdasi di Provinsi Papua dan Papua Barat, Qanun Aceh di Aceh, Qanun kabupaten/kota di kabupaten/kota di lingkungan pemerintahan Aceh, dan Perdais di Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Kecamatan, yang termasuk dalam nomenklatur ini adalah Distrik di Provinsi Papua dan Papua Barat
- Desa/Desa Adat, yang termasuk dalam nomenklatur ini adalah Gampong di Aceh dan Kampung di Provinsi Papua dan Papua Barat. Bisa ditambahkan pula huta/nagori di Sumatera Utara, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku
Dengan
beberapa perbandingan di atas, sepertinya UU KDIY benar-benar mengunci beberapa
istilah yang dipakai dan tidak memberikan kesempatan untuk menggunakan istilah
lainnya. Lebih jauh, jika ada istilah lain, tentunya akan merujuk hal yang lain
selain yang dimaksud oleh UU KDIY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar