Pencarian

Senin, 28 November 2016

Yogyakarta di Persimpangan Jalan

#2 Atau Yang Disebut Dengan Nama Lain




Uji materi dengan nomor 88/PUU-XIV/2016 di Mahkamah Konstitusi sebenarnya hanya menyangkut satu kata saja yaitu kata “istri” pada persyaratan untuk mejadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Materi itu terdapat dalam pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY. Kita tidak akan langsung membahas hal itu, namun akan meyoroti terlebih dahulu siapa itu Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, sehingga bisa muncul persyaratan yang tidak lazim yang sekarang dimohon uji materinya di Mahkamah. Sebelum berlanjut, ada baiknya pengguna blog mempersiapkan naskah UU KDIY (UU No 13 Tahun 2012).



Untuk mengetahui siapa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY kita berpikir mundur untuk mengetahui siapa yang dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Kita bisa melihat pada pasal 18 ayat (1) UU KDIY  mengenai persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Dalam pasal 18 ayat (1) terdapat persyaratan yang tercantum dalam huruf a sampai dengan huruf n. Hampir semua warga negara Indonesia bisa memenuhinya kecuali dalam hal persyaratan huruf c. Dalam huruf c tertulis: “bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”. Inilah syarat yang tidak lazim yang pernah digugat di Mahkamah pada medio 2016 yang lalu.



Untuk mengetahui siapa itu Sultan dan Adipati, siapa Gubernur dan Wakil Gubernur, siapa yang mengajukan pencalonan, apa syarat-syaratnya, ada baiknya kita “membedah” UU KDIY sesuai dengan tema-tema yang berkaitan secara langsung maupun tak langsung dengan permohonan uji materi di Mahkamah.



Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 mengenai Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta boleh dipandang suatu lex specialis dari UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah di Indonesia. Oleh karena itu di dalamnya pun sangat-sangat bersifat khusus. Salah satunya, berbeda dengan UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah dan juga desa, tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Ini mungkin dimaksudkan oleh pembuat UU untuk mengurangi atau meniadakan perselisihan yang akan timbul dikemudian hari, mengingat, materi yang diatur dalam UU KDIY bersentuhan dengan ranah kerajaan nusantara. Seperti kita maklum bersama, beberapa kerajaan nusantara memiliki raja yang kembar, memiliki lembaga adat yang kembar, bahkan tidak jarang terjadi benturan fisik.



Berikut ini contoh hal-hal yang perlu dicantumkan dimana frasa “atau yang disebut dengan nama lain” telah “dihilangkan” oleh pembuat UU.


  1. Pasal 1 angka 4:“Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono
  2. Pasal 1 angka 5:“Kadipaten Pakualaman, selanjutnya disebut Kadipaten, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam, selanjutnya disebut Adipati Paku Alam
  3. Pasal 19 ayat (3) huruf a:“surat pencalonan untuk calon Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
  4. Pasal 19 ayat (3) huruf b:“surat pencalonan untuk calon Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman

Dari Pasal 1 angka 4 di atas, jelas disebut nama resmi kesultanan Yogyakarta dengan “Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat”. Pada bagian tersebut jelas dan tegas tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya akan ada kesultanan-kesultanan lain “pecahan” dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang mengatasnamakan sebagai kesultanan yang dimaksud dalam UU KDIY.



Selain itu siapa pemimpinnya juga jelas disebut “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah”. Pada bagian tersebut jelas dan tegas tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya akan ada sultan atau prabu atau ratu atau raja lainnya yang mengatasnamakan sebagai pemimpin kesultanan yang dimaksud dalam UU KDIY.



Demikian pula dari pasal 1 angka 5 di atas, jelas disebut nama resmi kepangeranan Paku Alaman Yogyakarta dengan “Kadipaten Pakualaman”. Pada bagian tersebut jelas dan tegas tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya akan ada kadipaten-kadipaten lain “pecahan” dari kepangeranan yang mengatasnamakan sebagai sebuah kepangeranan yang dimaksud dalam UU KDIY.



Hal yang sama juga menyangkut siapa pemimpinnya, yang dengan jelas disebut “Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam”. Pada bagian tersebut jelas dan tegas tidak ada frasa “atau yang disebut dengan nama lain”. Jika ada tentunya akan ada pangeran atau adipati atau gelar kebangsawanan lainnya yang mengatasnamakan sebagai pemimpin kepangeranan yang dimaksud dalam UU KDIY.



Senada dengan hal-hal di atas, nama lembaga internal kesultanan maupun lembaga internal kepangeranan yang berwenang untuk mengajukan calon Gubernur dan Wakil Gubernur juga ditunjuk dengan jelas pada pasal 19 ayat (3) huruf a dan huruf b. Nama lembaga tersebut adalah “Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat” untuk kesultanan dan “Kawedanan Hageng Kasentanan Kadipaten Pakualaman” untuk kepangeranan. Begitu pula dengan pejabat yang menandatangani, keduanya disebut dengan “Penghageng”. Lagi-lagi tidak memakai frasa “atau yang disebut dengan nama lain” di belakang nama lembaga maupun titelatur pejabatnya. Jika ada tentunya akan ada kawedanan atau lembaga adat yang lain dan juga akan ada penghageng atau tetua adat yang lain.



Selanjutnya kita akan membandingkan dengan UU Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014). Mohon kiranya pengguna dapat mempersiapkan UU tersebut untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan.



Kita mulai dengan pasal 1 angka 1 UU dimaksud.

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”



Berikutnya adalah pasal 1 angka 3

“Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.”



Selanjutnya pasal 1 angka 4

“Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.”



Disusul dengan pasal 1 angka 5

“Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.”



Kemudian pasal 8 ayat (4)

“Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.”



Lalu pasal 25

“Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain.”



 Hal yang tidak jauh berbeda dapat kita lihat pada UU Pemerintahan Daerah (UU Nomor 23 Tahun 2014). Mohon kiranya pengguna dapat mempersiapkan UU tersebut untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan.



Misalnya pada pasal 1 angka 24

“Kecamatan atau yang disebut dengan nama lain adalah bagian wilayah dari Daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh camat.”



Pasal 1 angka 25

Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.



Pasal 1 angka 43

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Dengan adanya frasa tersebut ada kemungkinan nomenklatur maupun titelatur yang berbeda yang merujuk pada nama maupun jabatan yang sama di dalam UU Desa maupun UU Pemerintahan Daerah. Mohon kiranya pengguna dapat mempersiapkan UU mengenai UU Otsus Papua dan UU Pemerintahan Aceh untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan. Pengguna dimohon untuk mempersiapkan naskah UU dimaksud.



Sebagai contoh

  1. Perda, yang termasuk dalam nomenklatur ini adalah Perdasus dan Perdasi di Provinsi Papua dan Papua Barat, Qanun Aceh di Aceh, Qanun kabupaten/kota di kabupaten/kota di lingkungan pemerintahan Aceh, dan Perdais di Daerah Istimewa Yogyakarta.
  2.  Kecamatan, yang termasuk dalam nomenklatur ini adalah Distrik di Provinsi Papua dan Papua Barat
  3. Desa/Desa Adat, yang termasuk dalam nomenklatur ini adalah Gampong di Aceh dan Kampung di Provinsi Papua dan Papua Barat. Bisa ditambahkan pula huta/nagori di Sumatera Utara, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku
Dengan beberapa perbandingan di atas, sepertinya UU KDIY benar-benar mengunci beberapa istilah yang dipakai dan tidak memberikan kesempatan untuk menggunakan istilah lainnya. Lebih jauh, jika ada istilah lain, tentunya akan merujuk hal yang lain selain yang dimaksud oleh UU KDIY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar