Pencarian

Minggu, 28 Agustus 2011

Van Het Gezag Van Den Sultan

 sebuah bagian dari seri merumuskan [kembali] keistimewaan.



Pembuka
Pembahasan Rancangan Undang-undang yang mengatur pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut RUUK) termasuk pembahasan yang memakan waktu paling lama. Tercatat dalam arsip RUUK pertama yang dipublikasikan bertarikh tahun 2011, yang dibuat oleh Pemprov DIY. Jika merujuk tahun tersebut, maka sudah sepuluh tahun pembahasan belum tuntas. Salah satu materi yang mengalami tarik ulur yang begitu panjang adalah mengenai mekanisme pengisian Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa. Kalau diperdalam dan dipersempit lagi maka sebenarnya yang menjadi pokok perdebatan adalah kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Pangeran Paku Alam.

Dari masa ke masa, baik sebelum ada RI maupun sesudah RI kedudukan kedua penguasa monarki tersebut mengalami pergeseran dan pasang surut. Karena keterbatasan sumber kesejarahan, maka artikel ini hanya membatasi pada kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta. Dengan asumsi kedudukan dan kekuasaan Pangeran Paku Alam identik dengan kedudukan kekuasaan Sultan Yogyakarta.

Gambaran kedudukan dan kekuasaan Sultan sebelum kemerdekaan Indonesia
Pada masa Sultan Hamengkubuwono I secara praktis Sultan mengendalikan pemerintahan dibantu oleh Pepatih Dalem Danurejo I. Dengan demikian Sultan berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Saat Sultan Hamengkubuwono II, pemerintah penjajahan ingin menegakkan aturan yang dibuat semasa Susuhunan Pakubuwono II yang menegaskan bahwa Sultan hanyalah Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan. Konflik berdarah mewarnai episode ini dengan tewasnya Pepatih Dalem Danurejo II di dalam kawasan Istana dan pemakzulan Sultan dengan kekuatan bersenjata pada 1812.

Konflik tetap berlanjut pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V di dalam tubuh Dewan Perwalian Sultan antara Pepatih Dalem Danurejo IV dengan Pangeran Diponegoro yang berakhir dengan Perang Jawa selama lima tahun. Selepas Perang Jawa pada 1830, Pemerintah Penjajahan hanya menempatkan Sultan sebagai simbol belaka. Kepala Pemerintahan dipegang oleh Pepatih Dalem yang pada prakteknya diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah Penjajahan. Kondisi ini berlaku sampai dengan pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII.

Sultan Hamengkubuwono IX membawa angin perubahan bagi struktur pemerintahan Kesultanan Yogyakarta. Sultan menginginkan adanya parlemen dan kedudukan serta kekuasaan Sultan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sedangkan kedudukan Pepatih Dalem hanyalah pembantu Sultan belaka, bukan kepala pemerintahan. Walau semua itu kandas namun Sultan memperoleh kekuasaan yang “lebih” dari Sultan-sultan pendahulu pasca perang Yogyakarta 1812. Setelah Jepang datang pada 1942, Sultan mendapat kesempatan untuk merestorasi kedudukan dan kekuasaan Sultan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Usaha ini mencapai puncaknya pada pertengahan 1945 dengan pengunduran diri Pepatih Dalem Danurejo VIII.

Kedudukan dan kekuasaan Sultan setelah kemerdekaan Indonesia
Dengan kekuasaan “absolut” sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Sultan memilih bergabung dengan Indonesia dan wilayah Kesultanan menjadi salah satu wilayah riil pertama dari Indonesia. Dari presiden Indonesia Sultan “memperoleh” kekuasaan sebagai kepala daerah, yang berfungsi sebagai wakil pemerintah Indonesia di wilayah Kesultanan, suatu jabatan yang sebelumnya merupakan kedudukan eksklusif yang dipegang oleh orang pusat, sebuah “pengganti” kedudukan dan kekuasaan kepala negara. Sedangkan kedudukan dan kekuasaan kepala pemerintahan tetap beliau pegang sampai 1946 saat harus berbagi dengan badan perwakilan rakyat.

Dalam Maklumat Kerajaan nomor 18 yang dikeluarkan pada Mei 1946, diatur bahwa kekuasan pemerintahan tidak lagi dipegang oleh Sultan semata. Kekuasaan eksekutif dijalankan secara kolegial oleh sebuah badan yang dinamakan Dewan Pemerintah Daerah. Dalam badan yang beranggotakan tujuh orang ini, Sultan berkedudukan sebagai ketua merangkap anggota. Suara Sultan sebagai anggota sama seperti dengan anggota lainnya. Dan keputusan badan ini diambil secara kolegial. Praktis Sultan tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan.

Pada tahun 1948 Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU nomor 22 Tahun 1948 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah. Dalam UU tersebut isi maklumat kerajaan dua tahun sebelumnya diadopsi sebagian sebagai bentuk keistimewaan suatu daerah. Kedudukan Sultan sebagai kepala daerah dan ketua merangkap anggota Dewan Pemerintahan Daerah dipertahankan. Bentuk keistimewaan yang lain adalah adanya jabatan Wakil kepala daerah bagi Yogyakarta. Wakil kepala daerah ini dijabat oleh Pangeran Paku Alam yang secara ex officio juga menjabat sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah.

Menurut UU tahun 1948 ini, kedudukan Sultan lebih ditekankan sebagai Kepala Daerah, yang berfungsi sebagai wakil pemerintah pusat, yang bertugas menjadi pengawas Dewan Pemerintah Daerah dan Parlemen lokal dalam menjalankan pemerintahan daerah. Kedudukan dan kekuasaan ini pula yang secara implisit digunakan oleh UU Negara bagian RI Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal dengan UU Nomor 3 Tahun 1950. Kedudukan dan kekuasaan ini tetap dipegang oleh Sultan sampai tahun 1959 atau 1965.

Pada 1965 salah satu keistimewaan Yogyakarta yang berupa jabatan wakil kepala daerah “dianulir” dengan pembentukan jabatan wakil kepala daerah bagi seluruh daerah di Indonesia. Pada tahun ini pula Kepala Daerah menerima kekuasaan eksekutif. Kekuasaan ini diperkuat pada tahun 1974. Kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta menjadi kepala pemerintahan daerah sekaligus kepala wilayah yang berfungsi sebagai wakil pemerintah. Perubahan inilah yang kemudian menjadi asal usul kaburnya kedudukan dan kekuasaan Sultan [dan Pangeran Paku Alam] dan akhirnya menjadi permasalahan yang akut sepeninggal Pangeran Paku Alam  VIII di tahun 1998.

Model kedudukan dan kekuasaan Sultan
Ada banyak model kedudukan dan kekuasaan Sultan di dalam pemerintahan daerah. Model kedudukan dan kekuasaan Raja/Ratu pada United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland , Raja/Ratu pada Koninkrijk der Nederlanden , Raja pada Ratcha Anachak Thai , Yang Dipertuan Agung pada kerajaan Malaysia, maupun Tenno pada Nihon-koku. Pada kebanyakan model tersebut Raja/Ratu hanya berfungsi sebagi simbol, lebih-lebih pada kekaisaran Jepang yang hanya menempatkan Tenno sebagai simbol negara tanpa kekuasaan apapun.

Selain model kedudukan dan kekuasaan Raja/Ratu dari luar negeri, model kedudukan dan kekuasaan Sultan juga dapat diambil kedudukan dan kekuasaan Sultan Yogyakarta dari masa ke masa. Model kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono I pada 1755-1792, kedudukan dan kekuasaan Sultan-sultan Yogyakarta 1830-1940, kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1942-1945, kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1945-1946, kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1946-1948,  kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1948-1959, maupun kedudukan dan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX pada 1974-1988.

Permasalahan kedudukan dan kekuasaan
Permasalahan pertama yang dapat ditulis adalah mengenai bentuk pemerintahan di mana Indonesia adalah sebuah republik sedangkan Sultan Yogyakarta merupakan “wakil” dari institusi bekas monarki Kesultanan Yogyakarta. Bentuk pemerintahan republik yang mengadopsi rezim demokratis, kebanyakan, mensyaratkan pengisian jabatan publik dengan jalur pemilihan dari dan oleh warga negara dan tidak memandang adanya “privilege” bagi warga negara tertentu. Sementara itu kedudukan Sultan Yogyakarta merupakan hak eksklusif bagi warga negara tertentu saja yang memenuhi syarat paugeran jawa.

Permasalahan kedua adalah bentuk negara Indonesia yang merupakan negara Kesatuan, di mana di dalam sebuah “staat” tidak ada lagi “staat”. Sementara bentuk negara federasi akan mengakomodasi bentuk pemerintahan bawahan yang sama sekali berbeda dengan pemerintahan induk. Contoh yang terdekat adalah Malaysia. Kerajaan Malaysia, sebagai sebuah federasi, terdiri atas kesultanan-kesultanan yang bercorak monarki dan negara bagian yang bercorak republik. Dari sudut padang ini kedudukan Sultan Yogyakarta akan lebih mudah ditentukan jika Indonesia berbentuk federasi (Ini bukan bentuk gerakan pro federasi sebagaimana kondisi awal Indonesia antara 1946-1950).

Pengaturan kedudukan Sultan Yogyakarta inilah yang tersulit: mengakomodasi kesetaraan warga negara dalam pengisian jabatan publik, kedudukan khusus Sultan yang merupakan sebuah privilege warga negara tertentu, penyeragaman bentuk pemerintahan, dan pengakomodasian bentuk kekhususan. Namun, dengan melihat contoh provinsi lain di Indonesia (Aceh, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat), seharusnya tidak ada kesulitan dan “ketakutan” dalam mengakomodasi kedudukan Sultan.

Konsep JIP dan Kementerian Dalam Negeri tahun 2008
Dari berbagai model kedudukan dan kekuasaan Sultan dalam berbagai RUU Keistimewaan Yogyakarta, nampaknya model RUU Keistimewaan Yogyakarta versi Kemendagri-JIP UGM lah yang masih relevan dibicarakan sebab draf inilah yang menjadi draf resmi yang dibahas. Meniru sistem monarki parlementer, Kementerian Dalam Negeri melalui rancangan JIP UGM mendudukkan Sultan dalam jabatan yang sama sekali baru. Sultan [dan Paku Alam] diposisikan sebagai simbol kultural yang sama sekali terpisah dari sistem pemerintahan baik urusan desentralisasi otonomi daerah lebih lebih urusan dekonsentrasi. Sultan diberi “kompensasi” memberi “wejangan” tiap lima tahun sekali dan kedudukan protokoler setingkat menteri. Dualisme kepemimpinan direduksi dengan calon gubernur harus mendapat “restu” dari Sultan. Sedang dalam sehari-hari Sultan tidak berperan apa-apa seperti Raja dalam “Opera van Java” (baca kethoprak).

Kedudukan dan kekuasaan ini tentu saja mendapat reaksi keras dari beberapa elemen di Yogyakarta terutama keluarga Istana. Mulai dari peranan institusi baru yang diduduki Sultan sampai titelatur jabatan “Pengageng Keistimewaan” yang kemudian diganti menjadi “Parardhya Keistimewaan”. Suatu kedudukan dan titelatur yang unik, yang pada masa Kesultanan Yogyakarta masih menjadi “negara” hanya berkedudukan setingkat menteri, diperuntukkan untuk Sultan.

Konsep Kementerian Dalam Negeri tahun 2010
Mulut-mu harimau-mu. Sebuah kalimat iklan yang ada di media massa nampaknya berlaku bagi Presiden Indonesia. Hanya karena “terkilir lidahnya” saat mengucap “Monarki Yogyakarta” pasca bencana erupsi Merapi 2010 semuanya menjadi runyam. Bagaimana tidak? Reaksi warga Yogyakarta yang mendukung “penetapan” meningkat sangat banyak jumlahnya. Bahkan jika dibandingkan dengan aksi tahun 1998 yang mendukung Sultan Hamengkubuwono X diangkat menjadi Gubernur Yogyakarta. Yogyakarta yang tadinya dirundung duka karena bencana sontak bangkit. Baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa maupun Kabupaten/Kota sebagai representasi resmi rakyat semua se-iya se-kata mendukung “Penetapan”.

Kementerian Dalam Negeri pun segera mengajukan RUU daur ulang dari RUU sebelumnya. Dalam RUU Kemendagri versi 2010, Sultan ditempatkan sebagai Gubernur Utama. Kedudukan dan kekuasaan dan fungsinya masih sama dengan “Paradhya”. Hanya bedanya pada titelatur dan kebolehan Gubernur Utama merangkap jabatan menjadi Gubernur [Pemerintahan] setelah melalui proses pemilihan di Dewan Perwakilan. Dalam sebuah rapat dengar pendapat komisi II DPR RI Sultan mengemukakan bebagai dasar “Pentapan” dan keberatan atas beberapa hal dalam RUU versi 2010 itu. Karena minimnya akses informasi yang sampai kepada penulis maka perkembangan pembahasan RUU selanjutnya belum ada data.

Konsep Alternatif: sebuah usulan dari jogja-istimewa.blogspot.com
Sebagaimana dalam artikel terdahulu mengenai usul rancangan UU Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, konsep alternatif ini hanya bersifat usul/wacana. Boleh diterima dan tidak mengapa dikesampingkan. Usulan ini sebenarnya mengacu pada konsep UU Nomor 22 Tahun 1948 mengenai Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Sultan berkedudukan sebagai Kepala Daerah Istimewa yang diangkat oleh presiden, bukan dipilih! Sultan didampingi oleh Paku Alam sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa berfungsi sebagai Wakil Pemerintah, yang tidak dapat ditumbangkan oleh parlemen lokal. Kedudukan dan fungsi inilah yang menjadi unsur utama sebagai “kompensasi” bergabungnya Yogyakarta.

Selain itu Sultan bersama-sama Paku Alam juga berfungsi sebagai pemegang “kekuasan eksekutif” pemerintahan Daerah Istimewa. Ini dilakukan untuk efisiensi jumlah pejabat dan juga sebagai ruh utama keistimewaan Yogyakarta. Apabila hal ini dapat terlaksana maka tidak ada lagi permasalahan yang akan mengganjal.

Namun jika ini dirasa masih “kurang demokratis” karena tidak ada pemilihan maka ada alternatif kedua dengan dua varian untuk memenuhi “cita rasa demokratis” tersebut. Varian pertama kekuasaan eksekutif dipegang oleh triumvirat: Sultan, Paku Alam, dan Pepatih Yogyakarta. Pepatih Yogyakarta dipilih oleh Parlemen lokal dari kalangan anggota Parlemen lokal itu sendiri (mirip dengan perdana menteri Inggris yang merupakan anggota House of Commons). Triumvirat eksekutif itu berkedudukan di bawah institusi Wakil Pemerintah. Posisi ini digunakan jika sewaktu-waktu ada konflik antara Pepatih Yogyakarta dengan Sultan dan/atau Paku Alam. Sultan dan/atau Paku Alam dapat meminta parlemen lokal untuk mengganti Pepatih Yogyakarta sehingga akan ada triumvirat yang baru.

Varian kedua kekuasaan eksekutif dipegang secara kolegial oleh sebuah Badan Eksekutif Pemerintahan. Varian ini merupakan “fotocopy 100%” dari UU Nomor 22 Tahun 1948 mengenai Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan juga UU Nomor 3 Tahun 1950. Badan ini beranggotakan tujuh orang: seorang Sultan yang menjadi ketua, seorang Paku Alam, dan lima orang anggota parlemen lokal yang dipilih oleh parlemen itu sendiri menurut perimbangan komposisi kursi. Sama seperti varian pertama, Badan Eksekutif Pemerintahan berkedudukan di bawah institusi Wakil Pemerintah. Posisi ini digunakan jika sewaktu-waktu ada konflik antara salah satu atau lebih anggota dengan Sultan dan/atau Paku Alam. Sultan dan/atau Paku Alam dapat meminta parlemen lokal untuk mengganti anggota tersebut sehingga akan ada Badan Eksekutif Pemerintahan yang baru.

Dua varian tersebut di atas adalah “perkawinan silang” antara demokrasi dan monarki. Pemilihan dilakukan, hak privilege juga diakomodasi. Namun demikian perkawinan itu membawa konsekuensi dibidang efisiensi jalannya pemerintahan dan besarnya pundi-pundi keuangan yang digunakan untuk menggaji para pejabat.

Penutup
Bentuk dan susunan serta fungsi dan kedudukan dan kekuasaan dalam hal pemerintahan, jenis institusi/jabatan, mekanisme pengisian yang berbeda dari yang lain merupakan sebuah keniscayaan bagi daerah yang menyandang predikat “Istimewa” atau berotonomi khusus. Sebab jika semuanya sama dengan daerah lain apa guna ada keistimewaan selain hanya pada nomenklatur belaka. Untuk mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip sebagian pasal dalam perjanjian terakhir yang dilakukan oleh Kesultanan Yogyakarta dengan Hindia Belanda sebagai Wakil dari Pemerintah Kerajaan Belanda mengenai kedudukan dan kekuasaan serta fungsi Sultan.

De Sultan zal daadwekelijk en persoonlijk medewerken aan de bestuursvoering over het Sultanaat ...
(Artikel 18, Overeenkomst tusschen het Gouvernement van Nederlandsch-Indie en het Sultanaat Jogjakarta van 18 Maart 1940)

1 komentar:

  1. Dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, memang akan menjadi problem jika seorang penguasa harus dipilih dari atas atau oleh atasannya. Tetapi mengingat sifat Keistimewaan Yogyakarta, maka tidak ada jalan selain mencoba menggabungkan demokratism dengan monarki.

    Apa salahnya dicoba dengan opsi kedua, karena berdasarkan sejarah dunia banyak bangsa lain yang mencoba menggabungkan dua faham yang berbeda walaupun tidak semuanya berhasil seratus persen

    Kita harus ingat bahwa ternyata revolusi demokratisasi Indonesia tahun 1988 ternyata menjadi sumber inspirasi dan sekaligus menjadi contoh pada revolusi yang terjadi di Timur Tengah sekarang.

    Maka jadilah Negara Teladan yang baik
    Terima kasih.

    BalasHapus