Pencarian

Minggu, 19 Juni 2011

Sayonara Yogyakarta!

Pengantar

Saat tulisan ini dibuat, nasib RUU Keistimewaan Yogyakarta semakin tidak jelas. Berbeda dengan daerah Aceh dan Papua yang lebih mendapat prioritas, Yogyakarta terkesan dibiarkan mengambang. Ibarat sebuah pepatah hidup segan mati tak mau. Dalam menentukan nasib keistimewaan pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Kementerian Dalam Negeri, memiliki peranan yang sangat besar. Bagaimana tidak? Presiden memiliki suatu kewenangan yang luar biasa dalam menetapkan suatu Undang-undang. Jika RUU Keistimewaan Yogyakarta kembali [dibuat] “dead-lock” maka Presiden dapat saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Pengaturan yang sepihak ini tentu mendapat legalitas sebab konstitusi mengaturnya. Apabila Perpu Keistimewaan Yogyakarta diterbitkan, sudah barang tentu publik mengetahui apa isinya. Keistimewaan yang selama ini dimiliki Yogyakarta dapat pula terhapus. Kejadian ini tidaklah mengherankan, sebab di tahun 1946 Pemerintah juga sudah menghapus Daerah Istimewa Surakarta dan pada 1959 Pemerintah menghapus Daerah Istimewa Kutai, Daerah Istimewa Bulongan, dan Daerah Istimewa Berau. Sebelum semua itu terjadi ada baiknya kita kembali membuka lembar sejarah memutar roda waktu ke belakang menelusuri riwayat singkat Keistimewaan Yogyakarta.

Menyusur Lorong Waktu: sayonara yogyakarta

Tahun 2011   
Pada saat tulisan ini dibuat, Nasib RUU Keistimewaan semakin kabur ditengah hiruk pikuk keadaan politik Indonesia. Janji DPR dan Pemerintah untuk segera menyelesaikan RUU sejak bulan Januari hanya tinggal janji belaka.

Tahun 2010   
Dipenghujung tahun, sebagian besar rakyat Yogyakarta bergerak melakukan aksi ekstra parlemen untuk mendukung Sultan dan Paku Alam. DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten-Kota di wilayah Yogyakarta menggelar bergantian menggelar sidang mengaminkan suara rakyat Yogyakarta. Aksi  parlemen lokal dan ekstra parlemen dipicu oleh statemen Presiden Yudhoyono mengenai monarki Yogyakarta. Statemen Presiden tersebut menimbulkan amarah sebagian warga Yogyakarta pada saat lahar Merapi, yang dimuntahkan pada Oktober-November 2010, belum menjadi dingin dan aroma duka masih menyelimuti Yogyakarta. Walau Presiden telah melakukan klarifikasi namun partai sang Presiden menjadi bulan-bulanan cemoohan warga. Aksi rakyat Yogyakarta pada penghujung 2010 ini dapat dicatat sebagai aksi yang terbesar dibandingkan aksi tahun 2008, 2003, dan 1998.

Tahun 2009   
Presiden Yudhoyono mendapat suara tertinggi dalam pemilihan presiden 2009. Rakyat Yogyakarta berharap lebih agar RUU Keistimewaan segera diselesaikan.

Tahun 2008   
Pemerintah Pusat memperpanjang masa jabatan kedua Gubernur dan Wakil Gubernur hingga tahun 2011 sambil menunggu diselesaikannya RUU Keistimewaan Yogyakarta. Perpanjangan ini dipilih oleh Presiden karena pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta mengalami dead lock. Sementara itu di Yogyakarta terjadi aksi ekstra parlemen yang lebih kecil dibandingkan dengan aksi di tahun 2003 dan 1998. Parlemen lokal juga terbelah dalam mengambil sikap mengenai RUU Keistimewaan khususnya mengenai mekanisme pengisian jabatan Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa.  Sebelumnya pada awal dan pertengahan tahun memberi order kepada JIP UGM untuk membuat RUU Keistimewaan Yogyakarta. RUU versi JIP-UGM/Pemerintah mendapat reaksi dari berbagai kalangan sehingga harus dibenahi.

Tahun 2005   
Pemerintah menerbitkan PP mengenai pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang juga berlaku bagi Yogyakarta. Akibat dari pemberlakuan PP ini Keistimewaan Yogyakarta yang berupa penetapan Kepala dan Wakil Daerah Istimewa dari keluarga kerajaan menjadi lebih terancam.

Tahun 2004   
Pemerintah menerbitkan UU Pemerintahan Daerah 2004. Pengaturan mengenai Yogyakarta semakin membingungkan. Dalam UU tersebut dikatakan Negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat istimewa. Dikatakan pula bahwa Keistimewaan Yogyakarta sama seperti UU terdahulu. Namun pada UU yang sama pula ditentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Yogyakarta harus tunduk pada penyelenggaraan pemerintahan menurut UU Pemerintahan Daerah 2004 yang berarti juga harus tunduk pada rezim Pemilu Kepala Daerah.

Tahun 2003   
Pemerintah kembali mengangkat Sultan Hamengku Buwono X dan Pangeran Paku Alam IX menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. Pengangkatan ini didahului dengan aksi ekstra parlemen yang lebih kecil dibandingkan dengan aksi di tahun 1998.

Tahun 2002   
Prof Affan Gafar dan tim-nya menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Dalam RUU ini Gubernur dan Wakil Gubernur dijabat oleh Sultan dan Paku Alam yang bertahta. Kekuasaan legislatif mutlak milik parlemen lokal. Gubernur hanya memiliki suatu hak veto.

Tahun 2001   
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyelesaikan RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Tahun 1999   
Pemerintah menerbitkan UU Pemerintahan Daerah 1999. Dalam UU ini Keistimewaan Yogyakarta dinyatakan tetap seperti UU Pemerintahan Daerah sebelumnya dengan ketentuan bahwa pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan UU Pemda 1999.

Tahun 1998   
Sultan Hamengku Buwono X diangkat menjadi Gubernur Yogyakarta menggantikan kedudukan Pejabat Gubernur Sri Paduka Pangeran Paku Alam VIII yang mangkat. Pengangkatan ini tidak mulus namun harus didahului dengan aksi ekstra parlemen yang dikenal dengan Sidang Rakyat Yogyakarta. Sebelumnya Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Pangeran Paku Alam VIII melakukan aksi mendukung gerakan reformasi pada 20 Mei 1998. Aksi ini nyaris saja menjadi akhir riwayat Yogyakarta jika saja pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto tidak mengundurkan diri.

Tahun 1988   
Sultan Hamengku Buwono IX mangkat. Pemerintah tidak menetapkan penerusnya menjadi Gubernur Yogyakarta namun lebih memilih mengangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa menjadi Pejabat Gubernur.

Tahun 1980-an   
Parlemen lokal mengeluarkan sebuah resolusi untuk tetap mempertahankan keistimewaan Yogyakarta.

Tahun 1978   
Sultan Hamengku Buwono IX mundur dari pencalonan Wakil Presiden Indonesia setelah selesai memangku jabatan Wakil Presiden Indonesia antara 1973-1978 dan lebih berkonsentrasi memimpin Yogyakarta.

Tahun 1974   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1974. Keistimewaan Yogyakarta diatur dalam aturan peralihan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjabat saat UU Pemerintahan Daerah 1974 disahkan adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU Pemerintahan Daerah 1974 dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.

Tahun 1973   
Sultan Hamengku Buwono IX diangkat oleh MPR menjadi Wakil Presiden Indonesia periode 1973-1978. Walau demikian Sultan Hamengku Buwono IX tetap menajbat sebagai Kepala Daerah Istimewa. Hanya saja tugas kesehariannya diserahkan kepada Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Tahun 1965   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1965. UU ini menurunkan status Yogyakarta dari Daerah Istimewa setingkat Provinsi menjadi Provinsi biasa. Keistimewaannya hanya menyangkut Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Jogyakarta yang menjabat saat UU Pemerintahan Daerah 1965 disahkan, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan. Dalam UU ini disebutkan bahwa ke depan Daerah Istimewa akan dihapus.

Tahun 1959   
Pemerintah mengeluarkan PP untuk menyesuaikan pelaksanaan UU Pemerintah Daerah tahun 1957 dengan UUD 1945 dan Demokrasi terpimpin.

Tahun 1957   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1957 sebagai pengganti UU Pemerintahan Daerah RI-Yogyakarta dan UU Pemerintahan Daerah NIT. Dalam UU ini ditentukan bahwa Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu.

Tahun 1950   
Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk berdasarkan UU Negara Bagian RI-Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1950. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan dibentuk dari gabungan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kepangeranan Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta berkedudukan sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Keistimewaan Yogyakarta diatur menurut UU Pemerintahan Daerah 1948.

Tahun 1948   
Pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Daerah 1948. Keistimewaan Daerah Istimewa berupa Kepala Daerah Istimewa yang diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Selain itu Daerah Istimewa yang merupakan gabungan kerajaan dapat diangkat wakil kepala daerah istimewa dengan persyaratan yang sama persis dengan persyaratan kepala daerah istimewa. Selain dari itu tidak ada lagi keistimewaannya.

Tahun 1947   
Kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta dihapus oleh Pemerintah Pusat.

Tahun 1946   
Sambil menunggu RUU mengenai pemerintahan Yogyakarta selesai, Sultan Hamengku Buwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII mengeluarkan peraturan daerah mengenai pemerintahan di Yogyakarta. Dalam peraturan ini Sultan dan Paku Alam tidak bertanggung jawab kepada parlemen lokal.

Tahun 1945   
Pada bulan oktober Sultan Hamengku Buwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII menyerahkan kekuasaan legislatif kepada badan pekerja KNI Yogyakarta. Pada September Sultan Hamengku Buwono IX dan Pangeran Paku Alam VIII menyatakan ketegasannya bergabung dengan Indonesia disertai sejumlah persyaratan. Pertengahan Agustus Presiden Indonesia meminang Yogyakarta untuk bergabung dengan Indonesia dan memberi jaminan berupa kedudukan Kepala Daerah.








SAYONARA YOGYAKARTA .......








Tidak ada komentar:

Posting Komentar